"Lagi, bermain-main pada luka memoar saat tak sengaja dengar pekikan terlantang."
♡♡♡
Aku duduk di sini, dengan sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa bisa sosok fiksi terasa nyata berada di diary?
Seola-olah nyata dalam mengajak berbicara, saat tahu luka menyerebak dalam dada?
Tahu, bahwa fiksi adalah salah satu alternatif teman terbaikku, saat realita terbentang begitu bengis.
Yah. Benar sekali. Hanya saja, kenapa terlalu cepat duduk bincang diksi di destinasi seringkali jadi favoritku?
"Tidak ada yang kebetulan, Haifa. Aku hadir, karna buat penawar, saat tidak kau temukan tempat berbagi. Bahkan sekali pun itu dengan sahabatmu sendiri."
Sebuah dialog tiba-tiba membisik di daun telinga, yang langsung ku tulis dalam diary. Terperangah, mengulang percakapan manis itu?
Hem. Menghelakan napas panjang, "okay!! Aku akan selalu jadikan kamu sebagai tujuan utamaku, jika dapat tanda-tanda mau kumat, thanks?" Lalu menutup diaryku itu.
Karena ini Senin tidak mau terlambat ikut upacara. Mungkin Ayami sudah lebih dulu ke sekolah.
Terasa tenang, setiap kali ngobrol dengan imajinasi bermodal diary, yang memang tak pernah ku bawa setiap saat dalam ransel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Adalah Mimpiku
Teen FictionDelusi-delusi lewat diary dalam menyembuhkan traumatis, ternyata banyak intimidasi realita diri. "Mana bisa jadi kenyataan?" Tiba-tiba saja ada intonasi aneh. Benar. Sebuah diary terasa asing tak pernah di bawa ke mana-mana, sekarang menjadi priorit...