Empat: Mama Melati dan Haka

317 36 49
                                    


Beberapa bulan setelah perceraian, ayah berusaha menemuiku beberapa kali. Sebenarnya masih ada sebersit rindu di hati, tapi aku terlalu marah untuk berlari ke pelukannya. Aku mmerasa bahwa aku menghianati ibu jika aku masih menerima kebaikannya. Ketika berhasil menemuiku di rumah, ayah memberiku sebuah ponsel. Dia bilang ini hadiah karena aku telah menjaga ibu dengan baik, juga agar dia selalu bisa menghubungiku. Dia juga berkata bahwa dia takut menyakiti ibu jika terus menemuiku di rumah.

Bisa-bisanya ayah berpikir seperti itu. bukankah dia sudah menyakiti ibu dengan kepergiannya yang begitu ia sengaja? Bagaimana bisa ia takut menyakiti ibu setelah membuat ibu menangis tersedu-sedu hari itu? Bahkan ibu mengeluarkan airmata tanpa rintihan ketika memegang surat gugatan cerai darinya. Ia mematung, seolah tak tersentuh dunia, hari itu. Dan sekarang, ayah berbicara mengenai rasa sakit? Aku sungguh tak mengerti.

Begitu banyak panggilan ayah yang tak kujawab dan sms yang tak kubalas. Aku masih terus merasa bersalah pada ibu jika melakukannya. Tapi ibu, dengan hati malaikatnya, malah mendorongku untuk kembali berhubungan baik dengan ayah. Ibu.., hatimu, sungguh mulia. Ingin aku meneteskan air mata untuk semua kebaikan yang kau curahkan setelah begitu banyak bulir air matamu yang terbuang sia-sia karenanya, tapi aku yakin ini hanya akan membuatmu kembali bersedih. Dan aku tak seharusnya bersedih setelah melihatmu bisa bangkit demi diriku.

"Dari ayah, Raa. Di angkat, ya," bujuk ibu pada suatu hari.

Dengan malas aku menjawab panggilang ayah, itupun karena ibu menungguiku. Jika tidak, pasti akan kutolak panggilan ayah kali itu, seperti biasanya.

"Halo, sayang. Kemana aja telepon ayah gak di angkat?"

"Kenapa, Yah?" Aku mengabaikan pertanyaannya.

"Hari minggu ini, ayah jemput ya? Kita makan di tempat biasa."

"Ayah mau ajak Raa sama ibu makan?" Percikan semangat dan bahagia menghangatkan hatiku.

"Ehm... kalau kali ini ayah Cuma ajak Raa gak apa-apa, ya? Lain kali baru kita ajak ibu. Gimana?" kudengar nada keresahan di ujung sana, tapi aku tak ingin peduli. Kata-katanya telah menyiram habis percikan yang baru saja kurasa.

"Lihat dulu ya, Yah. Raa ada pertandingan basket minggu ini. Nanti Raa kabari lagi."

"Ayah tunggu kabarnya, ya, sayang."

Tak sekalipun ayah bertanya mengenai ibu. Tahukah ayah bahwa ibu lah yang membuatku mengangkat teleponmu hari ini? Tahukah ayah, jika bukan karena tatapan ibu, aku takkan bersikap seramah ini? Tapi ayah sepertinya tak memiliki kepedulian terhadap ibu. Tak sedikitpun membekas, untuk wanita yang begitu mencintainya, yang membuatnya bisa memiliki aku sebagai anaknya. Aku menggenggam ponselku menahan rasa geram di hati.

"Ayah mau ketemu, ya, Raa?" Suara ibu melemaskan otot dan nadiku, mengendurkan genggamanku pada ponsel, dan menoleh ke arahnya.

"Iya, bu. Tapi Raa males banget mau ketemu. Kita jalan-jalan aja yuk, bu. Ibu mau kemana?"

"Ibu mau kamu menemui ayah. Mau, ya?"

"Ya, ibu. Raa kan mau jalan-jalan sama ibu... kapan ya terakhir kita jalan sama-sama?" Eku mencoba mengingat-ingat sembari berusahamengalihkan perhatian ibu.

"Jalan-jalan sama ibu bisa kapan aja, kan kita serumah."

"tapi, bu..."

"Gini deh. Hari minggu ini Raa pergi dulu sama ayah, minggu depan baru kita jalan-jalan. Oke?" Dengan cepat ibu memutuskan kalimatku yang masih menggantung.

"Baiklah, bu." Aku menghela napas berat.

Permintaan ibu adalah hal yang tak bisa kutolak. Dengan enggan aku mengetik pesan untuk ayah, mengatakan bahwa aku bisa pergi dengannya.

Hari minggu itu, kurang lebih setahun setelah ayah dan ibu bercerai, aku dan ayah pergi ke restoran favorit kami. Ini pertama kalinya kami ke sana hanya berdua, biasanya selalu ada ibu di antara kami. Aku merasa sedih karena telah meninggalkan ibu di rumah. Seandainya aku berkeras untuk membawa ibu, mungkin ini akan menjadi kenangan manis pertama kami setelah perceraian itu.

Aku tesentak! Pemandangan ini sungguh sesuatu yang tak bisa kupercaya. Di sebuah meja yang ayah pesan, telah duduk seorang wanita yang jika kutilik umurnya tak beda jauh dari ibu, dan seorang pria yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Ayah menggiringku mendekati mereka. Apakah mereka...?

"Raa, ini mama Melati. Dan ini Haka, kakak kamu."

What? Kakak? Apa telingaku tak salah dengar? Bagaimana bisa aku memiliki seorang kakak? Hello, Yah. Aku ini anak tunggalmu, lho! Ingin rasanya aku berteriak di tempat, atau menyebutkan sumpah serapah menimpali kata-kata ayah. Tapi aku mengingat ibu, mengingat bagaimana sedihnya ia jika tahu aku telah bersikap buruk. Karena itu aku memilih diam. Mereka tesenyum ramah padaku, bahkan orang yang ayah sebut sebagai kakak ini, menggeserkan kursi untukku duduk. Aku benar-benar jijik melihat kebaikannya! Kamu anak baik, Raa. Kamu anak yang sopan. Ibu percaya sama kamu. Aku terus menggumamkan kata-kata itu di benakku dan duduk di kursi yang telah disediakan untukku.

"Mau pesan apa, Raa? Kata ayah kamu suka lobster saus lada hitam di resto ini, mau mama pesankan?"

Mama? MAMA?? Kepalaku terasa mau pecah mendengarnya. Ingin rasanya aku meninggalkan tempat ini sesegera mungkin, tapi aku telah berjanji pada ibu bahwa aku akan bersikap baik hari ini, dan akan terus bersikap baik hingga aku pulang ke rumah. Tapi, dengan sikon seperti ini, bisakah? Aku mulai meragukan diriku.

"Raa, ditanyain mama, sayang. Mau lobster saus lada hitam?" Papa menyadarkanku dari pergulatan batinku.

"Gak, Yah. Raa mau cumi goreng tepung aja."

Ini sepeti sebuah siksaan berat untukku. Aku harus melihat mereka bertiga bercanda, tertawa, selayaknya sebuah keluarga harmonis. Mereka teramat sangat bahagia dan membuatku jijik sekaligus iri. Karena apa yang kulihat di depanku adalah kebahagiaan yang bisa terwujud berkat air mata ibu! Aku kembali teringat akan ibu yang saat ini sendirian di rumah. Apa yang ibu lakukan sekarang? Apa yang ibu makan siang ini? Dan, bu. Tahukah kau jika mereka tertawa bahagia saat ini? Ayah dan keluarga barunya. Hatiku begitu perih melihatnya.

"Maaf ya, Raa, ayah gak bilang dari awal. Ayah harap kamu bisa akrab dengan kakakmu, Haka."

"Dia bukan kakak Raa, Yah." Kuucapkan kata-kata dengan lirih agar tidak terpancing emosiku.

"Dia anak ayah, kamu juga anak ayah. Kalian bersaudara." Ayah mempertegas kata saudara di telingaku.

"Yah, Raa bisa minta satu hal dari ayah?" tanyaku datar mengalihkan pokok pembahasan.

"Tentu saja, sayang. Apa?"

"Jangan pernah ajak Raa ke restoran itu lagi, kecuali ayah menginginkan Raa dan ibu yang berada di sana."

Nadaku terdengar cukup tajam. Dan ayah? Ia hanya diam, tak memberikan respon apapun untuk permintaanku. Kuharap, itu berarti ayah mengerti.

Lovely Little Sister [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang