Bagian 1

117 10 15
                                    


Hei, aku seorang manusia. Well kalian mengharapkan apa? Seorang putra dari dewa romawi? Sayangnya tidak. Aku manusia tulen. Dan aku putra dari kedua orang tuaku yang jelas-jelas manusia biasa. Oke, intinya aku manusia biasa. Tapi, sejak turun-menurun keluargaku selalu melestarikan suatu tradisi.

Hm... Kurasa aku perlu memperkenalkan diriku dulu. Namaku Roy Belliona. Kalian tidak salah dengar. Ya Belliona. Keluargaku adalah keturunan dari salah satu ksatria romawi. Mereka tunduk pada seorang Dewi Perang, Bellona-- kalau aku tidak salah ingat, itulah namanya.

Kalian mungkin bertanya-tanya? Apa yang aku lakukan di samping tong sampah dibelakang Restoran Italia di California? Oh bukan! Aku bukan gelandangan. Aku punya apartemen kecil didekat pintu masuk jalan tol. Aku kesini untuk bertemu seseorang. Dia pemuda yang empat tahun lebih tua dariku dan dia sedang berjalan kesini. Ia mengenakan mantel karamel yang sesuai dengan rambutnya.

"Hai Roy, bagaimana dengan latihan tombakmu?"

"Baik kak, aku akan mengalahkanmu di pertandingan kita selanjutnya."

Ya dia kakakku. Mata biru kami sama-sama berasal dari ibu kami. Wajah kami bisa dibilang mirip, yang membedakan hanya warna rambut kami. Rambutku mengikuti ibuku yang berwarna hitam tebal. Kakakku? Tentu saja rambut coklat miliknya didapat dari ayah kami. Hm... Kurasa kalian tidak mau tau.

"Ya, apa kau tidak bawa sesuatu untuk adikmu satu-satunya ini dari tempat kerjamu? Aku lapar..." aku melirik ke arah pintu belakang restoran tempat kakakku keluar tadi. Oh iya, nama kakakku Feylo Belliona.

Feylo menghela nafas. Kemudian mengeluarkan sekotak makanan dari tasnya. "Ini ada Pizza sisa, ah... Dan seporsi spagethi..."

Aku menyeringai lalu mengambil kotak itu. "Terimakasih!"

Aku segera membuka bungkusan dan mencari bola daging sapi topping Spagethi yang selalu Feylo sisakan untukku.

Feylo menatapku. "Aku tidak ingat membungkus bakso tadi..."

Aku lansung melotot pada kakakku itu. Jika dia tidak memberiku bakso berlumur saus pasta itu, aku akan menggetoknya dengan tombakku minggu depan. Aku tidak bisa hidup tanpa bakso itu!

Feylo menyeringai. "Bercanda, tapi... Tadi banyak sekali yang memesan spagethi ekstra bakso. Tinggal tiga itu yang tersisa..."

Aku memberenggut kesal dan menutup kembali kotak itu. Rasanya aku akan memakan bakso kesukaanku itu di apartement saja.

"Terimakasih..."

Feylo mengangkat bahu dan tersenyum padaku. "Sama-sama dik, aku akan berkunjung lain kali. Apa kau sudah mendapat kerja sambilan?"

Aku lansung menghela nafas pasrah. Feylo lansung mengerti jawabannya. Ia menghela nafas lalu menepuk kepalaku.

"Kau akan berumur 18, bulan depan. Kau harus segera mencari pekerjaan. Aku tidak bisa membayar biaya masuk kuliahmu, Roy."

"Aku tau, aku janji akan segera mencari pekerjaan. Aku tidak ingin membebanimu, kak. Kalau perlu aku tidak perlu melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah dan membantu kakak bekerja melunasi utang Aya--"

"Roy, aku tau niatmu baik." Feylo menatap mataku. Mata birunya yang tajam menyiratkan sesuatu seperti Jangan pernah berpikir begitu bocah! "Aku tidak ingin kau melepaskan impianmu jadi chef. Kau punya bakat alami seperti ibu. Aku ingin kau mengambil kuliah tata boga. Bukankah itu impianmu sejak dulu?"

Aku berjengit. Feylo masih mengingatnya. Saat umurku 5 tahun, aku selalu mengoceh tentang impianku menjadi Chef atau lebih tepatnya Pattisiere hebat, seperti mendiang ibuku. Aku menunduk.

Reyna Meets Mortal - And This Mortal Fall In Love With The Praetor.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang