Air mata tak akan bisa membawa semua yang terjadi untuk kembali. Tapi dengan air mata setidaknya kau bisa melepas bebanmu sejenak dan kembali tegar.Perkataan ibunya waktu itu masih saja terngiang di benaknya. Gadis itu memasukkan kembali kertas bertuliskan namanya ke dalam map, piagam kelulusannya dengan nilai terbaik.
Ia mengusap air matanya yang menetes dengan punggung tangan. Merenggut tas ranselnya dan masuk ke dalam setelah memakai pakaian steril rumah sakit.
Langkahnya bersamaan dengan memakai masker di wajah. Perlahan mendekati brankar tempat di mana ayahnya dirawat.
Ia tersenyum dalam keharuan, orangtua yang tersisa kini terbaring tak berdaya setelah terkena peluru nyasar. Terbaring selama satu bulan empat hari cukup lama bagi David Morris, ia tak bisa menghadiri kelulusan puteri tunggalnya dan mengunjungi makam isterinya, seperti yang mereka rencanakan sejak lama.
Lucy pun harus merelakan rumahnya yang terjual demi melunasi biaya kuliah dan biaya pengobatan ayahnya. Ia tak peduli jika ayahnya sadar kelak akan memarahinya, bibi dan paman yang semestinya membantunya justru menghilang entah ke mana.
Memijat kedua kaki dan mencium kening ayahnya adalah agenda rutin Lucy selama satu bulan ini. Suster yang berjaga malam sudah selesai memberikan injeksi, barulah ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia akan mematikan lampu utama kamar, sebagai gantinya ia menyalakan lampu kecil di atas pasien. Ia juga menyibak kelambu kamar dan menikmati malam dari balik kaca.
"Ayah, kapan Ayah akan sadar?" lirih Lucy sebelum ia menyerahkan kesadarannya.
Hari itu, mestinya David sudah sampai di rumah dan menunggu puterinya datang membawakan kue ulang tahun yang mereka bicarakan di telepon. David mengendarai sepeda motornya dengan hati riang, ia sudah membungkuskan kado mungil untuk puterinya yang hari itu berusia dua puluh enam tahun.
Sebuah kalung putih yang sudah ia pesan dua minggu sebelumnya sudah jadi, kalung manis yang ia harap bisa membuat puterinya itu tersenyum memeluknya.
Saat di perempatan jalan, ia ingat bahwa minuman di rumah sudah habis. Tak klop rasanya jika menikmati kue ulang tahun dengan meminum segelas green tea kesukaan puterinya.
Ia membelokkan sepeda motornya ke depan swalayan. Cukup ramai, dan parkiran cukup terasa sesak. Ia segera masuk ke dalam mengambil keranjang dan mencari minuman kemasan rasa green tea.
David mengambil empat botol setengah liter dan sebungkus cokelat di kasir. Ia membayarnya dan menenteng tas belanja, berjalan keluar dari swalayan.
Seorang tukangparkir mendekatinya meminta uang parkir, ia merogoh celananya kemudian saku jaketnya barulah ia menemukan selembar uang lima ribuan.
"Ambil saja," ujar David pada Abang itu.
Si Tukang parkir tersenyum mengangguk dan ramah padanya, membantu David memutar balikkan sepedanya. Tidak ada satu pun kegiatan yang mencurigakan, tak ada keributan atau keramaian yang menimbulkan pekara. Tapi tubuh David oleng begitu saja setelah mendapatkan tembakan di dadanya entah oleh siapa.
Jelas saja si Tukang parkir menjerit dan menolong David. Ia menoleh ke segala arah melihat apakah dalang penembakan itu ada di sekitar melukai orang lain juga, ternyata kosong. Tak ada kejadian lagi selain tembakan pertama itu, segera semua orang membantu membawa David ke rumah sakit selagi masih sadar.
David mengerang, dadanya terasa sakit dan melenguh saat ia mengangkat telapak tangannya, berlumur darah. Ia mendengar suara roda berputar dan suara suster yang menyuruhnya tetap terjaga. Ia merogoh saku jaket cokelatnya, kotak kubus berwarna dan berpita hijau itu ada. Ia tersenyum sebelum menutup mata.
