Part 6

26 0 0
                                    

Mentari begitu hangat menyapa saat kami bertiga mulai menjejakkan kaki beberapa depa dari pintu pagar. Hangat, dan begitu menentramkan saat kugapai kedua tangan saudaraku mengisi tiap sela jari. Kak Surya tersenyum tipis saat aku mulai menggenggam tangannya, sedangkan Bumi? Gerakan tangannya kalah cepat denganku saat aku kembali menarik tangannya sesaat ketika dia menarik tangannya.

Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping bumi tak henti-hentinya tersenyum saat melihat sebuah kiriman foto yang baru saja sampai di whatsapp group family. Entah, mungkin hanya aku saja yang menyadari kiriman foto dari kak Indah. Kak Surya masih saja sibuk dengan urusannya sendiri sedangkan bumi masih sibuk dengan rasa kantuknya, mungkin.

Keheningan mulai pecah saat kak Surya mengeluarkan suara baritonnya yang terdengar meninggi di telingaku. 

"Kau sedang tidur, Bumi?" Apakah itu sapaan atau ajakan untuk 'pemanasan' hari ini? Aku lihat Bumi masih tak bergeming, katup matanya masih tertutup. Entah apakah dia benar-benar tidur atau sedang 'melarikan diri' dari kami.

"Aku tahu kau sedang berpura-pura tidur, mari kita bi..." tak aku biarkan kak Surya meneruskan perkataannya. Aku kira tak semestinya moment langka ini rusak begitu saja. Aku ingin bersama kalian, walau sehari. Mari kita bersenang-senang bersama dan menjauh dari konflik yang sekiranya bisa kita tunda sebentar.

Hembusan nafas kak Surya terdengar, akupun ikut menghela napas. Aku melirik Bumi yang masih betah dengan kediamannya. 

"Bumi!!!" tak kuasa aku menahan keterkejutan ini. Lelahan darah di kedua lubang hidung Bumi membuatku menggila. Sedetik kemudian aku mulai menempelkan beberapa lembar tissue di hidungnya, kak Surya menepuk-nepuk tubuh Bumi namun tetap tidak ada respon. Kepala Bumi kemudian lunglai dan tertahan di pundakku.

***

Kilasan memori tetiba mendorongku jauh ke masa silam. "Kamu saudarinya Bumi, kamu harusnya bisa menjaganya!" Ayah terus saja menyalahkanku saat Bumi terluka ketika bersepeda denganku dan beberapa teman sepulang sekolah.

Saat itu aku yang terkenal tomboy dan keras kepala lebih suka membela diri daripada menjadi kambing hitan untuk dipersalahkan. "Jika beda lima menit saja sudah menjadikanku kakak, kenapa dia tidak bisa menjadi adik laki-laki yang melindungi kakak perempuannya? Dia kan laki-laki ayah, usia kami juga sama!" plak... sebuah tamparan mengenai wajahku. Aku berlari kencang mencari pelukan ibu.

Namun sore harinya tawa kami kembali membahana, Ayah sudah meminta maaf begitupun aku. Begitulah, jika dulu api amarah begitu cepat menguap dengan kata maaf lalu tak bisakah sekarangpun begitu?

***

Suara kak Surya perlahan menyadarkanku kembali sesaat ketika aku merasakan wajah Bumi menjadi dingin. Aku pandangi wajah Bumi yang serupa dengan wajahku, dan baru saja aku menyadari wajah Bumi tak seperti biasanya. Wajah Bumi yang memucat kini memecahkan tangisku.

"Bumi kenapa kak Surya?"

Fajar di VenusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang