Caraphernelia

44 3 4
                                    

Semua yang ada di dunia ini gak ada yang abadi. Semuanya hanya bersifat sementara. Begitupun dengan manusia. termasuk sosok berharga yang saat ini ada di dalam hidup lo.

Hari ibu. Sebenarnya gue masih bingung kenapa harus ada hari ibu atau tujuan dari hari ibu itu apa? Buat nunjukin rasa kasih sayang seorang anak terhadap ibunya? atau sekedar rasa terimakasih atas semua yang telah ibu beri? Kalau gitu, gue bisa menyimpulkan setiap harinya adalah hari ibu 'kan?

Menurut gue, hari ibu itu gak cukup ditunjukkan dalam satu hari. Lo harus sayang ibu lo setiap harinya. Lo harus hargai waktu dengan ibu lo setiap detiknya. Lo harus mensyukuri atas waktu yang masih lo punya dengan ibu lo. Karena kelak, hal sesederhana itu bisa jadi hanya tinggal sebuah kenangan.

Karena kehilangan itu menyakitkan. Kehilangan sosok yang berharga dalam hidup lo itu, seperti ada bagian dari dalam diri lo yang ikut pergi. Ketika sosok itu hilang, lo gak akan pernah sama lagi. Dan saat itu hanya ada sebuah penyesalan yang menemani sisa hidup lo.

Katakanlah gue berlebihan dalam mendeskripsikan rasanya kehilangan. Bagi sebagian orang yang beruntung—yang belum pernah merasakan bagaimana itu kehilangan—mungkin ini semua memang berlebihan. Dulu juga gue pernah menjadi bagian dari orang-orang beruntung itu. Sampai akhirnya Tuhan mengambil mama dari gue.

Percayalah, seseorang akan mengerti definisi dari kehilangan, ketika ia mengalaminya sendiri. Bukan gue mendoakan semua orang untuk merasakan kehilangan, percaya atau engga setiap orang akan merasakan kehilangan pada saatnya. Karena yang abadi itu gak pernah ada. Gak pernah ada.

Satu hal yang gue sesali hingga detik ini, gue gak pernah mengungkapkan kasih sayang gue sama mama. Rasa gengsi gue mengalahkan segalanya. Ketika gue beranjak dewasa, perlahan gue membuat jarak dengan mama. waktu yang gue punya dengan mama pun seolah berkurang. Padahal sesibuk apa pun mama, gak pernah sampai gak ada waktu untuk gue. Ketika semua hal yang berkaitan dengan duniawi menjadi prioritas utama gue, tanpa gue sadari mama menjadi nomer dua dalam prioritas gue.

Gue meninggalkan mama sendirian. Gue membiarkan mama sendirian melawan penyakitnya. Gue gak ada di saat mama kesakitan. Bahkan gue gak bisa meminjamkan kuping gue untuk sekedar mendengar keluhan mama. Gue—memang anak yang gak berguna.

Suara ketukan pintu kamar berhasil menarik gue dari lamunan. Sejak kepergian mama, gue lebih suka menghabiskan waktu di kamar. Entah itu untuk kembali menangisi mama, atau sekedar melihat foto gue sama mama yang tersimpan rapi di sebuah album. Album foto yang mulai menguning itu—gue gak pernah membukanya saat masih ada mamah. Gue bahkan gak inget punya album foto itu.

"Kalea .... " Suara serak papah sekali lagi membuat gue tersadar. Mungkin melamun menjadi hobi baru gue saat ini.

"Masuk pah." Buru-buru gue tutup album foto itu dan menjauhkannya dari gue. gue gak mau sampe papah liat.

"Lagi apa kamu?" Kepala papah muncul dari celah pintu kamar gue. Gue mendongak lalu hanya memberinya senyuman tipis. Papah berjalan menghampiri gue yang masih terduduk di kasur.

"Kamu belum makan hari ini." Gue bahkan gak inget sekarang udah jam berapa. Gue menengok sejenak ke jam dinding—17.30—oh yaampun. Gue mengabaikan cacing-cacing di perut gue. Tapi beneran, gue sama sekali gak laper. Bukan makanan yang gue butuhkan saat ini.

Papah duduk di tepi ranjang menghadap ke arah gue. Dengan begini gue bisa melihat jelas wajah papa. Wajah yang udah dipenuhi dengan kerutan-kerutan kecil. Lingkar matanya yang menghitam. Dan gue bisa melihat jelas tulang pipi papah yang sejak dulu gak pernah keliatan.

Hanya senyum papah yang gak pernah berubah atau pun memudar. Papah selalu tersenyum di depan gue. Papah selalu berusaha menyembunyikan semuanya dari gue.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 22, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CARAPHERNELIAWhere stories live. Discover now