Pada suatu hari, Ibrahim yang merupakan bapak dari Para Rasul berikrar bahwa sesungguhnya ia telah menemukan Tuhan. Ia menemukan Tuhan bukan pada matahari, bulan, ataupun bintang. Ia juga menafikkan bahwa Tuhan tidak selemah berhala-berhala kecil Nimrod yang diyakini dihancurkan oleh berhala Nimrod yang terbesar, yaitu Marduk. Ia justru menemukan Tuhan dalam persepsinya sendiri. Ia menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri. Setelah ia berikrar, ia baru menyadari bahwa pencarian yang ia lakukan untuk menemukan Tuhan justru membuat ia memposisikan diri sebagai hamba yang benar-benar tidak bisa apa-apa dan sangat lemah. Saat itulah, ia menghilangkan dirinya dan berkata, "tangan ini bukan aku, kaki ini bukan aku, dan sayangnya akal dan hati ini juga bukan aku, aku hilang dalam bayang-bayang Tuhan Yang Maha Kuasa". Ia benar-benar mempersepsikan Tuhan sebagai satu Zat yang meliputi segalanya dan berkuasa atas segalanya. Dari sanalah, kita mendapat pelajaran bahwa rupanya jika kita menyelami diri kita sendiri, kita akan menemukan Tuhan yang sebenarnya. Ibrahim pada saat itu bukan saja menemukan Tuhan, tapi ia benar-benar mencintai Tuhan selayaknya ia mencintai diri sendiri, alam semesta, dan masyarakat disekitarnya. Maka isi ikrarnya ialah bahwa ia akan membentuk keseimbangan hidup kembali dengan mengikuti jalan-Nya. Ibrahim dan Muhammad (sholawat kita panjatkan kepada keduanya) pun berkata, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" (QS. Ali Imran: 31). Maka dari hal tersebut, sangat jelas bahwa cinta dan kerinduan terhadap sesuatu yang melahirkan kita akan membuat kita tidak bisa lepas dari Dia (QS. Al Isra: 57).
Ibrahim telah membuktikan kepada kita bahwa Tuhan pada akhirnya bukanlah entitas yang seharusnya ditakuti dan lalu disembah. Karena jika demikian, apa bedanya kita dengan menuruti Joseph Stalin misalnya, hanya karena kita takut kepadanya. Tuhan tidak kejam kepada manusia, Dia menciptakan manusia dengan cinta, maka barang siapa yang mencintai-Nya, mereka adalah orang-orang yang akan dicintai oleh Tuhan seribu kali lipat lagi. Bukan hanya rahman Tuhan saja yang kita dapatkan, tetapi rahim Tuhan juga. Kerinduan kita untuk kembali kepada rahim Tuhan adalah hal yang akan kita rasakan terus-menerus ketika kita mengikrarkan diri bahwa tiada yang lain lagi selain Tuhan itu sendiri. Kita pun memudar seperti Ibrahim dan manusia lainnya yang sudah menemukan Tuhan. Bayangkan saja, kita sebagai manusia pasti akan merindukan ibu sebagai orang yang telah melahirkan kita dari rahimnya, walaupun banyak anak durhaka, penyesalan mereka sama saja dengan penyesalan orang kafir yang lupa bahwa ia dilahirkan dari rahim Tuhan. Kita tidak seharusnya takut terhadap ibu yang melahirkan kita, kita justru harus menghormati, mencintai, dan mengabdi kepada ibu kita. Begitulah kira-kira perumpamaan kita sebagai makhluk yang dilahirkan dari rahim Tuhan.
Disini kita mesti memahami bahwa arti kalimat laa hawla wala quwwata illa billah adalah bahwa kita berasal dari rahim Tuhan dan akan kembali kepadanya selayaknya anak yang akan kembali kepada ibunya ketika ia telah ikhlas mengabdi kepada ibunya. Singkatnya, kita tidak akan keluar dari sistem yang telah diciptakan Tuhan itu sendiri, apa yang dilahirkan dari-Nya akan kembali kepada-Nya tanpa terkecuali. Itulah mengapa kita harus secara sadar mengakui bahwa sebenarnya justru tidak ada yang menjadi milik kita, ini semua adalah milik Tuhan dan bagian daripada-Nya. Kita hanyalah cerminan dari Tuhan itu sendiri. Maka dari itu esensinya ialah bahwa Tuhan itu merupakan persepsi kita, apa yang kita pikirkan tentang Tuhan, maka Tuhan akan merealisasikannya dalam diri kita. Secara tidak sadar, hal ini merupakan sebuah bentuk kebersatuan antara kita dengan Tuhan. Hanya orang-orang yang sadar akan rahim Tuhan-lah yang pada akhirnya sadar dan melihat tidak adanya batas antara kita dengan Tuhan. Selain daripada itu, siapapun yang dipenuhi dengan kabut pengakuan bahwa ada sesuatu yang menjadi miliknya, maka kabut itulah yang menjadi penghalang antara orang itu dengan Tuhan. Sayangnya, kebanyakan orang seperti itu - yaitu kebanyakan orang - karena tenggelam dalam nafsu syahwat dan syubhatnya serta ilmu yang ia kira baik - tidak bisa melihat kabut tersebut dan cenderung merasa dirinya sudah benar apa adanya. Padahal jika ia memahami, jika kita menyingkirkan kabut tersebut, kita akan menjadi makhluk yang sempurna - seperti yang dikatakan Tuhan itu sendiri - yang dicintai oleh Tuhan.
Yang demikian membuat kita mengabdi kepada Tuhan bukan karena mengharap surga atau takut kepada neraka, namun benar-benar mengharap perjumpaan yang hakiki dengan Tuhan. Rabi'ah Al Adawiyah adalah orang yang benar-benar melakukan itu sehingga tiap malam ia membawa air dan menyiramkan air tersebut ke kuburan. Ketika ditanya mengapa ia melakukan itu, maka jawabannya ialah bahwa ia ingin memadamkan neraka sehingga tidak ada lagi orang yang mengabdi kepada Tuhan hanya karena takut terhadap api neraka. Suatu hari ia juga pernah mencoba membakar kuburan sehingga kuburan tersebut terbakar karena disiram minyak. Ketika ditanya mengapa ia melakukan itu, maka jawabannya ialah ia ingin membakar surga sehingga tidak ada lagi orang yang mengabdi kepada Tuhan hanya karena mengharapkan surga. Namun patut diperhatikan bahwa rasa cinta kita kepada Tuhan bukanlah seperti cinta kita kepada sesama manusia. Cinta kita kepada Tuhan ialah manifestasi dari adanya rasa takut, mengharap, kerinduan kita kepada Tuhan. Jika kita menyamakan makna cinta kepada Tuhan dengan cinta kepada sesama manusia ataupun alam semesta, maka kita tidak hanya menafikkan makhluk Tuhan lainnya, kita tidak ada bedanya dengan kaum idealis subjektif yang sangat egois sehingga mengorbankan subjek-subjek lainnya yang berinteraksi dengannya. Jika kita juga mengabdi kepada Tuhan hanya karena kita takut kepada-Nya, kita juga tidak adanya bedanya dengan orang yang ingin menyelamatkan diri karena takut kepada hukuman, itu sama saja dengan sifat egois yang sebelumnya. Begitupun juga ketika kita hanya mengharap kepada-Nya, kita hanya menjadi individu pasif yang malas untuk bergerak. Maka dari itu, ungkapan rasa cinta kepada Tuhan seharusnya adalah manifestasi atau kebersatuan dari ketiga sifat tersebut.
Kembali lagi kepada QS Ali Imran: 31, jika kita mengaku mencintai-Nya, maka kita akan melakukan apapun yang diperintahkan Tuhan kepada kita. Permasalahannya banyak orang-orang (kaum sufi) yang melebih-lebihkan cinta kepada Tuhan, namun dalam praktiknya, mereka malah menjauhi diri dari ibadah yang telah dicontohkan Ibrahim dan Muhammad kepada kita. Maka dari itu sangat wajar jika Tuhan berkata disebagian ayat Al Qur'an bahwa orang-orang yang mencintai diri-Nya justru adalah orang-orang yang tidak hanya mempraktikkan cintanya dalam hati, namun juga dalam pikiran dan perbuatan. Bahkan Al Ghazali sempat berkata bahwa orang-orang yang berilmu justru adalah orang-orang yang sangat murni dalam mencintai Tuhan. Disinilah potensi akal bermain untuk menyeimbangkan mabuknya hati karena cinta kepada Tuhan. Kita juga harus paham bahwa diantara keduanya ada wadah yang dinamakan kesadaran sebagai bentuk kejujuran kita dalam mencintai Tuhan. Ketiga unsur tersebut mempunyai sinkronisasi yang harus kita fungsikan agar kita mengetahui, melakukan, dan menghayati cinta kita kepada Tuhan. Kita tidak seharusnya memisah-misahkan ketiganya secara mutlak. Bayangkan saja, jika kita hanya mempotensikan akal kita saja, kita akan berbohong bahwa kita mencintai Tuhan. Jika kita hanya mempotensikan hati kita saja, kita akan terjebak dalam fanatisme buta yang tiada mempunyai jawaban kenapa kita sangat mencintai Tuhan dan kita akan sangat membenci hal lainnya yang tidak sependapat dengan kita. Apalagi jika kita hanya mempotensikan kesadaran kita saja, kita sadar bahwa kita mencintai Tuhan, tetapi kita tidak mengetahui dan menghayati rasa cinta tersebut dan malah akan cenderung pasif seperti orang yang bertapa di dalam gua, namun tidak ada faedahnya karena ia tidak mengetahui bagaimana cara mencintai-Nya serta tidak menghayati cinta tersebut dalam praktik kita sehari-hari.
Jika kita mencintai-Nya secara tulus dan murni, maka kita tidak akan tercerai berai dari seluruh ciptaan-Nya, karena seluruh ciptaan-Nya mempunyai esensi Ketuhanan yang pada akhirnya akan membawa kita untuk menemukan diri-Nya dalam setiap ciptaan-Nya. Seperti yang dituliskan dalam QS. Al An'am: 153, jalan Tuhan ialah jalan yang lurus dan tidak ada lagi jalan selain itu. Jalan yang lurus dalam mencintai-Nya ialah jalan yang justru tidak membuat kita terpisah dari seluruh esensi-Nya. Demikianlah esensi yang sesungguhnya dari mencintai Tuhan, kita harus ingat bahwa dalam mencintai Tuhan dan berusaha menyatu dengan-Nya, kita tidak boleh meninggalkan perintah-Nya sama sekali sampai ajal datang menjemput kita.
* 26 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Seorang Pecundang
Non-FictionTulisan ini merupakan kumpulan catatan-catatan dan esai ku soal segala hal. Semuanya murni dari pemikiranku dan apa yang aku tangkap dari realitas yang aku liat. Selamat membaca 😎😎