-
Gadis dua puluh enam tahun berambut hitam lurus membuka pagar rumahnya, ia terkejut saat mendapati lampu teras yang mestinya sudah menyala, masih lah gelap. Ia mengambil kunci dan mengayunkan pintu rumah, masih gelap. Langkahnya memasuki ruang tamu dan menyalakan saklar, benar ayahnya belum pulang.
Ia menaruh kotak besar berisi kue ulang tahunnya di atas meja dan merogoh ponselnya di saku.
"Ayah, aku ..."
"Selamat malam, apakah Anda keluarga pasien bernama David Morris, tolong segera ke Rumah Sakit Phalosa untuk menyetujui tindakan operasi."
"Operasi apa? Halo! Halo!" seru gadis itu penuh tanda tanya.
David Morris adalah satu nama dari sekian milyaran orang di muka bumi yang menjadi ayahnya. Orang tua tunggal yang ia punya setelah kematian ibunya dua tahun lalu.
Gadis itu datang ke rumah sakit dengan wajah sembab, ia yakin sesuatu terjadi pada ayahnya sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Ia mendatangi meja bagian informasi dan menanyakan nama ayahnya. Segera ia berlari ke ruang operasi saat diberitahu di mana ayahnya berada.
Seorang suster menanyainya bersama dokter menjelaskan bahwa pasien segera harus dioperasi untuk mengeluarkan peluru di dadanya, hasil ronsen menjelaskan bahwa ujung peluru berada di dekat selaput jantungnya. Lucy segera menandatangani surat persetujuan itu dengan tangan gemetar.
Hari di mana harusnya ia bahagia, kini berlapis lara. Ia duduk di bangku depan ruang operasi dengan banjir air mata sendirian. Ia membuka ponselnya dan menelepon saudara ayahnya, Paman Gerry dan Bibi Helia. Tak terjawab, namun ia tak gentar, ia terus menelepon mereka.
"Ada apa?? Kami sedang makan malam!" seru wanita di seberang telepon dengan nada kesal.
"Bibi, ayahku, ayahku masuk rumah sakit tolong kalian datang ke mari, Bi," ujar gadis itu dalam tangis.
"Kami sedang makan malam, kau tidak dengar??" tanya wanita di seberang dengan nada meninggi.
"Bi, ayahku kena tembak dan ..." jelas gadis itu terpotong.
Gadis itu memgumpat dalam tangisnya. Ia sendirian dan tak tahu harus bersandar pada siapa, kecuali memeluk dirinya sendiri. Berjam-jam lamanya ia menunggu sendirian dalam perasaan kalut, menunggu hingga lampu di atas pintu ruang operasi menyala hijau.
Suster yang keluar pertama kali pasca operasi segera menjadi target untuknya bertanya. Namun jawabannya tak sesuai dengan yang ia bayangkan, gadis itu diminta sabar menunggu dokter yang memberitahu.
Pintu operasi itu berayun, menampilkan wajah dokter pria yang beruban menatapnya sendu.
"Pasien sudah melewati masa kritis, peluru yang bersarang dekat sekali dengan organ jantungnya sudah kami keluarkan ..."
"Syukurlah, dokter." Gadis itu tersenyum lebar menangkup kedua telapak tangannya di wajah.
"Pasien mengalami koma." Dokter menyelesaikan kalimatnya.
"Apa?" tanya gadis itu terkejut.
"Kami akan segera memindahkan pasien ke ruang rawat inap. Sabar, permisi." Dokter itu berlalu bersama satu suster.
Gadis itu masih berdiri dengan kedua tangannya meremas satu sama lain, air mata kegembiraannya langsung berubah menggantung di udara.
"Koma artinya Ayah masih berada di tengah-tengah antara sadar dan tidak, ya Tuhan! Dan aku sendirian menerima ini semua," ujar gadis itu dengan air mata membanjiri wajahnya.
Ia duduk tersedu-sedu meratapi cobaan hidupnya, meski ia sudah dewasa tapi ia tetaplah seorang anak, anak yang tunggal tak tahu harus bertahan seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Strongest (End)
RomanceLucy bukanlah penjual kue lezat rasa Matcha, tapi tentang gadis penyuka Matcha yang harus menjalani hidupnya dengan keras sendirian, dan menguak tabir dalang penembakan pada ayahnya, gadis itu adalah Lucy Claine. Meski ia adalah wanita tapi jangan...