Pagi ini seperti biasa, selalu ada seorang lelaki yang setia menunggu seseorang di ruang tamu milik orang yang ditunggunya itu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit (07.10), dan kelas akan dimulai pada pukul tujuh tiga puluh (07.30). Lelaki itu hanya berharap keberuntungan masih bersamanya, karena ia berharap tidak terlambat untuk hari ini."Duh, Aren, maafin Alna ya selalu bikin kamu nungguin dia mulu tiap pagi. Habisnya dari dulu susah banget sih kalau disuruh bangun pagi" ucap Novy, mamanya Alna.
Tentu saja, Aren yang selalu setia menjemput Alna selama 11 tahun berturut-turut itu sudah terbiasa dengan kebiasaan sahabatnya itu. Aren memang sudah bersahabat dengan Alna sejak mereka masih sama-sama berada didalam kandungan, karena orangtua mereka adalah sepasang sahabat yang tak terpisahkan sejak dibangku SMA. Sebenarnya Aren dan Alna pun tidak hanya berdua, tetapi ada satu sahabatnya lagi yang juga sudah bersahabat dengan mereka sejak di dalam kandungan orang tua mereka masing-masing. Begitulah resiko memiliki orangtua yang persahabatannya kokoh, bahkan sampai memiliki anak saja masih bisa serempak.
Kembali lagi ke cerita, sebenarnya Aren pun tidak merasa keberatan jika harus menjemput Alna, karena rumah mereka yang berdekatan dan hanya dibatasi oleh satu rumah yang berada diantara rumah mereka berdua. Namun naasnya, ia harus selalu siap menunggu gadis itu lebih lama karena Alna yang selalu bangun kesiangan dan bisa dibilang lelet jika siap-siap.
"Nggak apa-apa, Tan. Aren udah kebal, kok." jawabnya sambil mengelus dadanya sendiri, yang mengartikan; gue emang harus lebih sabar lagi dan lagi.
"Besok-besok kalau Alna masih kesiangan juga, kamu tinggal aja, Ren. Kita harus kasih dia pelajaran" ucap wanita 40 tahun itu dengan berapi-api. Ia seperti seorang agen rahasia yang sedang menyusun sebuah rencana bersama dengan rekannya.
"Aren juga maunya begitu, Tan. Sayang aja Alna pegang kartu mati Aren, jadinya Aren nggak berani macem-macem sama makhluk yang satu itu" ucap lelaki itu dengan penuh penyesalan. Memang sialan sahabatnya itu, ia selalu saja mengancam Aren dengan kartu mati yang ia pegang. Dan hal itu jelas saja meruntuhkan dinding pertahanan milik Aren.
"Hai, Aren" sapa gadis itu dengan ceria tanpa dosa. Ia sudah siap dengan seragam putih abu-abunya, dan tas ransel yang sudah terpampang rapih dibalik punggungnya itu. Rambutnya yang panjang ia biarkan terurai dan bergerak kesana-kemari mengikuti gerak sang pemiliknya.
"Alna cepet kan siap-siapnya?" sambung gadis itu lagi dengan wajah yang masih tanpa dosanya. Cengirannya tak pernah lepas dari wajahnya yang berseri-seri itu.
"Ha. Iya. Sangat. Cepat." jawab Aren sambil menekankan ucapan disetiap kalimatnya dan memberikan senyum penuh paksaan yang kini terpampang jelas diwajahnya.
"Kamu tuh tahu diri gitu loh, Na. Kasian Aren tiap hari harus nungguin kamu yang leletnya naudzubillah kayak kura-kura." Akhirnya Novy mengeluarkan omelan khas tiap paginya yang sudah sangat dihapal oleh Alna. Terbukti karena mulut Alna yang kini sudah bergerak meniru kata-demi-kata yang dilontarkan oleh Mommy-nya itu.
"Iya-iya, Mommy ku tersayang" jawab Alna sambil memeluk Novy. Ia tahu kalau Novy tidak akan berbicara lagi jika Alna sudah memeluknya. Baginya, ini adalah senjata terampuh untuk melumpuhkan musuh dihadapannya, alias Mommy nya.
"Heh, Aren. Kok malah diem aja sih? nanti kita terlambat" sambung gadis itu lagi sambil mengaitkan tangannya dengan manja ke lengan gagah milik Aren.
"Tolong ya, ngaca." tegas Aren dengan malas sambil menepukkan telapak tangannya ke jidat Alna. "Tante, Aren berangkat dulu ya" Aren pun bersalaman dengan Novy dan berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Begitu pula dengan Alna.
