-1-

94 4 0
                                    

--25 desember 2017

hepirdeing...

ceki ceki--


***

Ruang keluarga rumah ini terasa berbeda, biasanya kita akan menghabiskan waktu bersama anak-anak dengan bermain ataupun berbagi cerita. Kamu dengan cerita kegiatan seharimu dikantor, anak-anak dengan cerita sekolah dan teman-teman mereka dan aku yang akan mendnegarkan kisah kalian dengan antusias dan menikmati setiap momen yang tercipta selama 11 tahun usia rumah tangga kita. Dan itu masih terjadi 3 bulan lalu, sebelum kamu berubah. Hari ini kita kembali duduk bersama di sofa nyaman ruang keluarga, namun suasananya berbeda kali ini kita hanya berdua tanpa anak-anak krena ini masih jam sekolah mungkin saat ini Adam sedang fokus memperhatikan guru yang sdeang mnegajar atau Ibra yang sedang mengganggu temannya yang sdeang belajar. Ah aku jadi merindukan mereka padahal baru 3 jam lalu kami sarapan bersama, iya kami tanpa kamu dimeja makan.

Kembali memusatkan perhtianku kepada sosok didepanku yang sedang menunduk dengan kening berlipat seperti memikirkan sesuatu yang berat. Tangan yang saling terkait mneandakan kamu tengah menenangkan diri. Entah apa yang sedang kamu pikirkan, ingin rasanya aku mengusap kening itu agar berhenti berkerut seperti yang biasanya aku lakukan. Menggenggam tanganmu untuk menenangkan. Namun posisi kita kali ini tak memungkinkan aku untuk melakukannya. Kamu yang duduk di seberang meja didepanku.

10 menit berlalu akhirnya kamu mengangkat kepala dan memusatkan perhatian padaku.

"aku ingin bicara" kalimat pertama yang kamu ucapkan.

Masih betahan dalam diam menunggu kamu mleanjutkan kalimat.

"aku...aku mencintai Naura" kalimat yang kamu ucapkan bagaikan bom atom bagi seluruh tubuhku. Meskipun aku sudah menduga cepat atau lambat kamu akan mengatakannya namun keterkejutan tak bias aku sembunyikan.

"kenapa?" bisikku lirih.

"maaf"

"maafkan aku Fahira"

Aku hanya bias terdiam dengan segala macam pikiran yang bekecamuk dikepala. Ingin rasanya aku melampiaskan perasaanku saat ini untuk menunjukkan seberapa sakit hati yang telah kamu hancurkan. Bukan hanya karna ucapanmu, tapi jauh sebelum itu tepatnya 3 bulan yang lalu sejak kamu mulai berubah. Kamu yang biasanya hangat kepada keluarga kecil kita mulai menarik diri. Kamu sibuk dengan duniamu sendiri dan mengabaikan kami. Awalnya aku berpikir mungkin kamu sedang ada masalah dikantor sehingga menyita waktumu dan mengabaikan fikiran negative yang mulai berkeliaran dikepala. Satu bulan berlalu kamu terasa semakin jauh bahkan bias dihitung jari kamu berada dirumah dan perasaan seorang istri terhadap suaminya yang telah berpaling sangat terasa. Namun aku memilih diam, menuggu kamu mengakuinya sendiri. Hingga tadi pagi kamu yang selama 3 bulan ini memilih unutk tidak sarapan dirumah duduk dimeja makan untuk sarapan bersama. Keceriaan yang dipancarkan dari wajah anak-anak tadi pagi tergambar jelas dalam ingatan.

Setelah sadar dari keterkejutanku, aku langsung berdiri dari posisi duduk. Karna tidak focus aku sedikit oleng namun dengan berpegangan pada sandaran kursi aku kembali berdiri dan tanpa berkata apa-apa langnsung berjalan dengan linglung kekamar kami. Tak ada air mata hanya tatapan kosong yang mejelaskan seberapa buruk kondisiku saat ini.

*

"Assalamu'alaikum...."

"Assalamu'alaikum... Bunda!"

Entah sudah berapa lama aku duduk diranjang dengan pikiran yang berkecamuk hingga suara teriakan salam dari Adam dan Ibra di lantai bawah menyadarkanku. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan aku bangkit dari kasur dan mencoba bersikap biasa saja, bagaimanapun jangan sampai anak-anak tau kondisi orang tuanya saat ini.

Membuka pintu kamar, aku langsung disambut teriakan ibra.

"Bunda. Bunda kok ibra panggil-panggil dari tadi gak di jawab-jawab sih"

"kan kita dapat dosa Bunda kalau tidak jawab salam"

Aku tersenyum mnedengar gerutuan putra keduaku.

"biasanya juga bunda nungguin kita diruang tamu."

Masih dengan gerutuannya Ibra meraih tanganku untuk dikecup punggungnya sembari kembali mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum Bundanya Ibra" sambil memamerkan cengirannya kepadaku.

"Wa'alaikumsalam Ibranya Bunda. Gimana sekolahnya hari ini?" sambil meraih Ibra dalam pelukan aku mulai menanyakan kesehariannya yang akan dia jawab dnegan antusias. Namu sepertinya hari ini beda karna dia hanya memberiku cengirannya yang terlihat meringis maenandakan dia berbuat ulah di sekolah.

"kenapa pertayaan bunda cuma dikasi senyuman sama Ibra?" ucapku lembut sembari memicingkan mata.

"hehehe... itu Bunda itu tadi... anu..."

"itu apa Ibra, kamu gak bikin ulah lagi kan disekolah?"

"hehe.. Bunda maaf" aku memilih diam menunggu Ibra bercerita.

"tadi ada temen kelas Ibra yang ngejekin Naya sampe Nayanya nangis Bunda makanya Ibra dorong dia sampe jatuh terus lututnya luka terus dianya nangis. Dion emang cengeng Bunda, masak Cuma luka dikit dilutut aja sampe nangis gitu terus didenger sama bu guru terus Ibra ditegur."

"Ibra tau kan yang Ibra lakukan ke Dion itu salah? Mendorong Dion sampai jatuh..."

Ibra hanya mengangguk mnegiyakan

"Ibra boleh belain Naya tapi jangan pakai kekerasan sayang. Bunda gak pernah ngajarin Ibra sama kak Adam buat pukul orang kan kecuali untuk pertahanin diri?" aku menjleaskan dnegan tenang kepada Ibra

"iya Bunda Ibra minta maaf"

"jadi Ibra tau kan apa yang harus Ibra lakukan?"

"minta maaf sama Dion" ucapnya dengan suara pelan.

"bagus. Anak- anak Bunda memang cerdas-cerdas." Aku menarik kembali Ibra kedalam pelukanku dan melihat Adam tengah berdiri seraya memandang kami sambil tersenyum.

"loh kak Adam ngapin berdiri di situ, gak mau salam sama Bunda?"

"Assalamu'alaikum Bunda" Adam mencium punggung tanganku dan mmberi kecupan dipipi yang membuatku terkekeh. Adam memang sdikit pendiam persis seperti ayahnya. Sedangkan Ibra sedikit pecicilan seperti aku sewaktu kecil.

"ih kok anak-anak Bunda bau asem ya?" aku memicingkan mata seraya mengkerutkan hidung sambil menatap mereka yang dibalas mereka dengan cnegiran. Aku hanya tersenyum dan menggiring Adam dan Ibra kekamar masing-masing.

" kalian mandi dulu terus ganti baju baru turun kemeja makan"

"iyaa Bunda" jawab mereka serempak.

Aku turun kedapur untuk membuatkan makan siang untuk Adam dan Ibra. Mungkin Mas Ilham sudah meninggalkan rumah karena tak ada orang saat aku melewati ruang keluarga. Aku kembali menarik napas untuk menenangkan gejolak yang ada di dada setiap mengingat ucapan mas Ilham.

-- see you next chapt kalian

**

Jika MungkinWhere stories live. Discover now