Pagi ini jalanan Solo masih basah, sisa hujan semalam, bapak masih asik merapikan wayang wayangnya katanya untuk pertunjukkan nanti malam di galeri budaya, sedangkan ibu asik bernyanyi ala Ermi Kulit sambil menyiapkan sarapan untuk keluarga, ada ibu, bapak, aku dan adikku Manu, nama panjangnya Dewi Manuhara.
Aku Ganda, nama panjangku Dewi Gandawati, bapak adalah seorang dalang di Solo, beliau sudah terjun di dunia pewayangan hampir 25 tahun, beliaupun sangat menjaga adat istiadat kejawen, hingga nama anak-anaknya pun tidak akan jauh jauh dari dunianya, pewayangan.
Keluargaku adalah keluarga yang tertutup satu sama lain, Bapak adalah orang yang sangat keras, Ibu selalu menurut kepada Bapak apapun keputusan yang di buatnya. Manu hanyalah wanita kecil yang selalu membuntuti kemana ibu pergi, Manu sangat taat kepada ibu.
Hanya aku, wanita yang lebih mudah meluapkan emosi di rumah ini, aku sering berbeda pendapat dengan keluargaku, sehingga aku malas hanya untuk sekedar bercerita tentang kehidupanku kepada mereka, aku lebih memilih untuk mengungkapkan pada salah satu media sosial yang aku anggap rahasia karena aku menyamarkan namaku, tidak lagi Dewi Gandawati, jadi dengan seperti itu aku bebas menuangkan apa yang menjadi keluh kesahku tanpa ada yang tau bahwa itu kisahku sebenarnya.
Aku mulai menstarter motor maticku, berjalan melewati aspal basah, jalanan tidak cukup rame, seperti biasa. Suasana pagi ini tanpa sengaja membawaku kembali mengingat tentang kejadian semalam, tentang aku dan Dimas, pacarku yang sudah tigs tahunan ini aku pacari. Semalam dia minta putus denganku, aku hanya terdiam mendengar permintaan tak terduga itu.
"Aku udah capek Gan, kamu gak capek emangnya sembunyi-sembunyi terus kaya gini?" ucap Dimas menatap mataku dalam
"Dari awal aku udah capek mau backstreet kaya gini, tapi aku gak pernah ngeluh Dim" balasku pelan, air mataku masih bisa ku bendung
"Kita udah gak bisa jalanin semua ini bareng Gan" Dimas mulai gusar
"Kamu menyerah?" tanyaku dengan nada lembut
"Bukannya aku nyerah tapi aku cuma gak mau jalanin hubungan yang tanpa ujung gini"
"ya kan kamu masih bisa buktiin ke orang tua ku Dim nanti, semua kan butuh proses" aku mulai sesenggukan di depan Dimas, lelaki itu kini menghampiriku, memelukku, aku hanya bisa menangis sejadinya, tak peduli apa yang akan Dimas pikirkan setelah ini.
Entah mengapa pelukan Dimas sore itu tak sehangat malam lainnya.
Malam itu Solo mulai hujan dan aku beranjak pulang untuk melanjutkan tangisku, Dimas melepasku, matanya berkaca namun aku tak tau setelah aku pergi, dia menangis atau malah pergi ke club seperti saat bertengkar denganku.
Hubunganku dengan Dimas memang sedang tidak baik, orang tuaku melarang aku pacaran dengan Dimas, alasannya karena Dimas masih kuliah dan aku sudah bekerja, sebenarnya jauh dari semua alasan itu terdapat satu alasan yang kuat, namun aku belum menemukan jawabannya. Bapak menuturkan tidak kesetujuannya setelah bertemu Bapak Dimas secara tidak sengaja.
Lima bulan tanpa Dimas, lima bulan itupun aku selalu mengurung diri di kamar, tanpa suara tanpa cahaya, aku sebut ini adalah pelunturan ingatan ingatan ku tentang dia, sebuah ritual, nanti jika waktunya sudah pas, aku akan keluar kamar tanpa tangisan lagi.
"Mbak Ganda... maemnya ya mbak, di dulang ibuk nggeh ?" suara Manu menghentakkanku padahal suaranya terdengar lembut dan kalem, dia lalu memanggil ibu untuk menyuapi aku makan, setiap hari aku di suapi makan, kata mereka aku tidak mau makan jika tidak di suapi ibu, aku mau Dimas yang menyuapi, tapi ibu bilang Dimas anak setan, aku tidak tau apa maksud dari perkataan ibu, apakah Dimas anak genderuwo yang menikahi manusia lalu melahirkan Dimas? Atau Dimas adalah anak mbak kunti yang sering aku lihat di belakang rumah itu?

YOU ARE READING
MENUNGGU DIMAS
Short StoryTentang sebuah rasa yang sulit di patahkan, oleh orang terkasihku pun, sebuah rasa untuk Dimas yang lalu membawaku ke dalam kehancuran yang ku cintai.