2/2

104 9 1
                                    

Kalau saja Tuhan memberiku kesempatan memutarbalikkan waktu, aku takkan mau mengulanginya kembali untuk membuat masa depan yang berbeda, aku akan melakukan hal yang sama, mengakhiri hubunganku dengannya.

Aku tidak ingin membuatnya kecewa karena selama ini ia bilang selalu membanggakanku di depan teman-temannya, aku tidak ingin mendapat lemparan pandangan sinis dari perempuan-perempuan yang menyukainya karena aku perempuan cacat yang hanya punya tiga setengah indra dengan satu indra lagi yang sedikit bermasalah.

Namun, jika Tuhan memberiku kesempatan untuk memutar kembali waktu dalam jangka yang lebih lama, aku akan menerima kesempatan itu dan merubah masa depan, sehingga aku dapat menghindari kecelakaan itu.

Merubah masa lalu namanya melanggar hukum alam, namun aku akan tetap melanggar kalau itu bisa membuatku bersatu dengan Chinen, bisa menjadi perempuan yang dapat dibanggakannya.

Semenjak itu, meskipun Chinen mengirimkan pesan-pesan, aku tidak pernah membalasnya. Mendengarkan pesan audio selalu membuatku menangis tanpa suara, dan melihat video darinya juga membuatku terisak tanpa suara. Semua, yang keluar dari bibir ini tak nampak, tak terdengar, tak terasa, yang keluar dari bibir ini hanyalah hampa.

**

Sebulan berlalu sudah, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi, ia sendiri tidak pernah berkontak lagi denganku, terakhir kali kulihat di blog, dia sedang akrab dengan perempuan di sekolahnya karena perempuan itu selalu mengomentari tiap postingan Chinen, begitupula Chinen yang selalu mengomentari postingan perempuan itu.

Tak apa. Tak apa...

Drrrt...drrrt...drrrrt...

Erichan : aku sudah sampai, siap-siap saja bukakan pintunya nanti

Aku menaruh ponselku di atas meja, kemudian bersenandung tanpa suara mengikuti irama musik yang kusetel di ponsel. Hari ini Eri datang terlambat karena semalam ia tidur larut untuk menyelesaikan novelnya, ia datang ke rumahku untuk mencari ketenangan berhubung ia punya banyak adik kecil di rumahnya.

Aku melihat lampu di dekat pintu menyala. Eri sudah datang, aku cepat-cepat membuka pintu. Ia menunjukan kantung kertas dan membuka isinya, uap-uap panas mengepul dari dalam dan tercium wangi ubi bakar. Aku mengisyaratkan ‘terima kasih’ padanya.

Ketika Eri masuk ke rumahku, aku sangat terkejut melihat Chinen muncul setelahnya, lelaki itu lebih pendek dariku, aku sudah mengira itu lebih awal. Apa yang ia lakukan di sini?

Aku gugup dan cepat-cepat menutup pintu, namun Chinen mengganjal pintu itu dengan kaki kirinya sehingga ia teriak kesakitan karena kakinya terjepit pintu. Sontak hal itu membuatku membuka pintu lebar-lebar karena reflek, namun Chinen memeluk tubuhku erat dengan tinggi badannya yang lebih rendah dariku tujuh senti.

Daisuki. Aku sangat sangat menyukaimu!” Serunya “aku tidak peduli kalau kamu menginginkan untuk putus, aku tetap menyukaimu!”

Aku melepaskan pelukannya.

“Bicaralah padaku, kenapa kamu menginginkan itu? Aku tidak peduli dengan tinggi badanmu!”

Aku menggelengkan kepala.

“Lantas kenapa kamu memilih itu?”

Aku menggelengkan kepalaku lagi, menggelengkan kepala, dan terus menggelengkan kepala sampai akhirnya aku menangis sendiri di hadapannya, bagaimana ini...

“Kenapa kamu hanya menggeleng?”

Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menggeleng, kamu takkan mengerti penyampaian isyaratku.

Tanganku gemetar, namun Chinen menggenggam tanganku, setelah itu tangannya bergerak, memberitahu sebuah isyarat bersamaan dengan gerak bibirnya tanpa suara.

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang