Timeless

29 2 6
                                    

Cangkir

Kamu tidak bisa memilih siapa orangtuamu, bagaimana mereka membesarkanmu dan kamupun tidak bisa menentukan masa depan yang kamu mau. Aku rasa hal ini berlaku untuk semua orang, bukan hanya untukku, kamu atau dia. Tapi kita semua yang hidup didunia ini tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memilih. Tapi Tuhan selalu memberikan kesempatan pada kita untuk berubah. Namun, semua itu tergantung pada pilihanmu. Apakah kamu akan terus terjebak dalam masalalu sama sepertiku, ataukah kamu akan terus berjalan kedepan tanpa menoleh kebelakang.

Lahir dari keluarga yang berantakan adalah takdir yang Tuhan pilihkan untukku. Mempunyai seorang ayah yang pemabuk dan doyan ‘jajan’ pun adalah takdirku. Aku tidak bisa memilihnya, karena itulah aku berbeda dengan kalian; yang lahir dari keluarga harmonis dan seolah yang perlu kalian takutkan hanyalah soal ujian matematika.

Ibu ku hanya seorang pembantu rumah tangga, yang penghasilannya tak seberapa. Ibu sudah melupakan mimpinya sebagai seorang pramugari saat bertemu dengan ayah. Janji manis yang diucapkan oleh mulut pria itu mampu membuat ibu melupakan keluarganya, bahkan sampai pergi tanpa membawa apapun; saat itu

Aku tak bisa mengutuk pilihan ibu untuk tinggal dan hidup bersama pria itu. Itu cinta, kata ibu. Tapi seandainya aku bisa mengeluh dan mengutuk Tuhan atas pilihan takdir-Nya yang buruk, mungkin sudah aku lakukan sejak dulu. Aku selalu ingin berteriak dan bertanya pada Tuhan, apa maksud Dia, mengapa Dia memilihkan takdir yang sangat buruk untukku?

***

Kenangan buruk akan perlakuan ayah terhadap ibu terus berputar dikepalaku. Seolah itu adalah tayangan non-stop yang tak bisa kuhentikan, meskipun aku ingin. Biar kuceritakan padamu, ayah akan berubah menjadi seorang buruk rupa saat ia mabuk. Kebiasaannya saat mabuk tak bisa dihentikan, baik itu oleh aku—anaknya, atapun oleh ibu.

Saat ayah pulang dalam keadaan mabuk dan wangi parfum wanita, ibu selalu menyambutnya dengan senyuman. Senyuman cinta, katanya. Saat ayah pulang, ia pasti akan memukuli ibu dan mengatakan hal-hal kasar. Ayah tak pernah menghiraukan senyuman cinta yang ibu berikan padanya. Bagi ayah, ibu tak lebih dari seorang wanita sampah yang kini sudah tak dibutuhkan lagi. Bagi ayah, kami hanyalah beban yang takkan pernah usai.

Saat umurku 9 tahun, kelakuan bejat ayah semakin menjadi-jadi. Dilain sisi ibu semakin bekerja keras, tak hanya sebagai pembantu rumah tangga, ibu juga menjadi buruh cuci dan menawarkannya pada tetangga yang membutuhkan jasanya. Ibu tak pernah mengeluh padaku, bahkan ibu juga tak pernah menunjukan wajah sedihnya dihadapanku. Tentu saja, aku paham betul alasan mengapa ibu tak pernah cerita kepadaku, apa yang diketahui oleh seorang anak berusia 9 tahun, tentang kerasnya kehidupan??

Suatu ketika, dimalam kamis yang dingin sehabis hujan, ayah membawa seorang wanita. Wanita itu memakai pakaian minim dengan lipstik warna merah menyala. Baik wanita ataupun ayah, mereka berdua sama-sama mabuk, aku masih ingat betul bau alkohol yang menyeruak dari kedua tubuh makhluk itu. Saat itu, ibu sedang tak di rumah—majikannya meminta ibu untuk menginap dirumah inti, karena anaknya sakit. Ibu harus mengurusi anak orang lain, sementara membiarkan aku terlantar dan mau tak mau aku harus menghadapi laki-laki yang merupakan ayah kandungku.

“Ayah, siapa wanita ini?” tanyaku saat itu. Ayah menatapku dengan tajam, tatapan kebencian terpancar jelas dari matanya. “Anak setan! Ngapain kamu masih disini!” suara keras ayah nyaris membuat telingaku kehilangan pendengaran sesaat.

Wanita itu memegang wajahku, tangannya kasar dan kuku panjangnya benar-benar tak indah. Aku memperhatikan wajah wanita itu, kelopak matanya diwarnai biru tua, dan alisnya nampak seperti gunungan yang menukik. Wanita ini sangat jelek, pikirku. “Jadi, ini anakmu? Hah, tidak mirip denganmu, tuh. Jangan-jangan, anak ini bukan anakmu?!” ucap wanita itu sambil memperhatikan wajahku dengan seksama.

Aku hanya bisa terdiam, percakapan ini sungguh tak masuk akal. Bagaimana bisa aku bukan anak kandung ayah? Siapa pula wanita jelek ini, kenapa ayah mau menghabiskan malamnya bersama dengan seorang wanita yang bahkan tidak lebih cantik dari ibu! Apa ayah sudah gila!

“Biarkan saja anak setan ini. Ayo, kita lanjutkan yang tadi. Aku tak mau menunggu lama.”

***

Kenangan itu masih nampak jelas, terkadang aku tak bisa tidur karenanya. Sakit, muak dan kepedihan yang kurasakan saat aku masih kecil membuatku takut untuk bertemu dengan laki-laki. Ya, aku tahu tak semua laki-laki bejat seperti ayahku. Dan aku juga mencoba meyakinkan pada diriku, bahwa ayah pasti mempunyai alasan tersendiri.

Hari ini, tepat 5 tahun kepergian ayah. Beliau meninggal karena penyakit kelamin. Ya, mungkin inilah jalan yang ayah pilih. Terlahir tanpa mengetahui siapa kedua orangtuanya, dan selama sakit, ibu selalu berada disisinya hingga ajal menjemput. Ayah memilih jalan itu. Jalan yang ia yakini sebagai jalan yang terbaik.

Ibu mempunyai kebiasaan setiap hari peringatan kematian ayah. Gaun hitam dibawah lutut selalu ibu gunakan. Dengan wajah yang tak lagi muda, ibu menutupinya dengan polesan make-up. Saat senja menjelang, ibu akan duduk diteras rumah dengan dua cangkir kosong diatas meja. Ibu tak pernah menceritakan tentang cangkir itu padaku, namun aku bisa tahu bahwa cangkir itu adalah cangkir milik ayah dan ibu.

***

Fin

Monochrome Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang