Part 2

7.6K 805 4
                                    


14 tahun kemudian.

"Lyn, coba kamu ambilkan sepatu Kakak yang berwarna putih dan blazer hitam yang kamu setrika kemarin. Cepat sedikit ya, Lyn? Chris sebentar lagi akan sampai."

Teriakan Maddie sukses memutus lamunan masa kecilku. Saat ini, kakakku tengah sarapan di dapur. Sebentar lagi pacarnya akan menjemput. Makanya Maddie sarapan dengan terburu-buru. Christian Diwangkara, pacar Maddie, memang paling anti jika disuruh menunggu.

"Iya, Kak. Sebentar Lyn cari dulu."

Aku segera berlari ke lantai atas. Kamar Maddie memang terletak di lantai dua. Aku menyambar blazer hitam dari lemari, dan meraih sepatu dari rak. Aku meletakkan blazer di atas ranjang dan sepatu di samping pintu kamar, agar mudah terlihat. Aku menyelesaikan titah Maddie secepat mungkin, sebelum ia mengomeliku panjang pendek. Setelahnya aku kembali ke dapur. Aku masih harus mencuci peralatan dapur yang kotor.

Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson tiga kali di depan rumah. Chris pasti sudah tiba.

"Duh, si Chris sudah sampai lagi. Kakak malah belum apa-apa," Maddie kelabakan. Ia menyudahi sarapan dan meneguk segelas jus jeruk. Setelahnya Maddie bersiap naik ke lantai atas.

Sekonyong-konyong Maddie menghentikan langkahnya. Ia teringat sesuatu.

"Lyn, kamu temui dulu si Chris sebentar ya? Suruh dia masuk dulu. Bilang kalau Kakak sebentar lagi akan turun."

Setelah memberi perintah, Maddie bergegas ke lantai dua. Baru menaiki beberapa undakan tangga, Maddie berbalik. Sepertinya kakakku itu kembali melupakan sesuatu.

"Kamu buatkan Chris kopi ya, Lyn? Biar dia betah nungguin Kakak. Cepat ya Lyn? Tidak pakai lama!" perintah Maddie lagi. Tanpa menunggu jawabanku, Maddie sudah berlari ke lantai atas.

Aku memandang diri sendiri. Saat ini aku hanya berkaos oblong sepaha dengan rambut yang dicepol asal. Apa pantas penampilan acak kadul begini menemui Chris? Tetapi titah Maddie tetap harus dilaksanakan. Kalau tidak, aku pasti akan mendapat masalah dari si nona besar.

Setelah menarik napas panjang dua kali, aku memberanikan diri berjalan ke ruang tamu. Saat langkahku mencapai ruang tamu, Chris telah duduk di sofa. Chris memang sudah terbiasa keluar masuk rumah ini.

"Selamat pagi, Om. Kata Kak Maddie, Om disuruh tunggu dulu sebentar. Soalnya Kak Maddie belum selesai dandan. Om mau saya buatkan kopi atau tidak?" tanyaku sopan.

Selama berbicara, aku terus menundukkan wajah. Ini adalah gesture favoritku. Aku memang tidak nyaman bila harus bersitatap dengan lawan bicara. Aku sangat introvert dan pemalu. Lebih tepatnya tidak percaya diri. Sekitar tiga menit menunggu dan aku tidak mendengar jawaban apapun dari Chris, membuatku mengangkat wajah.

Deg!

Aku refleks melipat kedua tangan ke dada, saat menyadari ke arah mana pandangan Chris berlabuh. Aku baru ingat kalau aku sedang tidak memakai penutup dada. Aku memang mempunyai kebiasaan tidak memakai penutup dada saat tidur, karena alasan kesehatan dan kenyamanan. Akibatnya saat ini bayangan bagian atas dadaku tampak jelas. Kaos tidurku memang tipis karena sering dicuci kering pakai. Pipiku menghangat. Sepertinya sedari tadi Chris sudah memandangnya tanpa kusadari.

Karena aku memandangnya, mata kami berdua saling bersirobok. Chris segera mengalihkan pandangannya dari bawah leherku ke arah wajah. Aku melihatnya menarik napas terlebih dahulu sebelum berujar datar.

"Satu, saya ini bukan om kamu. Saya tidak pernah merasa menikah dengan tantemu."

Ya memang. Aku 'kan memang tidak punya tante.

Beautiful Hurt (Baca Di Karyakarsa)Where stories live. Discover now