"Semua doa yang selalu aku panjatkan sebelum aku tidur, ketika aku hendak makan dan sebelum aku keluar rumah untuk bermain dan berangkat ke sekolah, tak ada satupun yang terwujud. Aku rasa, Tuhan tak pernah mendengarkan doa-doaku. Atau ... Tuhan itu memang tidak ada. DIA tak pernah ada ... DIA itu emang tidak ada dan tidak bisa mendengarkan doa-doaku! Semua omomg kosong, Tuhan yang selalu di bicarakan semua orang itu tak pernah ada. Itu hanyalah sebuah dongeng kuno sebelum tidur," lirih Tommy berlinang air mata di depan neneknya yang merupakan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Namun sudah dalam keadaan kaku dan terbungkus kain putih di atas sebuah keranda.
Semenjak kejadian 10 tahun yang lalu itu, Tommy si anak sebatang kara ini mulai beranggapan bahwa Tuhan itu memang tidak ada, dan tidak ada pula yang bisa mendengarkan doa-doanya. Ia lebih mempercayai bahwasanya dengan menulis apa yang ia inginkan di atas kertas lalu meyakininya, apapun yang di inginkannya itu senantiasa akan terwujud. Tanpa harus sembahyang atau menengadahkan kedua lengannya di atas alas suci, lalu meminta permohonan yang biasa dilakukan semua orang. Tommy lebih memilih untuk duduk manis dan menulis catatan kecil untuk di lemparnya kemana pun ia mau, dan membiarkannya melebur dengan semesta. Seperti yang telah ia alami sepekan lalu, ketika ia sembuh total dari penyakit jantung yang selama ini di deritanya. Dan prestasi-prestasi yang ia dapatkan beberapa bulan kebelakang. Tommy beranggapan itu adalah hasil perwujudan dari catatan kecilnya yang melebur dengan semesta, yang kemudian Alam Semesta membalasnya dengan perwujudan keinginannya tersebut.
Suatu hari, ketika Tommy sedang menikmati secawan kopi di depan warung tempat biasa ia nongkrong, seorang gadis remaja berjilbab merah yang hendak berangkat ke Madrasah menghampirinya. Mereka memang sudah saling kenal sebelumnya dan suka ngobrol-ngobrol biasa layaknya sepasang kakak dan adik. Namun tidak biasanya Mira menanyakan hal yang sangat krusial bagi Tommy.
"Agama, ya! Hm, bagiku ... agama ... hanyalah pilihan untuk menjalani hidup. Bukannya semua orang mempunyai pilihan? Dan ... inilah pilihanku. Menjadi diri sendiri apa adanya, tanpa aturan dan"—Tommy menatap langit yang jingga sambil menarik kedua sudut ujung bibirnya ke atas—"tanpa agama apapun yang mengikatku," terangnya sambil menyeruput kopi yang sudah agak dingin.
Suasana sore itu menjadi lenggang sesaat. Semilir angin halus yang menerpa rambut Tommy, membuat Mira terkesima melihat wajahnya yang dihiasai segores senyuman.
"Aku kagum dengan pendirian dan keotentikkan Kakak. Tapi ... emangnya Kakak yakin dan merasa benar dengan pilihan Kakak itu?" tanya Mira dengan ragu dan hati-hati.
Tommy beranjak dari tempat duduknya lalu membalikkan badannya, menghampiri Mira yang langsung berdiri ketika Tommy sudah berada di hadapannya.
"Katakkan pada saya, seberapa jauh Tuhan mendengarkan doa-doa kamu? Dan berapa banyak doa yang Tuhan kabulkan untukmu?" tanya Tommy tegas dengan tatapan yang tajam tertancap tepat di biji mata Mira.
"Ma .. maaf, Kak. Aku tidak bermaksud untuk ... "
"Sudah hampir 10 tahun saya hidup sebatang kara, tanpa mengenal Tuhan dan tanpa agama yang mengikat saya. Usia saya saat ini 21 tahun dan tidak ada masalah sama sekali dengan hal itu. Bahkan ... saya merasa bebas dan bisa mendapatkan apapun yang saya inginkan tanpa bersusah payah berdoa dan melakukkan ritual-ritual agama yang membebani," potong Tommy sambil duduk kembali di kursi panjang tempat mereka duduk sebelumnya.
Tommy hanya merunduk terdiam dan menggenggam tangannya sendiri, sedangkan Mira sedang merogoh ranselnya dan berusaha mengambil sesuatu.
YOU ARE READING
DOA DI ATAS KERTAS KUSUT
Short StorySetelah membaca ini kalian akan tersadarkan sesuatu. Pokoknya baca aja deh ... Dan jangan lupa untuk beri krisannya, OK!