Sekolah berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berbeda, begitu pikirku. Kumainkan pensil pilot sambil mendengarkan penjelasan guru. “Hhhh...” kuhembuskan nafas panjang bersamaan suara bel tanda istirahat pertama. Sandy memutar kursinya ke hadapanku dan menatapku yang balas menatapnya.
“Apa?” tanyaku.
“Lo sakit, Mia?”
Kugelengkan kepala yang sengaja kuletakkan di atas meja yang dingin. Tangan Sandy yang besar dan hangat menyentuh wajahku. Apa dia tahu? tanyaku dalam hati.
“Tapi lo pucat. Mau ke UKS nggak?”
“Ciieeeee!! Kalau mau pacaran jangan di sini dong...” ejek beberapa teman sekelasku.
“Nggak usah sirik deh!!” bentak Sandy. Aku tersenyum kecil, pacar? Seperti itukah hubungan kami di mata yang lain? “Mia, yakin lo nggak apa-apa?”
Aku berdiri dan berjalan keluar. “Ke toilet,” bisikku ketika melihat Sandy mengikutiku dengan wajah cemas. Mendengar bisikanku, Sandy menghembuskan nafas lega.
“Gue tunggu di kelas ya.”
Aku tersenyum sebagai jawaban. Aku pergi ke toilet yang paling jauh karena toilet itu tidak sering digunakan. Kukeluarkan botol obat yang masih penuh dan meletakkannya di wastafel. Aku tidak pernah meminumnya lagi sejak 1 bulan yang lalu dan ini efeknya. Kutatap pantulan diriku di cermin. Wajahku pucat dan berat badanku turun beberapa kilo.
“Ma, aku sakit. Aku...” kataku pada wanita itu satu bulan yang lalu.
“Kalau sakit ya tinggal minum obat,” potong wanita itu sambil terus menonton TV.
“Ma, aku periksa ke dokter. Dan katanya aku kank...”
“Jangan sekarang bisa nggak?! Gue lagi sibuk! Nanti aja!”
Di mana aku menyimpas laporan medis itu? Di tas? Di rumah? Aku tertegun, darah keluar dari hidungku. “Oh, shit!” umpatku. Buru-buru kuputar kran dan membasuh hidungku. Detik berikutnya aku memuntahkan batuk berdarah. Kutatap tangan kananku yang penuh oleh darahku sendiri. Apa aku akan mati? Lalu senyum mengembang di bibirku, mati... Aku mengulangi kata itu dengan penuh harapan.
“Mia? Kamu di sini kan? Kok, ke toilet yang jauh?” Suara Sandy terdengar jauh dari balik pintu toilet. “Mia?” panggil Sandy lagi.
“Apa? Tadi toilet yang lain penuh. Jadi aku ke sini,” jawabku buru-buru mencuci tangan dan mulut.
“Kamu benar nggak apa-apa?”
“Iiih, apa sih? Gue sehat-sehat aja kali. Cuma lagi nggak enak badan aja,” jawabku. Semoga suaraku yang bergetar tidak didengar Sandy, doaku dalam hati.
“Kelas udah mulai. Mau sekalian bolos aja?”
Aku tertawa keras, tidak biasanya Sandy mengajakku untuk bolos. “Katanya tahun ini mau berubah...” kataku setelah mengeringkan tangan dan wajah dan memasukkan obat ke saku jaket.
“Mau nggak nih? Lagian kalau masuk sekarang juga udah telat.”
“Hahahaha... Oke, boss,” jawabku yang baru keluar dari toilet.
Sandy menarik tanganku yang berkeringat dingin ke atap. Dan memelukku dari belakang. Tubuhku yang kecil terbungkus sempurna di dalam jaketnya. Hawa panas tubuhnya membuatku hangat. “Trims,” gumamku. “Em..” balas Sandy. Cukup lama kami berdua dalam posisi seperti itu. Suara bel yang berdentang tanda jam pelajaran kelima selesai bergaung di dalam sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone in The Rain
Non-FictionAku terpaku dalam diam, kata-katanya terlalu keras untuk sebuah bisikan, terlalu nyata untuk menjadi bagian dari sebuah mimpi. Kata-kata itu melenyapkan ikatanku dengan dunia ini. Aku bertanya, aku berteriak dalam diam berharap akan ada seseorang ya...