"Ketua! bagikan buku tulisnya!" ucap bu Nining seusai mengakhiri kelas di sore itu. Tanpa menjawab ia langsung meraih tumpukan buku diatas meja segi empat disudut kelas. Mata sayunya masih sanggup untuk membuka. Kali ini senyumnya -yang hanya terbit sehari sekali- mengembang karena rasa suka citanya atas berakhirnya kelas yang membosankan di hari itu. Ia dan langkah besarnya akhirnya menapak tepat didepan bangku Qiya. Qiya, ditengah-tengah kesibukannya mencoret-coret buku pelajaran dengan spidol warna-warni kemudian berpaling dengan senyum cerahnya menyambut kedatangan Adnan yang kian mendekat. Qiya telah lebih dulu menadahkan tangannya sebelum Adnan menyodorkan buku bersampul cokelat miliknya. "Terimakasih, Adnan!" ucapnya, seperti biasa. Adnan yang tak tahu cara berbasa-basi dengan tatapan canggung meninggalkan Qiya yang masih menatapnya dengan wajah penuh harap. Qiya bisa maklum, temannya yang satu itu sepertinya memang tidak tahu caranya berkomunikasi dengan manusia lain.
Begitulah Adnan Hanif, yang pada saat itu adalah seorang remaja laki-laki bertubuh jangkung, ber-mata sayu, manja, acuh namun cerdas dan selalu meliburkan dirinya di hari Sabtu, hingga ia dijuluki "PNS" oleh teman-teman kelasnya. Ia dengan semua reputasi baiknya itu ditambah lagi dengan sikapnya yang terkesan sombong membuatnya cukup disegani oleh masyarakat dikelasnya. Berbeda dengan Shaqiya Achmad, yang pada saat itu adalah seorang remaja perempuan bertubuh mungil dengan kulit gelap dan wajah yang tak seberapa, ceria dan (sangat) tidak mencolok diantara teman-temannya. Dengan reputasinya yang tak seberapa itu, ia jarang, bahkan luput dari perhatian anak laki-laki dikelasnya yang pada saat itu tengah berada dalam masa 'puber' dan mulai penasaran dengan lawan jenisnya.
Sebuah tangan mendarat dengan tidak mulus dipundak Qiya. Qiya berbalik dan menemukan Wika berdiri menyamai langkahnya "Qi, like status gue dong!" ucapnya setengah meringis. "Iya, gampang! Yang penting like foto gue juga ya. Yang baru gue upload, hehe". Bagi Qiya dan teman-temannya bermain Facebook adalah hal paling keren yang bisa mereka lakukan saat itu. Qiya rela menghabiskan uang sakunya untuk bermain Facebook diwarnet yang letaknya berseberangan dengan sekolah demi bermain Facebook dan memenuhi wall nya dengan status-status berisi lirik lagu yang ditulis dengan angka dan huruf besar-kecil -yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri- , memberi makan hewan peliharaan virtual nya di Facebook, yang tak jarang membuatnya berdebat dengan Fia, melakukan tantangan-tantangan konyol yang mempertaruhkan harga diri hanya untuk mendapatkan Mystery box yang sampai saat ini belum juga diterimanya.
Kebodohan-kebodohan lain yang dilakukannya saat itu membuatnya tertawa saat mencoba mengenangnya. Sangat indah. Namun, rasa pilu masih mengiringi setiap kenangan bahagia yang tak sengaja terus teringat, walaupun selalu berusaha ia kubur sendiri. Menutup rapat setiap kisah yang pada akhirnya membunuh rasa bahagia yang dirangkainya. Semakin kuat tekadnya untuk pergi, semakin kuat pula ingatan itu melekat. "Qiya, biarkan ia menghilang dengan sendirinya. Jangan dipaksa." Air mata kembali membanjiri matanya yang dengan susah payah ia keringkan sejak semalam. Pertemuan itu meruntuhkan balok-balok pertahanan dalam hatinya. Nanda menggenggam tangannya yang gemetar, berusaha memahami isyaratnya. Qiya memejamkan matanya, dan sekali lagi air matanya jatuh bersamaan dengan pecahnya tangis yang berusaha ia tahan. Sebuah pelukan hangat merengkuh tubuh ringkihnya, Nanda mencoba menenangkan tubuh Qiya yang mengguncang pelan. "Semoga ini benar-benar sudah berakhir" pintanya dalam hati.
YOU ARE READING
Impossible to Find
ChickLitAku menghilang bukan untuk dicari. Aku pergi bukan karena tak ingin tinggal. Beribu alasan yang kubuat untuk membuatmu pergi ternyata menyisakan luka yang tak berkesudahan. Aku dan perasaanku pada akhirnya semakin melayang tak bertuan. Keyakinan dal...