..

1.5K 134 90
                                    

Bagian Tiga: Satu

Ketika kau memang sudah sakit dari kecil, sebenarnya tidak akan ada yang membuatmu merasa berbeda—selain perlakuan orang lain kepadamu.

Sejak kecil Arthit bahkan tidak sadar bahwa ia memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Ia tumbuh dengan bahagia hanya bersama mamanya di rumah sewaan sederhana dan tidak pernah meminta lebih. Ia tidak pernah bertanya mengapa harus minum obat sangat banyak setiap hari karena berpikir anak lain juga melakukan hal yang sama—terima kasih kepada iklan vitamin dan emulsi di televisi. Ia tidak pernah sadar orang satu kompleks tahu bahwa keluarganya bermasalah karena mamanya jarang mengijinkannya bermain di luar. Satu hal yang membuatnya terganggu adalah bagaimana mamanya menangis sambil mengelus pucuk kepalanya dan berbisik meminta maaf tiap malam saat mengira ia sudah tidur. Ia tidak pernah suka melihat mamanya menangis.

Namun suatu hari, setelah akhirnya berhasil mendapat ijin untuk bersepeda di luar pagar rumahnya, ia bertemu dengan seorang bocah berkulit sawo matang yang sedang mengorek pasir sendirian di taman kompleks. Ia tahu bocah itu karena sering melihatnya keluar dengan mobil bagus dari rumah paling besar di dekat taman, jadi ia berasumsi bocah itu adalah anak kaya yang kesepian.

Arthit merasa sedikit iba, karena itu ia tidak segan ketika menyapa dan memperkenalkan diri. Ia bahkan tidak keberatan ketika bocah itu menganggap namanya lucu. Ia senang dipanggil Oon selain oleh mamanya. Kongpob, nama bocah itu. Ketika ia sudah bahagia karena akhirnya memiliki teman baru, seorang wanita dengan rambut tergelung rapi dan baju yang jelas tidak murah menarik tangan anak itu dan menjauh. Arthit tidak akan lupa pandangan jijik yang diberikan wanita itu padanya sebelum memaksa teman barunya pulang.

Dan ketika esok harinya wanita itu datang ke rumahnya dan meminta pada mama untuk tidak mengijinkan Arthit berteman dengan anaknya karena takut tertular, Arthit kecil tahu bahwa ia berbeda. Ia merasa dirinya monster. Ia harus menyembunyikan jati dirinya jika ingin punya teman—dan ia sudah melakukan hal itu dengan baik bertahun-tahun lamanya.

Sampai bertahun-tahun kemudian, Kongpob dewasa datang lagi ke hidupnya.

***

Bagian Tiga: Dua

Hubungan Kongpob dengan orangtuanya sangat hangat. Ia tak pernah absen menelpon mamanya setiap malam, hanya untuk bertanya apa yang beliau masak hari itu. Kadang ia juga mampir ke rumah kedua kakaknya yang telah menikah untuk sekedar bermain sebentar dengan keponakan-keponakannya. Kongpob selalu memastikan orangtuanya tak akan merasa kehilangan meskipun kini ia tidak tinggal bersama mereka. Dan, Kongpob juga memastikan orangtuanya takkan tahu masalah yang ia buat di kampus.

Tetapi sepertinya ada satu berita yang terdengar oleh keluarganya.

"Mama dengar salah satu senior yang menjadi ketua hazer fakultasmu punya AIDS?"

Kongpob yang awalnya masih sibuk memotong dagingnya menjadi kecil-kecil kini mendongak. Ia sebenarnya tidak suka hal ini dibahas—atau dibesar-besarkan, seakan AIDS sama pentingnya dengan kasus terorisme atau sejenisnya. Ia sudah bosan mendengar topik yang sama di kampus; ia hanya ingin makan malam dengan tenang bersama orangtuanya tanpa memikirkan masalah sialan itu lagi. Namun sepertinya mamanya tidak akan melepaskan topik ini begitu saja, jadi ia akhirnya mengangguk, "hmm."

"Bagaimana bisa sih orang seperti itu lolos tes kesehatan?" mama Kongpob terdengar menggerutu, "dan... menjadi ketua hazer pula! Bagaimana kalau dia memberikan pengaruh buruk pada para junior?"

a sad love story is still a love story (even if it hurts)Where stories live. Discover now