Don't Call Me Bitch

1.3K 83 5
                                    

"lihat jalang itu! Apa dia tidak tahu malu berjalan di keramaian dengan keadaan tubuh seperti itu?"

"Apa dunia ini akan berakhir? Orang macam apa yang berjalan dengan sekujur tubuh bau sperma?"

"Kau tak lihat merah-merah di lehernya? Itu sudah ketahuan jika setiap hari Ia selalu digunakan oleh orang-orang yang berbeda."

Pria yang menjadi bahan omongan terus melangkahkan kaki tanpa mempedulikan pandangan hina dan bisikan-bisikan yang menyakitkan hati. Ingin sekali rasanya Ia meninju wajah orang-orang tak tahu adat itu, apa tidak ada kerjaan lain selain mengurusi hidup orang lain?

Pria bernama Jeon Wonwoo terus melangkahkan kaki hingga sampai ke tempat tujuan. Toko hewan Park Jaehyung menghias di depan toko. Ia berpikir jika sudah dua kali dalam sebulan ini Ia mengunjungi toko hewan di depannya.

Bunyi bel pertanda masuknya pelanggan berbunyi saat langkah kaki membawanya masuk, sama seperti sebelumnya pandangan-pandangan mencemooh menatap dirinya seolah kedatangannya tidak diharapkan. Kecuali si pemilik toko tentu saja, Ia tersenyum saat Wonwoo mendekat ke meja kasir.

"P-permisi apa kau masih menyediakan tali pengekang dan mangkuk makan?" Sang pemilik toko tersenyum walaupun ada sedikit rasa penasaran dengan pria di hadapannya. Bagaimana bisa Ia membeli barang-barang itu padahal baru tiga minggu kemarin Ia membeli barang itu.

"Tentu saja tuan silahkan ikut saya." Tanpa banyak tanya Wonwoo mengekor dari belakang. Langkah kakinya tersendat saat rasa sakit menyapanya, rasa sakit yang menimbulkan rasa nikmat yang tak terkira.

Setelah mereka berkeliling  akhirnya sang pemilik toko menunjukkan barang yang diminta. "Apa seperti ini?"

Wonwoo melihat tali pengekang itu, lingkar leher yang bergerigi bukan pilihan yang tepat. Pernah dicobakan dan berujung dengan sesak napas. "Apa ada bentuk seperti coker tapi sedikit lebih tebal. Aku takut hewan peliharaanku tercekik jika memakai yang bergerigi, Ia agak sedikit agresif," Wonwoo menjelaskan dengan balasan anggukan.

"Baiklah ini dia. Lalu tempat makan seperti apa sekiranya hewan peliharaanmu sukai?" Wonwoo menerima tali kekang dan memutarkan pandangan menuju rak-rak tempat makan, berbagai bentuk dan warna memenuhi indranya. Senyum menghias wajah sebelum Ia menunjuk tempat makan berwarna hijau, warna kesukaannya dan kesukaan peliharaannya.

Setelah memilih, Wonwoo dan si pemilik toko kembali ke kasir. Sekiranya telah selesai melakukan pembayaran Wonwoo memilih pulang ke rumahnya. Jika tidak hidupnya akan terancam.

Wonwoo mempercepat langkahnya menuju persimpangan jalan sebelum berbelok ke arah timur, tempat di mana perumahan elit berada. Kemeja putih kebesarannya menimbulkan jejak keringat yang menontonkan lekuk tubuhnya. Sekali lagi semua ini dilakukan demi hewan peliharaan.

Wonwoo memang pria biasa yang dihadiahi dengan wajah cantik dan tubuh yang gemulai seperti wanita. Rambut hitam legamnya menambah kesan seksi dari pria itu dan jangan lupakan hidung bangirnya yang akan  mengerucut apabila sedang tertawa. Sungguh Tuhan telah menciptakan makhluknya dengan sangat indah.

Pria manis itu memasuki sebuah rumah besar. Rumah yang sekiranya mampu menampung seratus orang, itu baru di lantai bawah belum lagi di lantai atas. Dengan tubuh kurusnya Ia berusaha mendorong gerbang besar, rasa takut mengalahkan segalanya.

Setelah berhasil Wonwoo memasuki pintu halaman, terlihat beberapa intan yang terpajang di gagang pintu tersebut. Wonwoo memasuki rumah itu, lantai dingin menyapu kulit, ubin yang terbuat dari marmer itu berkilauan cahaya yang membuat terciptanya ilusi optik. Jika kau baru pertama pasti kau mengira itu adalah genangan air padahal itu adalah ubin biasa.

Don't Call Me Bitch [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang