Daniel tak pernah sebegitu dekat dengan Tuhan.
Bukan dalam artian bahwa ia tidak taat atau mengabaikan pentingnya arti ibadah untuk menghaturkan ungkapan syukur atas hidupnya.
Daniel selalu setia duduk di bangkunya, paling belakang bagian sudut mendengarkan guru agamanya menyampaikan materi. Jangan cantumkan sifat jelek Daniel yang menyimpan jeli dan permen di dalam lacinya, mencuri kesempatan ketika guru lengah dan melahap satu persatu hingga tersisa bungkusnya.
Daniel paham mana baik dan buruk, ia pun selalu datang beribadah dengan rajin. Daniel mengikuti arahan yang benar dari ajaran sang guru.
Hanya saja, sampai menginjak di usianya yang ke 22 tahun, Daniel seolah belum menemukan pijakan yang mantap dan mendekat lebih dalam pada Tuhan -dalam artian yang lebih jauh.
Hatinya masih sering bimbang dan kerap kali terjatuh dalam kubangan kesedihan mendalam yang menyesatkan mata hatinya.
Saat itu usia Daniel 17 tahun. Duduk di bangku tahun kedua sekolah menengah atas di salah satu sekolah ternama.
Ia sengaja meninggalkan Busan untuk sebuah keberuntungan yang baru.
Kehidupan Daniel bisa dibilang tak terlalu banyak lika-liku.
Belajar, mengerjakan pekerjaan rumah dan esok pagi ia akan berangkat sekolah dengan berjalan kaki -kamar kontrakan Daniel berada di seberang sekolah.
Seperti biasa, Daniel datang ke sekolahnya tepat saat bel berbunyi -terkadang terlambat 10 menit dalam waktu tenggat dan ia harus berlari karena Pak Dongho berdiri sangar dengan sebuah penggaris kayu panjang di tangannya.
"Mati aku!" ucapnya sangat pelan sambil berlari sebelum Pak Dongho mendekat dan memukul pantatnya.
Daniel tak terlalu pandai bersosialisasi saat itu tetapi ia punya beberapa teman akrab yang bisa dibilang baik.
Seperti masa remaja pada umumnya, Daniel juga merasakan jatuh cinta. Dia adalah seorang gadis berambut panjang yang cantik, terkadang rambutnya dibiarkan terurai, terkadang bergelombang indah seperti model majalah.
Daniel diam-diam mencuri pandang setiap pagi karena kelas mereka berhadapan, tanpa sepengetahuan teman baiknya.
Daniel bukan tipe seseorang yang mudah mengutarakan kemelut dalam hatinya dengan mudah, lebih suka menyimpannya sendiri.
Nama gadis itu Seongwoo. Setelah bertanya beberapa kali dengan alasan klise bahwa Seongwoo kerap kali menjadi perbincangan diantara para siswa.
Siang itu, Daniel sedang mendengarkan Sungwoon yang berceloteh panjang lebar tentang kelucuan anak-anak klub karate.
"Kufikir pak Minhyun tak akan membuka kelas hari ini." sela Jinyoung, memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tasnya.
Woojin mengernyit heran sementara yang lain menyuarakan pertanyaan yang sama. "Kenapa? Sok tahu sekali kau."
"Anaknya masuk rumah sakit." jawab Jinyoung. Yang lain menanggapi dengan membulatkan bibirnya.
Kenta menyahut dengan obrolan seputar perkembangan fashion dan Daniel tetap diam karena ia tak begitu paham.
"Wow, Ong Seongwoo si primadona. Reputasinya sangat terkenal di seluruh angkatan." gumam Jinyoung menatap ke arah halaman sekolah dimana Seongwoo dan teman-teman populernya sedang tertawa bersama.
Daniel ikut memperhatikan bagaimana gadis itu tertawa ceria. Ia bersikap sebiasa mungkin dan iseng bertanya.
"Bagaimana jika kubilang aku menyukai Seongwoo?" ucap Daniel cukup pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resolution.Kang Daniel.End
Short StoryHanya sekelumit kecil kisah seorang Kang Daniel dan sedikit masa lalunya. Tetesan salju pertama musim dingin yang jatuh di ujung hidungnya sebagai penanda perubahan seorang Daniel menjadi lebih baik. (Park Jihoon:GS)