Satu hal yang harus aku, kamu, dan kita semua pahami, bahwa memiliki sedikit idealisme itu, sebenarnya adalah sebuah hal yang baik. Ya, memang sih, kebanyakan dari kita memilih untuk menjadi seorang realis, sebab memang pada kenyataanya, hidup tak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Kita memang hidup di dunia nyata, bukan di dunia fantasi. Mana mungkin segala hasrat bisa terpenuhi.
Hanya saja, bila kita menjadi seseorang yang terlalu realistis, kita akan lupa bagaimana caranya untuk bermimpi dan berharap. Hidup akan berasa tak bermakna, sebab kita takkan lagi merasa tertantang untuk mengejar impian kita. Pikiran kita hanya akan berkutat disekitar, "Ah, bisaku cuma segini. Sudahlah, tak mengapa. Ini cukup" dan pada akhirnya, kita menutup segala keinginan untuk mencapai lebih dari apa yang saat ini kita miliki.
Memang benar, faktanya, lebih banyak hal yang bisa diselesaikan dengan mengandalkan realita dan logika, ketimbang hanya bersandar kepada idealisme dan perasaan. Tapi, coba kamu tanyakan pada hati kecilmu: 'Yakin, dirimu benar-benar sudah merasa cukup?'. Aku tak yakin bila jawabannya 'ya'. Kita sebagai manusia memiliki sebuah insting untuk menginginkan lebih, dan lebih, dan lebih. Kita takkan pernah mampu untuk benar-benar merasa cukup. Tak usah munafik, sebab begitulah hakekatnya.
Tapi kembali lagi, ini tergantung pribadi masing-masing. Bila memang dirimu sudah merasa cukupan dengan pencapaianmu saat ini, fine-fine saja. Tapi bagiku, ini sungguh tidak bisa diterima. Aku seharusnya memiliki nasib yang lebih baik ketimbang menjadi seorang sampah masyarakat seperti ini, unproduktif dan cundang. Tuhan sudah menggariskan, bahwa manusia berhak untuk mengubah nasibnya. So, kenapa aku tidak melakukannya sekarang?- M
---
Cinta itu butuh pengorbanan. Setidaknya, begitulah kata orang.
Namun tidak menurutku. Cinta tak butuh pengorbanan. Disaat kita mencintai namun harus berkorban, disitulah juga saat dimana cinta mulai memudar. Dan menurutku, jika dirimu merasa telah berkorban demi cinta, berarti kamu telah melakukan sebuah kesalahan. Itu berarti cintamu tidak tulus, sebab kamu sudah merasa terpaksa berkorban.
- M
---
Kau tak bisa memaksa seseorang untuk mencintaimu. Begitu pula sebaliknya. Kau tak bisa memaksa dirimu untuk mencintai seseorang.
- M
Ada sesuatu hal yang baru saja menggugah renunganku...
Bila aku sebelumnya telah mematahkan sebuah hati, maka semestinya aku tak terperangah dikala Tuhan mematahkan hatiku.
Sebab, ini adalah epitom dari sebuah frasa yang seringkali kuucap. Quid pro quo. "Ini untuk itu". Sesuatu hal pasti ada balasan dan timbal baliknya. "Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula."
Semestinya aku bersyukur, balasanku diberikan saat aku masih berada di dunia ini. Bila semisal balasanku ditimpakan saat di akhirat nanti... sungguh, aku sama sekali tak sanggup untuk membayangkan...
Aku pun tak mungkin bisa menilai, apakah balasan ini telah setimpal, ataukah dosaku ini masih tak sepenuhnya tertebus...- M