Episode 1

8 2 0
                                    

Ketika meteor saling bertubrukan menghasilkan butiran-butiran hampa di ruang gelap tak bernyawa. Ketika semua bintang berhubungan dengan sebuah tali. Ketika sebuah bola kehidupan lahir untuk pertama kalinya.

Terjatuh sebuah hati kecil dari langit membawa beribu masalah bagi kehidupan yang selanjutnya. Ditanam dengan pupuk terbaik dan air yang cukup, hati itu berdiri dan berbuah subur untuk pertama kalinya. Tapi tidak untuk kesekian kalinya.

Aku melompat dengan riang di tengah jalanan yang sepi. Tidak ada satupun mobil ataupun motor yang melintas dengan bau petrichor yang masih cukup kuat. Orang-orang akan memilih tidur dan menghabiskan coklat panas mereka dengan ditemani perapian hangat.

Pukul 4 sore, aku baru saja pulang dari klub bahasaku. Dengan ditemani dengan satu tas berisi buku pelajaran dan buku bahasa di tanganku, aku melompat melewati genangan air yang baru saja beberapa menit jatuh dari langit.

Rambut coklat brunettku bergoyang ke sana kemari mengikuti arah angin yang berhembus di sore hari ini. Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 4 lewat 2 menit.

Aku menghela nafas pelan. Aku cukup menghabiskan waktu banyak di sini.

Aku bergegas lari ke rumah dan membuka sepatu sekolahku yang tampak berlumpur.

"Brunella...?" Mama langsung meninggalkan segala aktivitasnya di dapur dan menghampiriku. Satu fakta yang pasti, Mama sedang memasak air dan itu sudah mendidih.

"Darimana saja kamu?" Melihat bajuku yang basah Mama inisiatif langsung mengambilkan aku handuk kering dari dalam lemari di dekat televisi.

"Kegiatan klub lagi, eh?" Mama menyodorkan handuknya kepadaku. Aku mengangguk dan mengeringkan rambutku yang cukup basah. "Kamu meninggalkan makan siang lagi, sayang." Aku tertawa kecil. "Ma, Brunella sudah besar. Sudah 14 tahun." Aku mengangkat jari telunjukku sebelah kiri dan 4 jari sebelah kanan. "Brunella bisa menjaga diri, Mama." Mama cekikikan sendiri dan mengacak poni rambutku. "Sudah 14 tahun ya? Wah bayi Mama sudah besar." Aku tersenyum kecut. "Mama..."

Sudah 14 tahun tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Aku sudah dengan cepat melupakan saat-saat dimana Kakara yang selalu jahil kepadaku. Dimana Kakara selalu bermain hujan-hujanan di luar denganku. Saat dimana Kakara marah saat kupanggil dengan sebutan itu. Sekarang ia sudah SMA. Dia lebih sibuk dengan pelajaran dan teman-teman di sekolahnya.

Aku celingak-celinguk memandang sekitar. Mencari sosok yang kurindukan. "Cari apa?" Seseorang menepuk kepalaku dengan tangannya yang cukup besar. Aku mengaduh kesakitan. Aku mendongak dan melihat seseorang yang aku cari.
"Kakara!" Sontak aku memeluk Kakara dan melupakan segala rasa sakit yang kuterima akibat pukulan maut.

Kakara melotot padaku dan menghela nafas panjang. "Hei, namaku Kara. Panggil aku Kak Kara bukan Kakara. Katanya anak klub bahasa tapi menyebut nama tidak bisa." Aku melepaskan pelukanku dan mendorong Kakara jauh-jauh. "Aku maunya Kakara!"

"Ma, jangan dimanjakan terus. Nanti dia tidak bisa tumbuh dengan remaja lainnya." Jari telunjuk Kakara mengarah ke wajahku. Mama hanya tertawa melihatku. Aku mendengus kesal. "Brunella bisa tumbuh!" Kakara tertawa sekencang-kencangnya. "Lihat kan, Ma? Bicara saja masih seperti anak bawang."

Aku terdiam. Kakara dan Mama ikut terdiam. Omongan Kakara sudah kelewatan batas. Memang dia bisa dengan mudah menyebutku anak bawang? Aku kelas 2 SMP. Bukan anak bawang lagi.

"Brunella tunjukkan bahwa Brunella bisa lebih dewasa!" Aku berlari naik hendak menaiki tangga. Naasnya aku tersandung dan jatuh di saat-saat yang tidak aku inginkan. Aku tersandung karpet yang terlipat sehingga membuatnya berkesan seperti polisi tidur. Ini membuat benjol kepalaku!

ArnawamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang