..enam..

33.5K 5.1K 108
                                    

Kemi: "Bagi gue, kejepak apes rame-rame itu lebih baik ketimbang gue sendirian. Tuhan Maha Adil, tapi gue juga butuh pencitraan. Dikit!"

Kalau ada kondisi di mana gue pengen ngakak geli dan nangis sampe bengkak mata itu, ya, sekarang ini.

Enggak munafik, gue senang banget karena sohib-sohib gue masih belain. Si Mona bahkan sampe nonjok King.

Dan lo enggak salah dengar.

Gadis perfeksionis taat aturan dan rencana—yang bikin karier doi melesat membubung tinggi—itu nonjok King. King yang anaknya Bos gue.

Gila banget!

Gue pengin ngakak... sumpah.

Itu yang gue rasain duapuluh empat jam yang lalu, sayangnya.

Gue senang banget sih, dibelain sampai segitunya. Toh... ini salah King juga mancing-mancing gue. Sudah paham batas kemarahan gue itu setipis celana dalam. Masih aja pakai disobek-sobek.

Kan... kampret!

Tapi, sekarang... euforia atas pembelaan sohib gue itu meredup abis. Jadi abu. Gara-garanya, gue sadar banget kalau mereka bertiga sama gelisahnya kayak gue soal kerjaan ini. Ya... gimana lagi, siapa yang enggak takut 'dihabisi' abis membogem mentah anak bos?

Lanti menggigit kukunya berulang kali. Meski gue pura-pura cuek, gue jelas bisa lihat mata dia ngelirik ruangan Pak Arven terus. Si Mona beda lagi, sibuk mencoretkan entah apa di buku agendanya. Gue seratus persen yakin dia mulai menderetkan rencana yang mungkin dia lakukan untuk menghasilkan duit, habis di depak dari sini. Dan Saga... cowok kelewat rapi itu dari tadi menyugar rambutnya sambil mencengkeram lima rubik lima kali enam yang sebenarnya sudah dia kelarin sejak seabad yang lalu.

Gue sendiri mulai nyusunin lego, bikin kastil Princess Kemi biar enggak perlu bersitatap sama mereka. Pura-pura pasang sini pasang sono atau nyari warna ajaib buat nutupin kegelisahan gue.

Karena gue... mulai ngerasa salah.

Ini enggak seharusnya terjadi.

Meskipun gue bakal senang banget kalau kami dipecat berjamaah—setidaknya gue enggak jobless sendirian—tapi ngebayangin ancurnya masa depan yang udah mereka rintis dari dulu ini bikin nyesek juga.

"Gue yang bakal menghadap," cetus gue, mengakhiri kesunyian macam kuburan ini.

"Jangan ih, kita nunggu aja," sela Lanti. "Siapa tau kan, Pak Arga lupa." Lagi-lagi dia menggigiti bibir.

Lupa konde nenek lo jahanam. Bekas tonjokannya aja masih bisa gue lihat. Soalnya tadi kami papasan pas mau masuk lift. Sudut wajah King masih kelihatan birunya.

"Ya kali lupa, Lan. Rahang bonyok gitu mana mungkin lupa." Saga berdecak memelas.

"Terus, kalau gitu... kenapa sampai sekarang kita enggak dipanggil-panggil?"

Saga mengedikkan bahu. Kemudian mukanya kembali ke setelan meringis penuh derita. Gue enggak enak banget. Ada nyeri-nyeri yang aneh gimana gitu di hati gue.

"Gue enggak enak banget kayak gini. Kalau emang mau marah atau ngehukum mending sekarang ajalah. Makin lambat, perasaan gue makin enggak karuan," curhat gue.

"Lo kira, cuma lo yang ngerasa gitu." Mona mulai mengomel panjang pendek. "Kita ini juga lagi bingung, Kem."

"Makanya, mending gue ke dalam aja nyerahin diri," putus gue. "Gue bakal ngaku kalau kemarin gue kaget abis terus bertingkah alay. Reaksi kalian murni gara-gara gue histeris," jelas gue.

Gue ngomong gitu pahit juga, sih. Sedikit banyak... gue benar-benar ngarep Mona nemenin gue ke dalam dan ngejelasin semuanya. Siapa tahu kalau Pak Arven melihat Mona, pikiran dia lebih jernih kayak matahari. Sayang-sayang kalau karyawan kayak Mona dipecat, kan? Jadinya, gue juga selamat.

Tapi... gue benar-benar enggak bisa berharap banyak.

Gue sadar itu.

Meskipun Mona yang nonjok, tapi tetap gue biang keladinya.

Di mana-mana keladi pasti enggak enak. Sudah enggak tembus air, dijadiin sasaran salah pula.

Apa jangan-jangan otak gue dibikin dari keladi kali, ya? Makanya bebal, susah nerima wejangan atau nasihat bermanfaat dari orang. Kerjaannya unfaedah melulu.

Anjir... gue melantur.

"Maksud lo. Lo mau nyerahin diri gitu aja?" Saga mengerutkan alisnya. "Enggak!"

"Biarin, biar gue yang tanggung jawab," lanjut gue sok berani. Padahal... perut gue rasanya mengecil saking parnonya.

"Enggak, Kem! Kalo maju ke dalam, gue ikut," sambar Mona.

Yes!

"Jangan somplak deh, Mon. Gue enggak mau lo nyia-nyiain karier yang udah lo rintis dari awal. Lo pikir gue tega?"

Pencitraan banget, Kem!

"Tapi, kan gue yang nonjok!" jawabnya cepat. "Lagian, kalau kita dipecat, gue udah ada tempat cadangan baru."

Anjir, ya, setan banget ni orang! Pantes berani maju. Ya... dia enak, gue?

"Yah... baguslah, Mon, paling enggak lo selamat," ungkap gue berusaha banget buat ikhlas. "Ada harapan baru."

"Gue dapet, lo juga kudu ikut, Kem. Kalau gue diterima, gue pastiin mereka merekrut kalian juga."

Astaga!

Dua tahun lebih sama-sama, baru kali ini gue rasanya pengin syukuran dan nari hula-hula punya temen kayak Mona.

"Gue ikut!" seru Saga.

"Aku juga," cetus Lanti.

Yeah... Fantastic Four emang melegenda. Bodo amat mau digaji berapa, yang penting masih bisa makan sama beli sepatu cantik diskonan!

"Kalian mau kudeta?"

Anjir! Bulu kuduk gue meremang setegak-tegaknya!

Note:

Maafkan saya, kemarin dinas ke luar kota cukup lama, hehe.

InsyaAllah bakal rutin lagi. Aye!

Oia, saya mau bilang: BESOK VOTE KOVER buku Mamah Nu yang mau terbit bulan Februari. Ceritanya Papa Agil sama Mama Ghea. Awas kalau nggak ikut vote, besok K2 bakal ngadat apdetnya sampai sampai dua puluh tahun kemudian. Ngahahahaha...

 Ada Giveaway juga di situ, buat yang mau dapetin gratis bukunya. Oke? Vote ya, besok malam di lapak Anesthetized. C u... besok malam... atau dua puluh tahun kemudian *ngancem

MAGNITUDO (Stagnasi #2) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang