Setiap orang tidak sempurna dan pernah mengalami kegagalan. Aku pun tidak terkecuali. Di mata mereka aku sebuah produk gagal. Dan hari ini sama seperti biasanya aku berdiri di dekat meja belajar, menarik lacinya dan mengambil salah satu pecahan kaca yang sengaja kusembunyikan lalu meremasnya kuat-kuat. Satu detik, dua detik berlalu, tidak terjadi apa-apa, tidak ada luka gores maupun darah yang keluar. Apa masih kurang tajam?
pikirku.
“Mia!! Udah atau belum?!” panggilan itu mengagetkanku dan dengan terburu-buru kututup laci dan berlari keluar, masuk ke mobil. Mobil bergerak keluar dari kompleks perumahan, membelah kota yang belum sepenuhnya terbangun.
“Nanti pulang jam berapa?” tanyanya. Aku tidak langsung menjawabnya, menimbang dalam otak harus memintanya menjemputku kapan.
“Jam satu,” jawabku singkat padat dan jelas. Hal itu sudah cukup jelas kalau aku tidak ingin melanjutkan obrolan ini.
Mobil menggerung perlahan sambil menunggu lampu lalu lintas berubah warna dan wanita itu langsung menginjak pedal gas begitu lampu berubah hijau. Mobil berhenti tepat di seberang pintu gerbang sekolah yang dibuka. Kutunggu sampai mobil melaju cukup jauh sebelum menyebrang. “Pagi, Pa..” sapaku pada satpam sekolah dengan senyum menghiasi wajah. Satpam itu membalas sapaanku dengan sopan. Aku menghitung langkah kaki selama berjalan ke kelas. Seratus tiga.... Seratus empat... Aku berhenti di depan kelas 3-3. Kuputar kenop pintu dan mendorongnya. Terkunci. “Hhhh.... Hebat. Datang paling pagi, kelas belum dibuka. Apa lagi...” pujiku. Kukeluarkan ponsel dari tas dan memasang earphone. Satu menit... Dua menit.. Sepuluh menit berlalu.
“Rajin amat...” ujar seseorang sambil menarik salah satu earphoneku.
Sebelah alisku terangkat melihat orang yang berdiri di hadapanku. “Emang kayak lo..” balasku sambil nyengir. Cowok di hadapanku balas nyengir lalu duduk di sebelahku. “Tumben jam segini udah dateng, San..”
“Oh, iya donk. Kelas baru, tahun ajaran baru. Moto gue tahun ini, nggak ada kata terlambat lagi.” Sandy tersenyum sumringah.
“Ya, ya.. Nanti juga telat lagi...”
Seorang petugas datang menghampiri kami sambil membawa kunci lalu mulai membuka pintu kelas satu persatu, bersamaan dengan datangnya anak-anak yang lain. Aku memilih tempat di dekat jendela dan meletakkan tas di atas meja. Sementara Sandy memilih kursi di sebelahku.
Tepat pukul setengah tujuh, semua siswa pergi ke aula untuk mengikuti apel pagi. Aku mengikuti arus lalu di tengah jalan mengambil jalan lain menuju ke atap. Udara dingin langsung menerpa wajahku yang polos, membuatku menaikkan kerah jaket. Aku merogoh saku dan mengeluarkan rokok. Beberapa kali apinya mati karena ditiup angin. Setelah tiga kali mencoba akhirnya rokokku menyala. Kuhembuskan asapnya di tengah udara dingin. Kumasukkan tangan ke dalam saku jaket sementara rokok kuselipkan di mulut. Apa mau musim dingin? Bahkan musim gugur tidak akan seperti ini, pikirku di tengah terpaan angin dingin. Himne mulai dinyanyikan. Begitu megah, begitu agung. Terdengar langkah kaki menaiki tangga menuju atap. Buru-buru kumatikan rokok sambil berdoa dalam hati semoga asapnya tidak tercium dan naik ke atas bangunan tempat torren air berada.
“Oooii, Mia!” panggil Sandy. “Lo ngumpet di mana sih?” tanyanya sambil mengelilingi atap. Aku terkikik pelan sebelum akhirnya turun sambil menggigil karena di atas sana benar-benar dingin.
“Ngapain lo ke sini?”
Sandy berbalik dan nyengir. “Hehehhe, gue males ikut apel pagi. Lagian masuk sekolah cuma apel pagi doank. Lo nanti dijemput jam berapa?”
“Jam satu.”
Kening Sandy berkerut. “Nggak salah jam tuh?”
“Sengaja,” jawabku ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone in The Rain
Non-FictionAku terpaku dalam diam, kata-katanya terlalu keras untuk sebuah bisikan, terlalu nyata untuk menjadi bagian dari sebuah mimpi. Kata-kata itu melenyapkan ikatanku dengan dunia ini. Aku bertanya, aku berteriak dalam diam berharap akan ada seseorang ya...