BAGIAN SATU TITIK SATU

14 0 0
                                    

Kembali aku mengingat masa kecilku.
Masa-masa belum mengenal rasa.
Bermain bersama Kirana hingga menjelang senja.
Tetaplah kuat, telaplah menjadi apa yang engkau inginkan.
---

Kemarin siang, bunda bilang bahwa teman sewaktu kecilku, kala aku di Jogja, akan berkunjung ke rumah baruku. Aku tak sempat berpikir panjang, mungkin anak dari teman ibuku. Sudahlah! Aku tak menggubris. Lebih penting memikirkan motorku untuk balapan nanti malam.

Sedikit cerita semenjak aku putus dengan perempuan cantik bernama Putri. Aku habiskan sisa-sisa kegiatanku untuk balapan liar, dengan bantuan Om Hendro aku dibekali motor racing yang sangat populer kala itu. Kalau bunda tahu, yg diceritakan pada bagian Tuhan Sedang Tersenyum, pasti akan marah besar. Tapi tak apa, asalkan aku senang. Tanpa perempuan.

Om Hendro, adalah adik dari Bapak. Seorang lulusan teknik mesin yang tersohor di Yogyakarta. Namun, Om Hendro beralih profesi menjadi pebalap profesional. Berbagai ajang-ajang bergengsi ia sabet semua gelar juaranya. Mungkin saja, menular ke kemunakannya.

Ya, Aku (sempat) ingin menjadi pebalap profesional.

Berbekal jiwa, raga dan sedikit nekat. Pukul 00.30 aku selalu menelisik diam-diam melewati kawar bundahara & bapak. Karena, sudah pasti jikalau aku melakukan aktivitas seperti itu, pasti sangat dilarang.

Mengapa aku mengalihkan duniaku kedalam dunia balap liar? Itu sebabnya hanya satu. Mengalih pandangkan jiwaku untuk pergi dari Putri. Perempuan yang sanggup meluluhlantahkan pondasi keras kepalaku dengan waktu yang sangat lama, ya 4 tahun, pada waktu itu. Hari-hariku aku habiskan untuk Putri, Putri sempat menjadi poros utama-ku. Wajar, perempuan secantik Putri memiliki orientasi materi yang sangat tinggi. Alias minta ini--minta itu. Dan seluruh ragaku, jiwaku, mataku, dan hatiku serasa buta.

Dalam batin, "aku selalu menganggukkan kepala, demi Putri".

Tak hanya disitu, sifat Putri sebenarnya baik hati. Walaupun mengejar materi, simbiosis mutualisme tetaplah ada. Ya, selalu membelikan buku, dan kado-kado yang lainnya setiap tanggal 15 juni. Namun, pada bab selanjutnya. Seluruh pemberiannya aku bakar, nyaris membakar seisi rumah.

"Sudah, lanjut saja."

Aku ke rumah Om Hendro untuk mengambil motor balap kesayangannya. Di rumah yang sangat luas. Aku tertuju pada garasi rumah Om Hendro, karena malam hari biasanya Om Hendro sedang mengutak-atik motor atau sekedar mengganti oli sendiri.

"Tok, tok, tok"

"Om, aku aku ambil motor ya. Aku mau main sekarang"

*Pintu Garasi terbuka*

"Ambil aja, jangan lupa helm, sepatu balap dengan satu set baju balap. Jangan lupa tutup identitasmu. Dan jangan aneh-aneh."

Ya, karena bukan sebuah ajang balapan mitor resmi, dan hanya sebatas balap liar, aku wajib menutupi semua identitasku. Agar tidak malau, jikalau terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

"Iya, aku juga berjanji pada diriku sendiri. Jikalau menang aku takkan minum-minuman keras".

*Blarrr Blarrrr Blarrrrr*

Suara knalpot motor bergema menggaung hingga menusuk telingaku. Aku langsung melaju ke jalan mastrip dengan kecepatan 100 km/jam.

Kala itu, jalan mastrip setiap malam rabu dan malam sabtu dipenuhi motor-motor balap yang berbaris pada tepi Jalan Mastrip. dan sepertinya aku yang terakhir datang di arena balap terkonyol yang pernah aku ikuti.

Aku mencari temanku, bernama Arif. Katanya, ada yang ingin mengetahui berapa kencangnya aku dalam mengendalikan kuda besi milik Om Hendro.

Dengan menggunakan masker, aku berdialog dengan arif.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BAGIAN KIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang