PROLOG

1.1K 13 1
                                    

Keringat terus bercucran membasahi tubuh be-berapa wanita dalam satu petak ruangan itu, ruangan dimana menjadi saksi bisu mereka mempertahankan impiannya. Bahkan kata lelah pun mungkin sudah terhapus dalam otaknya.

“Break!” seru seorang wanita yang sering mereka sebut sebagai koreografer. Satu kata seruan itu mampu memberikan senyuman dalam hati mereka, tak terkecuali dengan salah satu wanita yang lahir tepat pada hari ulang tahun Republik Indonesia ini―Lidya Maulida Djuhandar, member JKT48 generasi kedua.

Wanita berparas cuek dengan suara berat ini berjalan mendekati sebuah bangku di sebelah pintu. Ia meraih tas merah miliknya yang terlihat penuh dengan buku-buku pelajaran. Iya―setelah sekolah berakhir, Lidya tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju FX Sudirman Mall―tempat dimana ia mempertahankan mimpinya sebagai member JKT48. Tangannya mulai menjamah isi tas tadi, kembali keluar dengan menggenggam sebuah bekal minuman yang tersisa dari sekolah. Lega. Rasa haus di tengah lelahnya perjuangan sedikit terobati dengan sisa bekal minuman itu.

Sembari melepas rasa lelah itu, Lidya menyempatkan dirinya untuk membuka ponsel. Aplikasi dengan logo burung berwarna biru―Twitter, menjadi sentuhan pertama dari ibu jarinya. Sapaan-sapaan bahkan kata-kata semangat dari penggemarnya selalu berhasil mengembangkan senyumannya.

Tak lama, setelah Lidya mengetikkan satu kalimat sapaan balik yang tidak lebih dari 140 karakter untuk penggemarnya, seseorang wanita tinggi mendekat dan berhenti di hadapannya.

“Lid…,” sapa wanita itu.

Lidya mengalihkan pandangannya yang semula pada layar ponselnya, perlahan-lahan menatap dari bawah ke atas pada orang yang menyapa di depannya. “Eh, Shania… ngapain?” sapanya balik.

“Kamu nggak capek, habis pulang dari sekolah langsung latihan gini?” tanya Shania agak serius, seperti menginterograsi.

Lidya meletakkan ponsel yang berada dalam genggamannya di lantai, dengan terampil tangannya mengikat rambutnya. “Kalo capek sih pasti iya, tapi ditahan aja lah, lagian udah kewajiban kita kan?” ucapnya kemudian.

“Hmm… iya juga sih,” gumam Shania manggut-manggut. “Tapi kan kamu udah kelas 12, kudu cari kuliah juga kan?” tanyanya kemudian sambil menggeret bangku di sebelahnya untuk tempat meletakkan tubuhnya.

Lidya mengembangkan senyumnya, terdiam beberapa detik sembari menatap mata Shania.

“Nah itu beratnya, kita kudu siap aja, soalnya ini udah jalan yang kita pilih dari awal. Asal ada niat dan tetep konsisten jalaninya, semua bakal berakhir manis kok, Shan,” jelasnya. “Kamu sendiri kan baru aja lulus Ujian Nasional tahun lalu, itu buktinya juga bisa?” tambahnya kemudian.

“Nggak nyangka juga sih aku, padahal setiap hari kudu ngimbangin antara latihan dan sekolah,” sahut Shania sambil menatap ke atas, mengingat kembali saat dulu harus berjuang melawan kelulusan. “Iya ternyata bener, niat itu yang mengawali segalanya dan bakal sejajar sama hasil akhir yang pengen kita capai,” tambahnya kemudian, masih tetap melihat ke atas seperti berbicara sendiri.

Lidya berdiri, kemudian berjalan mendekati Shania. “Oke sekarang kita kudu berjuang bareng-bareng, kalo dinikmati nggak bakal terasa berat kok, yang penting kita usahain nggak buat fans kecewa sama kita, gitu aja,” ucapnya sembari menepuk bahu Shania, memberikan semangat untuk teman yang lebih muda dari dirinya itu.

Mendengar perkataan Lidya yang malah memberikan semangat untuk dirinya, Shania tersenyum, ia sudah memastikan bahwa orang di depannya termasuk orang yang memiliki pendirian kuat dan tidak mudah putus asa untuk menggapai semua yang diimpikan.

“Yeps cukup! Lanjut lagi!” seru koreografer yang sudah bersiap untuk melatihnya kembali, seruan itu sekaligus memenggal senyuman Shania bahkan mengakhiri perbincangannya dengan Lidya.

Hari itu merupakan hari yang sangat melelahkan untuk Lidya, bukan hanya karena sekolah dan latihan, ia harus perform theater hingga larut malam. Mengingat esok hari sekolahnya mengadakan Try Out―penjajakan Ujian Nasional, yang berarti Lidya tidak bisa langsung beristirahat saat pulang, melainkan harus memaksa dirinya untuk belajar. Hal itu membuat Lidya harus pintar untuk mengatur waktunya yang padat itu, sehingga tak jarang ia menenteng buku pelajaran di tengah latihan maupun waktu luang sebelum theater dimulai.

“Mungkin orang lain mengira, menjadi idola itu mudah dan selalu bersenang-senang karena banyak penggemar, namun bagiku itu salah! Aku sudah merasakan sendiri, disini aku diajarkan untuk mengerti arti kerja keras yang tak kenal putus asa, itulah alasan mengapa teman-teman banyak yang tidak sanggup untuk melanjutkan dan harus meninggalkan JKT48. Tapi, aku berusaha untuk bisa selama mungkin disini, arti persahabatan dan kekeluargaan bisa jadi alasanku buat tetap ada disini,” pikir Lidya yang mungkin sudah melekat di hatinya untuk tetap berpegang teguh pada pemikiran itu.

Nyatanya, ia sudah berhasil menjalankan semua aktivitasnya hari itu. Pulang. Saatnya belajar, memantapkan pelajaran untuk penjajakan esok hari. Sekarang, wakunya ia melawan rasa kantuknya setelah rasa lelah itu mungkin sudah dilupakan tubuhnya. Hingga akhirnya, ia mampu menyelesaikan dua pelajaran larut malam itu juga. Lega. Ia menutup buku pelajaran yang terakhir dibacanya, meraih tas untuk memasukkan buku-buku mata pelajaran sesuai jadwal besok.

Ketika membedah tas miliknya, ia dikejutkan dengan  beberapa lembar kertas di dalamnya. Tangannya terdorong untuk mengeluarkan kertas itu. “THE SLEEPWALKING” tertera jelas tulisan itu pada lembar teratas beberapa kertas yang berada pada genggamannya sekarang. Rasa penasaran dengan tulisan itu, berhasil menghipnotisnya untuk membuka lembar selanjutnya yang dipenuhi dengan kata. Sepertinya, beberapa lembar kertas itu berisi cerita pendek. Ternyata benar, sebuah cerpen dengan Jovianatha Wijaya sebagai karakter pembuka dalam cerpen itu.

“Siapa Jovi? Mengapa cerpen itu ada dalam tas?” gumam Lidya, hatinya bertanya-tanya tanpa jawaban.

Hingga beberapa halaman Lidya baca, ia baru saja menyadari bahwa cerita itu seperti membuatnya masuk ke dunia kedua dalam cerita tersebut. Mulai dari situlah, sekarang hidup Lidya seakan-akan juga ikut merasakan kehidupan Jovi, otaknya terkontaminasi dengan dua kehidupan yang berbanding terbalik. Pada dunia nyata, Lidya dapat melakukan apa saja menurut perintah otaknya, namun di kehidupan milik Jovi, ia hanya bisa mengamati dan merasakan atmosfer di dalam skenario cerita itu.

IKUTI CERITA SELANJUTNYA, YA!

MOHON KOMENTARNYA :))

The Writer's JikoshoukaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang