Hanna
DUG!!!
Hanna tertabrak. Ia sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menengadahkan wajahnya pada sesosok yang membuatnya jatuh.
"Kenapa lo liat-liat?! Uhm, gua sebenernya gak suka minta maaf, tapi khusus kali ini, gua bakalan ngelakuin itu buat lo. Maaf." Cowok berperawakan tinggi besar tadi berbicara seolah tidak tahu titik koma, tanpa intonasi yang pas, dan berlalu begitu saja. Ia malah sengaja menurunkan topi yang ia pakai hingga menutupi separuh wajahnya.
"MENYEBALKAN! Benar-benar sial. Lelaki itu bodoh sekali sampai tidak tahu cara jalan yang benar." Umpat Hanna sambil meraih bingkisannya yang terlempar agak jauh.
Ia menarik napas panjang untuk menyiapkan mental, kemudian mulai membuka box di dalam bingkisan tersebut. Matanya berair saat melihat kue tart yang menurutnya spesial sudah tak berbentuk sempurna. Sudah hancur semua, sama seperti harapannya untuk mengadakan surprise dan party kecil-kecilan di rumah pacarnya, Andra.
Tapi, apa yang ia inginkan harus ia lakukan--begitu prinsip yang dianutnya sejak lama. Hanna buru-buru mengusap buliran air mata dan bangkit. Ia menepuk-nepuk roknya yang sedikitnya terkena debu aspal. Dia menanam kepercayaan dalam hatinya, kali ini ia pasti akan berhasil; baik untuk memberi kejutan bagi Andra sekaligus memperbaiki hubungannya yang sedang dalam perkara.
TOK TOK!
Ia mengetuk pintu dengan anggun, padahal jantungnya berdegup mungkin lebih kencang sepuluh kali lipat kalau dihitung. Seraya menunggu seseorang membukakan pintu, kepalanya merangkai kata yang tepat untuk diucapkan di hadapan Andra nanti. Ia ingin sukses mengutarakan isi hatinya; tanpa gemetar atau terkesan datar. Once again, she trusted in her own self that she would make it.
Cekrek!
"Hanna?!? Ya ampun, Bunda sudah lama gak ketemu kamu. Apa kabar? Andra sepertinya sering galau akhir-akhir ini, mungkin karena kebanyakan mikirin kamu. Lagi sibuk apa? Kok keliatannya kurusan? Duh, tapi makin cantik aja, nih."
"Oh, please can i just get in?" Rasanya Hanna ingin mengucapkan itu, tapi ia masih tahu aturan sopan santun. Apalagi ia adalah Ibu Andra, orang yang benar-benar ia cintai dari dulu, sekarang, bahkan sampai kapan pun. Kalau Bunda gak restu dan gagal jadi mertuanya, gimana?
"Ehm, maaf ya, Nak Hanna. Bunda terlalu banyak bicara. Abisnya, excited banget ketemu kamu setelah berbulan-bulan gak ketemu. Ayo masuk, Andra ada di kamarnya."
"Tapi, aku belum jawab semua pertanyaan Bunda, kan.."
"Ah, kalau kata anak jaman now, santuy aja. Masih ada waktu, kok. Makanya jangan pulang cepet-cepet. Kamu urus masalah kamu sama Andra aja dulu, nanti baru kita talking-talking lagi ya sambil rumpita. Hehehehe..."
"Bunda bisa aja, deh. Makasih ya Bun, buat pengertiannya. Aku ke atas dulu, ya."
Hanna berjalan pelan menuju tangga. Ia menyiapkan keberaniannya. Ia berusaha untuk tampak tegar dan berharap supaya tidak menumpahkan air mata ketika bertemu Andra.
Pintu berwarna biru di hadapannya selalu membuat hatinya dag dig dug tak karuan. Pintu itu memberikan suatu aura aneh yang ia tidak mengerti; begitu kuat seperti hendak menariknya ke dalam, namun juga begitu menyakitkan seolah mengusirnya jauh-jauh. Pintu itu memberikan sekat yang tidak terlihat, tapi sangat nyata. Setiap kali berada di depannya, ia merasakan emosi yang benar-benar asing. Emosi yang bisa membuatnya tersenyum sambil menangis bersamaan.
TOK!..
Ia ragu-ragu mengetuknya. Saat hendak kembali mengetuk, suara menenangkan dari dalam menyahut,
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARLESS VS HEARTBREAKER
Romance"Hanna cewek yang sok pinter itu kan? Sebenernya emang paling anti sama cewek yang sok pinter, sok jutek, terus sok gak peka. Pokonya, gak banget deh. UP SEADA-ADANYA!" -Rio, Mario Nathanael "HAH?!? Rio yang sok kecakepan itu? ya ampun, dia mah gak...