Hari ini, di hadapanmu aku berdiri. Kau pikir, aku akan mengatakan apa?
"Res, serius, deh. Gue jadi deg-degan lo datang sepagi ini ke rumah gue. Ini bukan hari spesial kan?"
Kamu memasang senyum itu lagi. Senyum yang rasanya sudah tidak sama lagi. Dulu, aku jatuh cinta pada senyummu yang seperti itu. Sekarang, aku masih menyukainya. Tapi senyum itu bukan milikku lagi.
"Res? Resta? Kok lo diem sih?"
Ada banyak jutaan kata yang ingin aku katakan. Aku hanya merasa tidak memiliki kesempatan untuk mengatakannya. Bukan karena aku takut kamu sedih ketika mendengarnya, aku bahkan tidak mengerti lagi bagaimana perasaanmu padaku setelah perjalanan panjang yang kita alami.
"Resta, lo kelihatannya nggak sehat. Mau masuk ke dalem? Nyokap gue bikin bubur sumsum kesukaan lo. Yuk?"
Bubur sumsum? Hh. Aku bahkan lupa kalau itu adalah makanan kesukaanku, atau aku menyukainya karena aku memakannya bersamamu. Kalau nanti kita sudah tidak bersama lagi, mungkin aku juga tidak akan memakannya lagi. Terutama jika memakannya hanya akan membuatku teringat padamu.
Tapi telapak tangan kita yang saling berpegangan ini, ketika kau menyematkan jemarimu di antara jemariku, menarikku masuk ke dalam rumahmu yang sudah seperti rumah kedua bagiku, jujur saja, aku tidak ingin melupakannya.
Lagi pula, memangnya aku bisa lupa?
"Mah, ada Resta nih. Res, tunggu ya. Gue bawain buburnya."
Aku selalu menyukai sosokmu yang berjalan mendekat membawakanku mangkuk, piring, gelas, botol minuman dingin, bungkusan makanan ringan. Aku selalu suka caramu menawariku makanan, membelikanku jajanan, membuatku merasa ketagihan terhadap sesuatu —entah karena mecin atau karena kamu begitu mampu membuat setiap makanan jadi terlihat enak. Kamu perempuan yang cocok membuat laki-laki kurus sepertiku untuk menambah berat badan.
"Nih, Res, cobain. Tadi gue tambahin sedikit garem biar gurih rasanya."
Garam? Sayang, aku ingat betul roti terakhir yang kau buat rasanya seperti apa. Jangan dimacem-macemin, nanti rasanya jadi tidak enak meski aku akan tetap memakannya.
"Gimana? Enak kan? Hehe,"
Dusta. Kamu tau aku berbohong. Aku tau kamu hanya pura-pura menerima pujianku. Memangnya kita baru kenal kemarin sore?
"Jadi, apa? Kamu mau ngomong apa?"
Tunggu sampai aku menghabiskan ini. Aku tidak ingin apapun menginterupsi pembicaraanku nanti, termasuk ibumu yang kukhawatirkan tiba-tiba muncul untuk menanyakan apakah aku menyukai makanannya atau tidak —kenapa tidak habis, dan sebagainya. Seperti waktu itu.
Ingat tidak? Waktu itu aku mau mengeluarkan cincin yang kubeli dengan uang tabunganku, yang kupilih dengan susah payah —sampai-sampai aku harus membawa sepupu perempuanku ke toko perhiasan. Dan aku terlalu senang sampai lupa kalau saat itu ada ibumu juga.
"Kamu belum sarapan, ya?"
Ayolah. Memangnya kalau kamu tertawa aku akan mengurungkan niat untuk mengatakan ini? Aku sudah memutuskan ini sejak semalam, jadi tolong jangan hancurkan lagi pertahananku. Kamu sudah terlalu jauh melampaui batas pertahananku, ataukah aku memang belum kuat membangun pondasinya?
"Sumpah, lo belepotan, Res. Sini, gue bersihin."
Biasanya, kamu juga seperti ini. Kamu juga mengusap air mataku jika aku mengeluarkannya barang sedikit saja —aku tau harusnya tidak boleh. Tapi di saat-saat seperti itu, kamu memang ada di sana. Sebuah ketidakberuntungan yang harus kamu alami adalah melihatku melemah di depanmu. Mungkin aku merasa tidak ada lagi yang bisa kusembunyikan darimu? Atau kau pandai membuka diriku lebih dari yang kuduga?
"Resta,"
Ya? Apa? Kamu tau apa yang kupikirkan?
"Gue seneng banget waktu semalem lo nelepon gue. Gue juga seneng waktu tadi pagi lo bilang mau ke rumah gue. Gue sampai gak tau harus pakai baju apa. Haha. Kita... udah lama banget nggak ketemu seintens ini."
Aku tau. Aku tau. Aku terlalu sibuk, kamu juga. Tapi sebagai pasangan, harusnya kita tetap menyempatkan diri untuk saling komunikasi, benar? Aku tau kita saling cuek, tapi aku tidak menyangka kamu secuek itu.
"Karena kamu bilang kamu mau ngomong, aku jadi makin deg-degan."
Sepertinya yang kamu pikirkan bukanlah apa yang mau aku katakan. Sayang, kapan lagi aku bisa memanggilmu begitu? Bahkan aku kesulitan memegang tanganmu saat kita berjalan berdua di taman, di jalan kota, di dalam mobil. Aku bahkan tidak bisa mengatakan 'aku mencintaimu', seperti yang seharusnya seorang laki-laki katakan pada wanitanya. Aku tidak bisa membalas tatapan matamu, membalas senyum setulus milikmu, mengatakan kalau 'aku juga kangen kamu' dari dalam lubuk hati ini.
Padahal seharusnya, aku bisa.
"Kamu... mau ngomong tentang apa?"
Aku tau kamu masih penasaran. Aku tidak memberikan clue apapun, sama sepertimu. Aku tidak punya clue. Aku menemukannya sendiri. Bagaimana kamu tersenyum padaku, sebuah senyum yang membuatku jatuh cinta, yang juga kamu berikan pada laki-laki lain. Aku mencari tau, kapan kamu memegang tangan laki-laki lain saat berjalan bersamanya di trotoar jalan, saat aku tidak bersamamu. Kamu memberikan tawa seperti yang kau lakukan padaku sebelumnya —yang kukira hanya aku yang bisa membuatnya.
"Jangan bilang soal hubungan kita?"
Ini memang soal hubungan kita, dan karena aku akan mengatakannya, aku minta maaf. Aku minta maaf karena selama ini, hanya aku saja yang mencoba mengetuk pintu, aku membuka pintunya sendiri, menutupnya dari dalam, bercengkerama di dalamnya seolah hatimu adalah rumahku. Padahal kamu tidak ada di sana. Kamu melalang buana keluar, entah mencari apa.
Aku minta maaf karena aku akan mengatakannya, bahwa aku tidak merasakan apa-apa lagi ketika barusan kamu memberikanku senyum tulus itu lagi, atau tawa renyahmu, atau bubur yang kamu bawa —rasanya bahkan tidak asin, tapi hambar. Aku tidak tau lagi rasanya sentuhan tanganmu yang biasanya hangat, atau kehangatan yang rumahmu berikan setiap kali aku berkunjung.
Membayangkan ada orang lain yang mendapatkan apa yang kudapatkan darimu sedikit mengiris hati. Sebelum kamu terlalu dalam membuat luka itu, aku ingin menyelematkan diri.
"Resta, kalau iya kamu mau ngomongin soal hubungan kita..."
Maaf. Jika memang kamu tidak berniat melakukan itu padaku, maka aku yang akan mengatakannya. Biar aku yang mundur dan menjauh lebih dulu.
"Aku mau kita putus."
***