Prolog
"—lalu nanti setelah aku lulus, kita bisa pindah ke apartemen yang dekat dengan perusahaan papa dan tempatmu bekerja. Kemudian mengadopsi anjing—sejujurnya aku lebih suka kucing karena tidak berisik sih. Tapi aku ingin Terrier!"
"Tinggal berdua?" Arthit bertanya sangsi sambil mendongakkan kepalanya dari dada Kongpob, "kau... memikirkan masa depan bersamaku?"
"Tentu," jawab Kongpob enteng, namun ekspresinya berubah muram ketika akhirnya menyadari sesuatu, "kau... tidak?"
"Tidak." Arthit menjawab jujur.
***
Bagian Satu: Satu
Pintu auditorium fakultas teknik terbuka dengan suara keras, menyebabkan seluruh aktivitas di ruangan itu terhenti dan mendadak senyap. Para mahasiswa tingkat dua yang awalnya sedang menjelaskan mengenai aktivitas di kampus pun terhenti sambil menolehkan kepala mereka ke arah masuk. Setelah akhirnya sadar siapa yang datang, mereka langsung membentuk barisan di depan dengan rapi hingga salah satunya berkata, "untuk materi perkenalan saya akhiri sampai sini. Selanjutnya, senior dari ketertiban umum ingin menyampaikan sesuatu pada kalian," sebelum akhirnya memberikan waktu dan tempat bagi para senior yang baru datang itu dengan sungkan.
Kongpob mengamati tampilan para senior ketertiban umum itu—"tadi kudengar para senior tingkat dua menyebut mereka 'hazer'," ia mendengar pria di belakangnya berbisik pada temannya yang lain—dan langsung mendapatkan aura negatif dari mereka. Ia ingat kakak perempuannya pernah berkata bahwa para hazer sebenarnya hanyalah berakting dan ia tidak perlu takut. Namun walaupun marah mereka hanya hasil setting, hukuman yang mereka berikan tentu saja asli.
Salah satu dari hazer itu mengambil beberapa langkah ke depan dan berseru tanpa pengeras suara, "pagi, tingkat satu."
Tidak ada yang berani menjawab salamnya. Kongpob memicingkan matanya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang senior itu; dari postur, ia tidak terlihat seperti pria yang mampu menghajarmu jika kau tak sengaja bernafas di lehernya—paling tidak jika dibandingkan dengan dua pria berotot di belakangnya. Namun wajahnya... ada sedikit rasa familiar bercampur rindu yang membuat dadanya terasa sedikit sesak.
"Namaku Arthit," lanjut hazer itu, "dan aku adalah senior tingkat tiga kalian di fakultas teknik ini."
Mata Kongpob membulat.
***
Bagian Satu: Dua
Menjadi seorang anak bungsu dari dua kakak perempuan yang umurnya terpaut jauh dan memiliki orangtua pengusaha yang sangat sibuk membuat Kongpob kecil sering kesepian di rumahnya yang terlalu besar waktu itu. Ia pernah merengek pada mamanya untuk diijinkan bermain di sekitar kompleks perumahan, dan setelah berbagai macam rayuan bercampur tangis plus ingus berlebihan mamanya mengijinkan. Di saat itulah ia bertemu dengan seorang bocah berkulit putih susu cenderung pucat namun senyumnya sehangat musim panas sedang berkeliling menggunakan sepeda roda dua.
"Namaku Oon" Kongpob ingat seorang bocah itu memperkenalkan diri, "kau yang tinggal di rumah besar itu ya? Salam kenal!"
"Oon?" Kongpob tersenyum geli, "namamu lucu."
Bocah itu langsung cemberut, "kalau begitu jangan panggil aku Oon. Panggil aku Arthit."
"Tidak mau," Kongpob menjulurkan lidahnya iseng, "Oon. Namamu Oon. Dan namaku Kongpob."
"Aku lebih tinggi darimu. Panggil aku dengan 'kak'!"
"Oke, Kak Oon."
Namun percakapan mereka terputus ketika tiba-tiba mamanya menariknya untuk memaksanya pulang walaupun ia tak ingin. Kongpob sekilas bisa melihat raut kecewa dari muka Arthit.
YOU ARE READING
a sad love story is still a love story (even if it hurts)
Short StoryKalau arti masa depan ialah tidak ada Arthit di sampingnya, Kongpob lebih memilih untuk tenggelam dalam masa lalu selamanya.