Lilin – lilin kecil mulai meredupkan cahayanya, pelan mulai menghilang di tengah kegelapan malam. Angin malam berhembus melewati celah jendela kamar rumah sakit yang tidak tertutup sempurna, membelai lembut tirai seolah menari. Suara dentingan jam menjadi seperti alunan musik untuk menemani malam yang sudah gelap sempurna setelah padamnya lilin. Diya masih terbaring lemah tidak berdaya dengan selang infus, selang oksigen dan alat untuk mengetahui detak jantung masih lengkap terpasang pada tubuhnya. Aku masih bertahan menemani Diya yang sedang bertahan hidup melawan penyakit kanker yang menyerang tubuhnya.
Aku tidak pernah menyangka, orang yang aku sayang dan wanita sekuat Diya sekarang hanya bisa diam terbaring di tempat tidur. Jika Tuhan mengizinkannya, aku akan menggantikan posisinya saat ini, aku sungguh tidak tega melihatnya yang hanya berbaring lemah seperti ini. Tetapi takdir berkata lain, aku hanya bisa menemaninya dan memandangnya seperti ini. Setiap hari berbicara, bercanda dan menghiburnya meski dia tidak membuka matanya.
Sudah 3 bulan Diya dalam kondisi koma, entah sampai kapan Diya akan seperti ini? aku hanya bisa berdo'a dan berharap agar dia cepat sadar dari komanya. Tidak pernah ada rasa lelah selama aku menemani Diya, sesekali orang tuanya datang menawarkan diri untuk bergantian menjaga Diya, tetapi aku tidak tega jika meninggalkannya terlalu lama. Bukan karena tidak percaya, tetapi aku hanya takut, takut ketika aku pergi Diya pergi meninggalkan ku selamnaya. Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat, sekitar 2 jam aku mencoba mengistirahatkan tubuh ku dengan menyandarkannya di bangku taman rumah sakit. Aku tidak bisa melakukannya, fikiran ku tetap tertuju pada keadaan Diya sekarang ini, handphone ku berdering, itu dari orang tua Diya. Orang tuanya mengabarkan bahwa Diya sudah sadar dari koma, perasaan bahagia menyelimuti perasaan ku sekarang ini, aku berlari menuju ke kamar Diya, kedua orang tua Diya berdiri di depan kamar terlihat seperti gelisah dan takut.
Aku berjalan menghampiri mereka dan bertanya keadaan Diya. Memastikan bahwa Diya benar – benar sadar dan baik – baik saja. Dan semua itu benar, Diya sadar dan baik – baik saja, tetapi aku belum bisa menemuinya sekarang. Dokter melarang, menyuruh Diya untuk istirahat. Kali ini aku harus meninggalkan Diya, bukan untuk selamanya, hanya untuk hari ini. Hanya menunggu 11 jam lagi aku bisa bertemu dengan Diya, orang yang sayangi.
Keesokan harinya, dengan penuh rasa bahagia aku pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan Diya. Karangan bunga lily kesukaan Diya, menemani ku pergi ke rumah sakit hari ini. Aku berdiri di depan kamar Diya, mengatur nafas dan mulai membuka pintu kamar Diya. Aku sungguh bahagia, aku bisa melihat senyum manis itu lagi. Air mata ku jatuh, ini bukan air mata kesedihan, tetapi air mata bahagia. Aku mendekati Diya, aku mulai membelai rambutnya dan mencium keningnya. Pelan, tangannya mencoba meraih ku, memegang pipi ku dan menghapus air mata ku.
"Kenapa menangis? Kamu tidak bahagia aku sudah sadar?" tanyanya lirih. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tetap tersenyum dengan air mata yang terus mengalir. Sekali lagi aku mencium keningnya, tetapi dia menjauh. Aku merindukan sikap Diya yang seperti ini.
"Jangan mencium ku, jika kamu belum menjawab pertanyaan ku..."ucapnya kesal. Aku tersenyum memandangnya dan mencoba menjawab pertanyaannya tadi.
"Hei, jangan seperti itu, aku sangat...sangat bahagia karena kamu sudah sadar, aku bersyukur do'a ku terkabulkan..."
"Lalu kenapa menangis??? Ini bukan Kris yang aku kenal..."tanyanya lagi.
"Ini tangis bahagia..."jawab ku singkat.
"Benarkah?emm...aku kangen sama kamu Kris..."ucapnya. Aku memeluknya erat.
"Kemarin saat aku sadar kenapa tidak menemui ku? Padahal aku ingin orang yang pertama aku lihat saat aku sadar adalah kamu..."tanyanya, memasang wajah juteknya.
"Hey, bukannya aku tidak mau menemui mu, hanya dokter yang melarang, kamu harus istirahat karena kamu baru sadar..." jelas ku.
"Dokternya jahat..."gumamnya kesal.
"Hey, apa-an ini? Jangan begitu..."
Senyuman dan tawa kecil mulai teruntai dari Diya, kau senang melihatnya tersenyum bahagia seperti ini. Canda yang dibuatnya cukup membuat orang yang ada di sekelilingnya tertawa.
"Kris..."panggilnya.
"Iya, ada apa?" tanya ku.
"Ma, Pa, Diya ingin bicara berdua sama Kris, boleh tinggalkan kami berdua?" pinta Diya. Mama dan Papanya hanya menganggukkan kepala dan pergi meninggalkan aku dan Diya berdua.
"Bolehkah aku meminta sesuatu pada mu?" tanyanya.
"Apapun yang kamu minta aku akan memberikannya, tentu saja..."
"Aku minta, belajarlah untuk mencintai Sasya adik sepupu ku..."ucap Diya yang langsung membuat terkejut.
"Apa maksudmu?"
"Di saat aku pergi nanti, aku tidak ingin kamu sendiri, Sasya sangat mencintai kamu, dan aku berpikir Sasya adalah orang yang tepat untuk mengganti posisi ku di hati mu..."
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Sampai kapan pun kamu tidak akan pernah tergantikan di hati ku, sekalipun itu Sasya. Aku hanya mencintai kamu, dan kamu tidak akan pernah pergi..."
"Kris, hidup ku sudah tidka lama lagi, kau tidak bisa untuk menemani mu untuk selamanya. Untuk itu aku ingin, ini permintaan ku yang terakhir, bukankah kamu akan menuruti semua perintaan ku? Aku mohon, belajarlah untuk mencintai Sasya, cinta Sasya lebih besar dari pada cinta ku, dia sangat mencintai mu, Kris. Aku mohon..."
"Haruskah aku melakukan itu?"
"Demi aku...mau kan?"
"Hah...baiklah, ini semua demi dirimu, dan kamu tidak akan pergi meninggalkan aku kan?"
"Aku tidak tahu, oh...sudah adzan maghrib, pergilah untuk sholat dulu..."
"Tapi..."
"Pergilah..."
Berat rasanya meninggalkan Diya, walaupun ada kedua orang tuanya disini. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, dan aku merasa ada hal aneh disini. Langkah ku begitu ringan meninggalkannya, tapi hati ini begitu berat meninggalkannya. Hah... aku harus berfikir positif dan semuanya akan baik – baik saja.
Selesai aku melakukan sholat, aku kembali ke kamar Diya. Langkah terhenti saat melihat kedua orang tua Diya yang berda di depan kamar Diya dengan menangis, apa yang sudah terjadi? Ada apa dengan Diya?. Berjuta pertanyaan memenuhi otak ku. Aku berlari menghampiri mereka. Menanyakan apa yang sedang terjadi.
"Om, Tante, ada apa?" tanya ku gelisah.
"Diya sudah pergi, Kris..."jawab Papanya dengan sesenggukan.
Tubuh ku terasa lemas, kaki ku tidak kuat untuk berdiri menahan tubuh ku, aku terjatuh merapat dinding rumah sakit. Aku tidak percaya Diaya, pergi, ini tidak mungkin terjadi, Diya baik – baik saja. Dokter dan suster keluar dari kamar Diya dirawat dengan membawa tempat tidur dorong dengan sosok toboh yang terbaring di atasnya yang tertutup kain putih. Aku berdiri dan menghentikannya, pelan aku membukakain penutup itu, air mata ku terjatuh dan memeluk tubuh yang sudah terbujur kaku itu. Diya benar – benar meninggalkan ku, saat aku memeluknya aku teringat dengan permintaannya.
"Aku janji akan melakukan permintaan mu yang terakhir, kau berjanji, sayang..." gumam ku dan menutup kain itu pelan.
Aku harus merelakan Diya pergi untuk selamanya dan aku harus mampu melakukan permintaannya yang terakhir, ini semua demi kamu, DIYA.
--------THE END--------
٢
YOU ARE READING
PERMINTAAN TERAKHIR DIYA
Short StoryKisah nyata dari seorang pria yang harus merelakan kepergian orang yang dicintainya untuk selamanya.