Angin malam berhembus dengan lembutnya. Langit malam kelabu, bulan pun tak tampak. Aku masih terdiam di beranda rumah, menikmati belaian angin. Pikiranku melayang, jauh dan terbawa angin. Napasku terasa berat, aku tak menghitung berapa kali aku telah menghela napas hari ini. Yang pasti, menghela napas sudah menjadi kebiasaanku.
Rutinitas sehari-hari membuat ku lelah. Semuanya terus berulang hingga membuatku ingin muntah. Empat tahun tinggal jauh dari rumah membuatku mati rasa. Aku tak bergitu rindu rumah, karena orang rumah pun nampaknya tak begitu peduli dengan keadaanku saat ini. Aku menggenggam ponsel di tangan, beberapa pesan singkat dari ibu cukup membuat ku tersadar, bahwa ia sedang rindu.
“Sudah makan, nak?”
Pertanyaan yang kadang membuat ku bingung harus dijawab apa. Terkadang, karena tugas dan pikiran, aku bisa tak makan, dan hanya makan ketika tengah malam.
“Jangan terlalu sering makan mie, ya.”
Ibu selalu berpesan padaku agar tak terlalu banyak makan mie instan. Ah, aku jadi rindu masakan rumah.
***
Semakin waktu berlalu, pikiranku makin melayang. Seketika, kenangan di kepalaku berputar, aku teringat bagaimana pilihanku saat itu dapat sangat mempengaruhi kehidupanku kedepannya. Berkuliah di tempat yang jauh adalah salah satu keinginanku selepas lulus sekolah menengah atas atau yang biasa kau sebut SMA. Aku ingin belajar mandiri, lepas dari orangtua dan menikmati hidup seorang diri. Pikiran yang sangat naive, bukan?
Aku ingat wajah sedih ibu saat aku menyampaikan keinginanku untuk melanjutkan studi di luar kota. Wajahnya yang keriput nampak murung, tetapi ia tak sanggup untuk menahanku agar tidak pergi. Aku ingat salah satu impian ibu, “ia ingin aku menjadi wanita yang sukses dan dapat berdiri sendiri nantinya.” Maka dari itulah, aku berkesimpulan bahwa ibu terpaksa merelakan aku pergi, agar aku dapat menjadi seseorang yang sukses.
Semua kenangan itu masih sangat jelas dalam ingatanku. Ketika itu, ayah rela untuk mengantarkanku, menjadi pemandu jalan--padahal ia tak pernah menginjakkan kakinya di kota ini. Banyak hal yang harus kami lalui, rasa sedih dan bahagia dapat aku alami ketika beberapa hari bersama ayah di kota ini. Dari perjalanan itulah, aku semakin mengaguminya, dan aku semakin paham, bahwa kasih sayangnya untukku tak terukur lagi.
***
Aku menghela napasku, lagi. Semua hal indah yang ku kira akan aku dapatkan ternyata tak terjadi. Itu semua hanya bayangan semu. Teman-temanku sudah mulai meniti karirnya masing-masing, ada yang menjadi guru dan ada yang bekerja di kantoran. Sedangkan aku? Hanya menjadi seorang anak yang terus menyusahkan orang tua.
Aku memutuskan untuk menelpon ibu, tapi tak dijawab sama sekali. Aku coba sekali lagi, panggilanku masih diabaikan. Dengan perasaan yang campur aduk, aku memasukkan ponsel ke kantong baju dan me-non-aktifkannya terlebih dahulu. Pikiranku semakin kacau. Aku ingin bercerita dan menyampaikan keluh kesahku, tapi aku tak ingin orang lain menjadi terbebani dengan perasaan ini. Perasaan bersalah karena menjadi beban membuatku berpikir untuk mengakhiri hidup. Berbagai hal telah aku lakukan, tapi semuanya tak ada hasil. Tetapi, yang perlu aku lakukan kali ini, hanya perlu mencobanya lagi, kan? Aku pergi. Ayah dan ibu, semoga aku tak lagi menjadi beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Short StoryDiantara banyaknya cerita tentang aku dan dia, aku lebih memilih untuk menulis cerita tentang kamu dan aku. Cinta memang tak harus bersama, namun perasaanku padamu itu nyata dan akan tetap abadi. Kumpulan cerita pendek ini, ku dedikasikan untuk kamu...