Saat itu aku kelas satu SMP. Aku ingat hari dimana aku mendaftar sekolah beberapa bulan lalu bersama ayahku. Ayah mengantarkanku dengan motor tuanya itu. Senyumnya menular kepadaku di sepanjang koridor sekolah.
Ayah memang selalu bisa menularkan senyumnya kepada ku. Aku selalu tersenyum kala ayah tersenyum. Itulah mengapa aku suka berada di dekat ayah.
Namun kini, masa itu telah tertinggal. Hari berlalu bulan berganti. Beberapa bulan aku berada di sekolah ini dan saat nya aku menjalani ujian akhir semester. Aku selalu rajin belajar. Terutama saat ada ayah di rumah. Beliau biasa nya akan mengalah dan membiarkan aku mengacak acak ruang keluarga tempat nya biasa beristirahat dengan berbagai buku yang terbuka.
Ketika beliau pulang bekerja, biasa nya ada pertanyaan khas yang tertuju untuk ku.
"Bagaimana ulangan nya?"
Dan dengan bahagia aku akan bangga menjawab, "Soal nya terlalu mudah. Bahkan aku hanya perlu setengah waktu untuk mengerjakan nya."
Dan ayah akan mengusap lembut kepala ku yang sedang duduk dipangkuan nya.
Ayah memang ayah yang paling perhatian. Aku juga tau bahwa ia sangat menyayangi ku. Itulah kenapa aku juga menyayangi ayah.
"Belajarlah yang rajin. Dan jangan menjadi anak cengeng." Kata beliau saat sebelum aku menjalani ujian akhir semester. Aku benar benar ingat, saat itu malam senin.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman yang tentu saja ditularkan oleh ayah yang tersenyum mengucapkan nya.
"Apa yang ingin kau berikan pada ayah jika nanti kau sukses?" Begitulah kira kira tanya nya malam itu.
"Sapi?" Jawabku spontan. Saat itu aku memang baru mendengar sapi tetangga kami yang bersuara.
Ayah menunduk menatapku. "Kenapa sapi? Kau mau ayah mu kelelahan untuk mencarikan makanan nya?"
"Lalu? Kelinci? Ayah tak perlu mencarikan nya makanan. Cukup belikan saja sayuran dipasar. Lagi pula aku suka kelinci. Nanti aku bisa mengusap bulu nya." Kata ku saat itu. Apa salah nya jawaban itu yang keluar dari mulut mungil seorang anak yang benar benar polos.
Ayah hanya tersenyum dan mengusap rambut ku lembut.
***
Aku terbangun kala isak itu membuai telinga kecil ku. Tapi aku masih menutup mata. Ku dengar suara seorang perempuan dan seorang lagi di ujung telephone. Tidak salah lagi, isak itu adalah milik sang perempuan, kakak ku.
Aku membuka mata dengan berbagai keterkejutan. Satu, kakak perempuan ku menangis sambil memegang handphone yang tertempel di telinga nya. Dua, ia langsung memeluk kutanpa sepatah kata pun saat ia tau aku telah terbangun. Tiga, aku menyadari jika aku berada di kamar kakak ku. Ingatan terakhir ku mengatakan aku tidur dipangkuan ayah ku setelah kami membahas tentang sapi dan kelinci itu.
"Kenapa?" Tanya ku semakin bingung saat kakak ku telah melepas pelukan nya dan masih menangis.
"Ikhlas lah. Ikhlas kan ayah, ayah sudah tiada." Kata nya masih terisak sambil mencoba memeluk ku lagi.
Aku memberontak. Bohong! Begitu lah pikir ku. Aku segera berlari menuju ke kamar ayah dan ibu. Kosong. Kemana mereka? Aku mencoba berpikir tenang. Tapi bagaimana lagi? Air mata sudah terlanjur mengaburkan pandangan ku. Aku hanya bisaberteriak dan terisak dengan nya.
"Dimana mereka?" Teriak ku kepada kakak ku yang kini keadaan nya sama seperti ku.
"Tenanglah. Jangan menangis. Mereka di rumah sakit." Kata nya kini memeluk ku tanpa ada penolakan dari ku.
Bagaimana bisa ia berkata aku tak boleh menangis saat ia juga berurai air mata. Bagaimana bisa mereka pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan ku. Kapan mereka pergi? Kapan mereka pulang? Aku menggigit bibir bawah ku kuat kuat. Isakan itu ku tahan sebisa mungkin. Walaupun air mata tak terbendung lagi.
Aku berlari keluar. Duduk di teras dengan menekuk kedua lutut ku. Membenamkan wajah ku disana. Membiarkan air mata ku mengurai membasahi baju dan celana ku.
Rumah kami telah ramai dengan sanak saudara. Beberapa mencoba menenangkan ku dan kakak ku yang masih dikamar. Tapi percuma, kata kata mereka justru membuatku semakin tak kuat menahan tangis.
Aku menolak ketika beberapa orang mencoba membujuk ku untuk masuk kedalam rumah.
"Tidak! Aku akan menunggu ayah ku disini." Bentak ku kepada mereka yang membujuk ku. Maafkan aku ayah, aku ingat kata kata mu untuk tidak menjadi anak cengeng, tapi aku tidak bisa untuk tidak menangis saat ini. Toh sekarang kau tidak ada disini.
Aku berjanji akan berhenti menangis jika kau disini.
Benar saja, tangis ku berhenti. Lidah ku kaku, tenggorokan ku tercekat kala tubuh kaku terbujur itu tiba di rumah kami. Aku meraba wajah nya. Jemari ku terasa beku. Seulas simpul senyum terakhir terukir indah di paras nya yang bersih. Dan aku semakin sedih melihat nya, beliau tersenyum begitu tenang, menularkannya di wajah ku. Aku tersenyum walau air mata dipipi ku belum kering.
Dalam hati aku berharap
Ayah, tolong kecup dahi ku dan katakan aku hanya bermimpi. Ayah, tolong usap tangan ku dan katakan ini tak akan terjadi. Ayah, tolong peluk aku dan katakan semua akan baik baik saja. Ayah, tolong kembalilah...
Tapi akal ku berkata lain.
Ia telah pergi untuk selama nya. Ikhlaskan ia agar ringan langkah nya. Doakan ia agar mudah jalan nya. Tersenyumlah agar ia bahagia disana. Belajarlah hidup tanpa nya. Ia sudah pergi.
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Smile (1/1)
RandomIni kisah ku. Kisah yang ku harap tak nyata, namun sayang nya ini nyata.