Tamakan Kalabuau

137 6 3
                                    


HIDUP di rantau orang, jauh dari sanak keluarga memang penuh suka dan duka. Itu juga yang saya alami ketika kuliah di Yogyakarta. Karena tidak punya keluarga yang bisa ditumpangi, terpaksa harus kos.

Saya mencari tempat kos yang kebetulan tidak terlalu jauh dari kampus. Ada beberapa kamar dalam satu rumah yang disewakan pemiliknya untuk anak-anak kis, khusus putri. Teman-teman sekos saya berasal dari hampir seluruh daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Adat, kebiasaan, dan kelakuan mereka bermacam-macam. Jadi, harus pandai-pandai beradaptasi dan saling toleransi.

Namun ada seorang teman yang sikapnya 'mambari muar' banar. Namanya Sari. Maklum, dia anak seorang pengusaha yang cukup suksa di ibukota. Makanya, terkadang sikapnya agak sombong, dan suka meremehkan orang lain. Terutama terhadap teman yang dianggapnya datang dari 'pelosok', sikapnya sangat melecehkan.

Banyak teman yang tidak suka dengan sikapnya ini. Saya adalah salah satunya. Pasalnya, kata-kata dan sikapnya sering membuat tersinggung.

"Sabar saja, Lin! Suatu saat, dia akan kita beri pelajaran," bujuk Meli, teman kos saya yang kebetulan sudah lebih dulu mengenal Sari.

Saat itu saya hampir saja melabrak Sari gara-gara sikap dan perkataannya yang menyinggung perasaan. Namun Meli berusaha menyabarkan saya. Dia berjanji, akan memberi pelajaran pada Sari dengan caranya sendiri.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sikap Sari berubah baik. Dia jadi ramah. Perkataannya juga lembut dan terdengar sangat berhati-hati. Sikapnya juga sangat dijaga, seolah takut menyinggung perasaan saya.

Melihat perubahan ini, tentu saja saya heran setengah mati. Karena tak kuat menahan penasaran, saya tanyakan hal ini kepada Meli. Apa sebenarnya yang dia lakukan sehingga sikap Sari bisa berubah sebaik itu kepada saya?

"Aku ceritakan kehebatan magik atau ilmu gaib di pedalaman Kalimantan, Lin," jawab Meli sambil tersenyum.

"Memangnya kamu tahu tentang ilmu gaib? Perasaan aku yang hampir seumur hidup di Kalimantan saja tidak pernah tahu, karena aku tinggal di kotanya," tanyaku lebih heran.

Setahuku, Ayah Meli memang orang Kalimantan, tapi dia lahir dan tinggal selama ini di Surabaya.

"Yah, aku karang-karag sendiri saja, alias mangalabuau sebagaimana yang sering dilakukan ayahku," cetusnya.

"Sari percaya?"

"Semula dia kurang percaya dengan ilmu gaib, parangmaya, pelet, teluh dan sebagainya itu. Tapi kemarin sore, saat dia kuliah, diam-diam aku menabur beras kuning campur bunga di depan kamarnya. Eh, ternyata dia ketakutan juga. Tadi malam mengetuk kamarku, dan mengatakan tidak bisa tidur karena diganggu mimpi buruk. Lalu dia cerita tentang taburan bunga dan baras kuning itu. Kesempatan itu kugunakan untuk menasihatinya, agar jangan suka menyakiti hati orang, terutama orang Kalimantan, bila tidak mau diserang secara gaib. Eh, ternyata dia menurut," papar Meli.

Mendengar ceritanya, saya terbahak-bahak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendengar ceritanya, saya terbahak-bahak. Ternyata, teman kos saya yang sombong itu termakan 'kalabuau' alias dikerjai Meli. Pantas, tiba-tiba jadi baik!

"Keterlaluan kamu, Mel! Nanti dia kira aku beneran dukun ilmu hitam!' protes saya sambil tetap menahan geli. ***

Ket :

Tamakan kalabuau : Termakan bualan

Mengalabuau : membual

Membari muar banar : Sangat membuat benci (mara'i sengit, Jawa)

======================================================

Yang berminat memiliki tulisanku versi buku cetak nya bisa di www.nulisbuku.com

Untuk versi e-booknya di sini...

https://play.google.com/store/books/details/Lis_Maulina_Hatiku_Bukan_Salju_Cerpen?id=g_g0DwAAQBAJ

https://play.google.com/store/books/details/Lis_Maulina_Mendung_tak_berarti_hujan_Cerpen?id=Vnw0DwAAQBAJ

ttps://play.google.com/store/books/details/Lis_Maulina_Malam_malam_Panjang_Cerpen_Horor?id=iHw0DwAAQBAJ

Happy reading, everyone... ! And keep smiling....

Alangkah Lucunya...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang