Bagian 1

9 1 0
                                    

Nama gue Gen. Gue anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik gue laki-laki, Gun dan Geo yang masih duduk di bangku kelas dua SMP dan kelas lima SD. Sementara gue duduk di kelas sepuluh di salah satu SMA swasta di Jakarta. Walau pun kita bersaudara nyatanya kita sangat berbeda.

Yaiyalah, gue cewek, sementara mereka cowok. Rambut gue panjang kecoklatan, mata, hidung dan bibir gue kecil, tapi entah mengapa pipi gue bulat. Terlihat tidak begitu sinkron. Mungkin rambut gue itu karena kekurangan pigmen atau lebih tepatnya takdir. Berbeda dengan kedua adik gue yang berambut hitam dengan wajah proporsional. Itu kata lain untuk menyebut wajah keduanya yang masuk tampang good looking.

Tapi sejujurnya gue gak masalah dengan hal itu. Namun yang menjadi masalah sebenarnya adalah kenyataan kalau keluarga gue ini adalah keluarga paling ribut di kompleks tempat tinggal gue. Satu masalah yang paling bikin gue malu sejujurnya. Mulai dari mama yang suka ngomel entah ke gue, Gun atau pun Geo. Belum lagi kedua adik gue itu paling jago bikin ribut dan berantem di rumah, bikin gue dan mama sering kebablasan marah dan ngomel gak jelas, yang justru membuat rumah seperti sedang terjadi perang.

Bukan itu saja, kenyataan kalau gue juga sangat memegang andil dalam menyumbang keributan di sana, adalah kenyataan yang tidak dapat terbantahkan. Kejahilan Gun dan Geo terhadap gue selalu berhasil mengaduk-aduk rumah menjadi suasana paling ramai yang pernah gue rasa. Misalnya ketika azan magrib berkumandang dan mama mengingatkan kami bertiga untuk mengambil wudu. Sebagai kakak tertua gue sudah pasti ingin memberikan contoh yang baik untuk adik-adik gue dengan salat paling pertama, namun kenyataannya Geo si bungsu sudah salat lebih dulu. Bangga deh gue sama dia.

Habis wudu gue doalah, habis itu masuk ke ruangan kecil khusus untuk salat di salah satu ruangan di rumah gue. Di dindingnya ada mukenah dan sarung yang menggantung di capstok. Gue berhenti di sana buat ngambil mukenah warna cokelat, tapi betapa kagetnya gue karena Geo muncul di balik mukenah yang gue ambil. Gue langsung teriaklah, sangat kencang, melengking khas teriaknya seorang cewek.

Jujur gue malu pake banget. Walau itu di dalam rumah gue sendiri. Karena suaranya sudah pasti menyebar hingga membangunkan para tetangga di kompleks sebelah. Habis salat kita dihakimi di depan mama. Gue benar-benar menyesal sudah teriak keras banget. Sedangkan adik gue, dia bilang dia tidak sengaja mengagetkan. Katanya dia juga kaget banget tadi, pas lihat gue udah berdiri di depannya. Gue tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di kepala adik gue, biar cepat dan tidak menimbulkan masalah yang berkelanjutan gue iyain aja. Walau sejujurnya otak gue tidak bisa berhenti memikirkan cara untuk membalas dendam kepada si bungsu. Sedangkan mama gue gak gitu, kalau belum ngomel kaya gak afdol.

"Kalian itu magrib-magrib!"

"Maaf Ma." Aku langsung menjawab biar gak jadi panjang dan makin runyam. Habis itu gue langsung masuk kamar dan kunci pintunya biar gangguan setan tidak masuk lagi. Gue ngaji buat ngusir aura-aura negatif di diri gue, kamar gue, keluarga gue, dan tentunya rumah ini.

Sebenarnya bukan itu saja kejadian yang bikin gue super malu karena teriak-teriak gak jelas. Kalau tadi akibat kelakuan adik gue Geo. Gue masih punya stok adik yang lain, yaitu Gun. Meski dia lebih tua dari Geo tapi isi kepalanya sama-sama kaya bocah. Kalau ini kejadiannya habis salat magrib, mereka berdua ngumpul di kamer gue. Geo lagi duduk di kursi belajar gue, bilangnya mau belajar sama gue. Oke gue sambut niat baiknya, walau bagimana pun dia adik gue, satu darah. Jadi gue tidak punya alasan untuk menolak, lagi pula membagi ilmu walau itu hanya secuil adalah perbuatan yang mulia.

Tapi yang aneh, Gun juga ada di sana. Lagi ngaca di depan kaca pintu lemari gue yang gambarnya princess kaya kesukaan anak-anak SD. Walau pun gue terdengar gak suka sama tuh lemari, tapi gue berusaha bersyukur. Daripada baju-baju gue berserakan di lantai terus dipipisin kucing, terus jadi bau. Soalnya di rumah gue ada kucing. Kucing kampung lebih tepatnya, yang suka ngeong-ngeong dan ngejer-ngeong kalau ada orang lagi makan.

Pas gue masuk, Gun sambil main HP nyamperin gue. "Lihat deh Kak, lucu nih Videonya." Gue nurut aja, soalnya gue emang suka nonton apa aja yang bikin ngakak dan hepi. Gue pelototin tuh layar hp sampe jidat gue ngerut saking seriusnya. Tapi kok gue heran gak ada tanda-tanda lucunya sama sekali. Tapi gue masih sabar menunggu, manusia kan memang harus sabar. Apa lagi kalau mau mendapatkan kebahagiaan. Sabar itu hal yang sangat mutlak.

Tik... tik... tik... waktu berlalu lambat banget kayanya. Gun masih di kamar gue, Gun ngaca lagi. Karena lagi puber hobi dia mantengin kaca terus, gak di kamar sendiri, di kamar gue, kamar mama, kaca jendela, sampe spion motor, gak kelewat jadi korban wajahnya yang gak bagus-bagus amat itu.

Karena tuh video belum kelar, akhirnya gue berniat duduk, pegel berdiri terus. Bertepatan dengan itu, tiba-tiba muncul sesosok perempuan berambut hitam panjang dan tebal kaya di iklan sampo, gaunnya putih sampai nutupin kaki, bola matanya aneh karena kelihatan kecil banget, mukanya putih banget kaya didempul sama tepung. Dia muncul tiba-tiba dan jalan cepet banget sampe mukanya nabrak layar ponsel, untungnya dia gak keluar dari sana.

Anehnya gue lihat itu bukannya ketawa, malah teriak kencang banget. Gue kaget setengah mati karena kemunculannya yang tiba-tiba di depan mata gue. Bahkan sampe jantung gue pun berdetak cepat banget, seperti suara mesin diesel di hajatan-hajatan yang berisik.

Gue gak tahu mesti bilang apa, yang jelas gue kesel banget sama adik gue. Alhasil gue disemprot mama gue lagi. "Magrib-magrib, bukannya ngaji, belajar." Begitu omelnya. Kadang gue mikir, mama gue itu gak bosen-bosen buat ngomelin anaknya. Piiis ma.

Gue langsung usir tuh dua adik, dari kamar gue. Gue duduk di ujung tempat tidur sambil menyesali perbuatan gue yang lagi-lagi bikin malu keluarga ini, ekspresi di wajah gue sudah persis kaya di sinetron-sinetron yang lebay. Tapi gue gak sampe nangis sambil meluk bantal kok.

Setelah waktu berjalan, gue akhirnya mikir dan menyesal banget karena seharusnya tadi gue lempar aja hp adik gue sampe hancur berantakan, seperti harga diri gue yang terlukai oleh kelakuan mereka. Padahal gue ini seorang kakak yang seharusnya memberikan contoh yang baik, tapi justru sebaliknya. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah terjadi. Gue menghela napas keras banget, hingga berhasil menggeser jalur semut yang merayap di tembok kamar gue.

Satu hal lagi yang menurut gue aneh, meski gue kaget setengah mati kenapa hp itu masih tetap di pegang erat, dasaaarrrr!

Gue benar-benar kesel di situ. Apa lagi ngebayangin dia ngetawain gue sangat puas. Dasar adik yang tidak beradab. Tapi kalau adiknya saja tidak beradab bagaimana kakaknya. Gue tarik kembali kata-kata gue.

Akhirnya gue duduk di kursi belajar, ngebuka tirai jendela. Dari kamar gue di lantai dua gue pandangi genteng-genteng rumah di sekitar rumah gue. Mereka sudah jadi korban kebisingan keluarga gue selama ini. Apakah gue harus mendatangi rumah mereka satu per satu untuk meminta maaf karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Tapi gue masih ragu. Gimana kalau gue diusir karena sebenarnya mereka sangat membenci keluarga gue. Gue urungkan niat itu.

Tiba-tiba gue melihat sebuah sedan terparkir di halaman rumah sebelah gue. Rumah itu sudah lama tidak dihuni, sekitar dua bulanan. Hanya ada asisten rumah tangga yang kerap datang beberapa hari sekali untuk membersihkan rumah tersebut. Penghuni pertamanya merupakan sebuah keluarga yang terlilit hutang, sehingga terpaksa menjual rumah itu.

Dan baru kali ini gue melihat ada orang lain selain asisten rumah tangga itu. Seorang laki-laki dan wanita seumuran orang tua gue keluar dari mobil tersebut. Tak lama terlihat seorang laki-laki muda juga keluar dari pintu belakang mobil. Namun gue gak begitu jelas melihatnya. Wanita dan laki-laki muda itu memasuki rumah, sementara laki-laki berjas itu memasukkan mobilnya ke dalam garasi.

Hanya sampai itu yang gue lihat, karena setelahnya mama gue ketuk pintu kamar, gue buru-buru tutup jendela dan baca buku.

To be continued...

GenWhere stories live. Discover now