***
"Aren." panggil gadis itu ketika mereka sudah berada didalam mobil Aren. Aren yang malas menanggapi gadis disebelahnya pun hanya terdiam dan fokus menyetir.
"Apa maksud Aren tadi, bilang kalau Alna harus ngaca? Emang ada yang salah di wajah Alna?" sambung gadis itu dengan nada yang tidak bersahabat. Tangannya ia lipat dua didepan dadanya, sok berkuasa. Rupanya gadis itu masih belum memahami apa yang dimaksud Aren tadi.
"Iya! salah semua yang ada di wajah lo" bentak Aren dengan nada yang jauh tidak bersahabat. Sejujurnya ia sangat geram dengan tingkah laku gadis disebelahnya ini. Untung saja ia adalah sahabatnya sejak kecil, dan orangtua mereka sangat kenal dengan baik. Kalau tidak, sudah dipastikan gadis ini akan habis ditangannya.
"Ih! kok Aren jahat sih. Liatin aja nanti Alna aduin ke Iky. Biar tahu rasa Aren dimarahin tanpa ampun." pandangannya langsung ia buang jauh-jauh ke sebelah kiri, untuk melihat jalan raya dari kaca jendelanya. Ia sangat malas melihat wajah Aren saat ini.
Iky adalah salah satu sahabat mereka yang juga sudah bersahabat sejak mereka masih didalam kandungan. Namun karena rumah Iky yang terletak cukup jauh, jadilah dengan sangat terpaksa harus Aren yang menjemput Alna setiap hari.
"Terserah lo" jawab Aren dengan malas.
***
Kini jam istirahat pun telah tiba. Seluruh siswa-dan siswi langsung berebutan menuju kantin untuk mengisi perut mereka yang sudah kelaparan sejak jam pelajaran tadi.
Aren dan Iky yang kebetulan sekelas pun dengan cepat langsung menuju kantin juga untuk menyantap makanan, karena cacing-cacing diperutnya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Sedangkan Alna memang berada dikelas yang berbeda dengan kedua sahabanya itu.
"Ren, ntar balik gue ke rumah lo, ya" ucap Iky sambil menyuapkan ketoprak kedalam mulutnya.
"Sans" jawab Aren seperlunya.
"Tapi gue nggak bawa mobil" cengir Iky yang terpampang jelas diwajahnya.
"Yaelah, gampang ntar bareng gue"
"ALNA JUGA IKUT!" tiba-tiba saja gadis itu datang tanpa isyarat dan langsung berteriak dihadapan Aren dan Iky. Sontak keduanya kaget dan langsung menutup kuping mereka masing-masing.
"Nggak usah teriak-teriak bisa nggak, sih?" Aren pung dengan angkuhnya langsung membentak gadis itu.
"Ih, Aren kenapa sih dari tadi pagi marah-marah mulu? PMS?" tanya gadis itu.
"Bapak lo PMS." jawab Aren sambil memutar bola matanya dengan malas.
"Daddy nggak PMS tuh."
Sedangkan Iky yang melihat pemandangan itu hanya tertawa geli melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Sebenarnya pemandangan ini sudah tak asing lagi baginya, karena setiap hari pasti ada saja yang mereka ributkan.
"Iky. Tuh lihat kan, Aren tuh galak banget sama Alna. Sensi banget sama Alna. Marahin dong, Iky harus marahin Aren" Alna mengadu dengan manja sambil menggeliut dibahu milik Iky. Karena Alna sangat tahu, bahwa sikap Aren dan Iky sangatlah berbeda. Iky selalu memanjakan dan membelanya, jadilah Alna selalu meminta pembelaan kepada Iky. Sedangkan Aren? tidak usah ditanya betapa angkuhnya lelaki itu terhadapnya. Padahal dulu sikap Aren sama lembutnya seperti Iky, namun ada sesuatu kesalahan Alna yang membuat lelaki itu menjadi dingin kepadanya.
"Udah, diemin aja kalo Aren lagi marah-marah. Mending lo makan, keburu bel" jawab Iky dengan penuh kesabaran sambil menepuk-nepuk kepala Alna, pelan.
"Dasar. Manja." Aren mengumpat dengan sangat pelan dan ia yakin bahwa tidak ada yang bisa mendengarnya, kecuali alien. Mungkin.
"Apa Aren bilang? Manja? siapa yang Aren sebut manja!?"
***
YOU ARE READING
FRI.END SHIP
Teen FictionAda yang bilang kalau persahabatan diantara pria dan wanita tidak akan pernah berjalan dengan mulus. Namun Aren, Alna, dan Iky akan membuktikan hal tersebut. Bahwa persahabatan diatas segalanya. Bagaimana rasanya juga, jika kalian sudah bershabat s...