BAB 1

26 4 0
                                    

Selepas subuh di hari Sabtu dengan gemerisik dedaunan diterpa angin pagi. Lantunan tembang - tembang qasidah legendaris mengalun syahdu, menghinggapi jasad yang semalam enggan direbahkan. Tembang-tembang yang dilantunkan para maestro musik religi Indonesia itu menghangatkan jarak tentang sebuah penantian.
Meski penantian itu tak begitu panjang dan sudah menampakkan detik-detik sebuah pertemuan.

Telah lama kusimpan dalam lubuk hatiku.
Kuingin hidupku bahagia sepanjang masa.

Lagu buah karya Haji Fadholi Ambar dengan melodi ala padang pasir dipadu musik modern yang begitu menyihirku, tentang seorang insan yang sedang menentukan sebuah pilihan untuk penyempurna separuh agamanya.
Hingga penghujung lagu itu aku masih tersihir sambil menatap langit dari balik jendela ruanganku. Nampak bersih meski fajar pagi belum terbangun. Pertanda hari yang cerah secerah harapan yang telah terpaku dibenakku, juga benak sahabat - sahabatku. Harapan akan sebuah inovasi terhadap belantika musik qasidah, dimana kami semua berangan serta berusaha akan pelestarian dan eksistensi musik religi tersebut. Harapan ini sudah tertulis dalam catatan planning.
Sebuah pembaharuan.

Tidak mudah,dan tidak sulit. Bila semua saling bahu-membahu dan menanamkan i'tikad yang kokoh tentu tiada kata mustahil. Aku bicara dengan diriku sendiri, apakah efisiensi dan efektifitas telah melekat dalam rangkaian rencana inovasi itu. Dua hal itu yang sempat membuatku panas dingin sebulan lalu.
Tanpa diundang, sebuah Beat berwarna hitam yang dikendarai seorang pemuda berbaju takwa putih, mengenakan sarung hijau dan kopyah putih berhenti di halaman depan rumahku. Pemuda itu bergegas turun dari Beatnya dan menuju ke depan pintu rumah. Aku hanya menatapnya dari balik jendela, kulirik jam dinding merujuk pada pukul 5 pagi. Ah, semangat betul anak ini. Sepagi ini sudah bertandang ke kandang manajernya.

"Assalamu'alaikum." Ucap pemuda itu sembari mengetuk pintu tiga kali.
"Wa'alaikumussalam.Monggopinarak," jawabku sembari membukakan pintu.
Akupun sudah mengetahui bahwa dia akan datang. Segeraku persilahkan masuk. Dia Ilham Wahyudi, salah satu partner dalam grup Qasidah bernama Az-Zahirah.
Sebuah grup yang lahir dari buah pemikiran para remaja yang peduli terhadap perkembangan musik sebagai media dakwah. Dia pula yang selalu memberikanku semangat, membantuku dalam pengapnya permasalahan bahkan sesekali
membentakku bila aku kelewat batas.

"Ada apa? Sepagi ini kau kemari." Tanyaku sambil tersenyum.
"Mobil yang kita pesan ternyata sudah full,lantas siapa yang akan
menjemput Ega nanti?Kau tidak lupa, kan bahwa hari ini adalah pembuatan video hari pertama?" Ilham berusaha mengingatkan, dia khawatir manajernya ini pikun seperti yang dulu pernah terjadi.

Aku termenung sejenak. Rasa pusing hendak mengejekku pagi ini, akupun memukulnya dengan sebuah jalan keluar.
"Biar aku hubungi si Mujab. Biasanya hari ini dia free. Semoga saja tidak ada orderan." Sahutku sambil meraih smartphone dari saku jasku dan menyegerakan untuk menghubungi Mujab, sahabat andalan
yang lihai memainkan setir mobil. Beberapa saat, pesan masuk dari Mujab berisikan jawaban yang cukup menambah kecerahan pagi ini. Mujab siap menjemput Ega di Bandara Juanda siang ini. Aku dan Ilham bersyukur dan bisa bernapas lega.

Si Kuning dari KuninganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang