Cynthia berjalan cepat memasuki sebuah kafe yang terletak di bagian ujung jalan. Penampilannya sangat elegan hari ini, mengingat Cynthia berasal dari keluarga kaya dan ia baru saja lulus dari Jerman. Kini yang ia pikirkan adalah bagaimana ijazahnya bisa berguna di tanah kelahiran.
Memang benar Cynthia sedang buru-buru. Hari ini ia baru selesai menelpon Vinna dan berjanji untuk datang pada pukul 10 pagi.
Vinna adalah teman lama Cynthia. Mereka, yah, awalnya bukan seorang teman baik. Mereka bermusuhan dan seperti yang kalian bayangkan, seorang gadis terhormat yang mempertahankan status mereka masing-masing.
Suara denting bel saat pintu terbuka. Cynthia melangkahkan kaki yang beralaskan heels hitam yang mengkilap. Menulusuri satu persatu meja mencari 'mantan rival' nya dulu.
"Cynthia?" seru sebuah suara.
Cynthia menoleh. Mata hazel miliknya menangkap seorang gadis dengan penampilan kasual yang menawan. Mata gelap itu, dulu Cynthia sangat menginginkannya. Namun kini ia sadar warna hazel miliknya tak kalah indah.
Vinna tersenyum ramah dan mengajak Cynthia menuju kursi pesanannya. Duduk berhadapan dan memulai percakapan dengan basa-basi. Sejujurnya Cynthia tidak begitu nyaman. Mengingat ia tipe orang ceplas-ceplos yang tentu menginginkan pembicaraan mereka merujuk langsung ke intinya.
"Rasanya seperti sedang reuni. Jadi, studimu menyenangkan?" tanya Vinna.
"Yah, seperti yang kau tahu. Jerman berbeda dengan tempat ini. Harus kuakui mereka sedikit lebih kurang teratur. Namun aku mengapresiasinya dengan tersenyum dan berjalan melenggang menuju tempatku menuntut ilmu."
"Berjalan?"
"Aku tidak pakai mobil atau kendaraan lainnya. Keadaan dunia ini semakin semrawut mengingat disana-sini bahan bakar minyak makin mahal dan sulit didapat."
Makanan pesanan mereka datang. Aroma bawang putih Cynthia, sejujurnya ia suka makanan dengan aroma cukup menyengat itu. Vinna melahap pelan pasta yang tertata rapi di atas piring.
"Jadi Vinna, tahu tujuanku menemuimu kan?" seru Cynthia kemudian.
"Tidak." Mata Vinna masih tertuju pada pasta merahnya. Cynthia menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak?"
Vinna mengangguk. "Terakhir yang kuingat, kamu menelponku dan aku masih setengah mengantuk."
"Oh ya Tuhan, persetan soal itu. Entah otak kosongmu itu kau kemanakan," ucap Cynthia kesal.
"Sudah kulepaskan dua tahun yang lalu."
Semua orang tahu kalau Vinna hanya bercanda. Namun Cynthia sejak awal memang tak menyukainya, oleh karena itu ia mulai kesal.
"Aku baru menikah Tia."
"Oh ya?" Ujar Cynthia penasaran.
"Yap. Ingat Leo?"
"Anak cupu dari kelas A, bukan?" Tanya Cynthia memastikan.
"Aku menikahinya."
Seperti sebuah kejutan. Cynthia menyalami wanita dihadapannya dengan senyum lebar.
"Aku butuh pekerjaan Vinna. Apa Leo bisa bantu?"
Vinna mendongak. Menatap lama Cynthia sambil sedikit berpikir.
"Atasan Leo, kudengar ia menelpon suamiku dan bilang kalau ada kursi kosong di bagian eksekutif. Aku tidak tahu apa itu."
Senyum Cynthia kembali mengembang. Detik berikutnya, Cynthia menerima kartu nama Leo. "Coba tanya dia."
Hari makin sore dan ini adalah pertengahan musim dimana hujan sering turun. Mendung diluar sana cukup membosankan.
Cynthia berpamitan untuk pulang. Mengucapkan sampai jumpa pada Vinna, lalu melangkah keluar.
Dikeluarkannya payung lipat. Berjaga-jaga, nampaknya hujan akan lebat dan juga lama. Cynthia melangkah menuju halte dan menelpon supir untuk menjemput.
---------------------------------------------------
Hahaha, update lagi. Efek liburan sih, nggak ada kerjaan.Jangan lupa vomment nya yak~
Regard,
NiinA~
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Berisik [HIATUS]
Mystery / ThrillerTahukah kalian, jika gaduh dibuat dilantai satu maka lantai dasar besar kemungkinan juga akan mendengar. Itulah kenapa kita diminta untuk diam. Namun, bagaimana jika aturan itu dibuat agar berlaku di lantai dasar? Siapa peduli. Siapa yang akan denga...