~ Story ~

212 20 3
                                    

Ketika mengingat siapa namaku, seketika dadaku merasa sakit—seakan berlubang tiba-tiba.

Orang bilang, nama adalah pemberian, jati diri. Itu membuatku sangat kesal. Aku membenci pemberian jalang itu. Aku mengutuk jati diri yang ia berikan.

Tidak akan ada kegelapan ini jika saja aku bukanlah hasil dari hubungan terlarang diluar nikah dan ia mau membesarkanku dengan sepenuh hati menggunakan kedua tangannya sendiri. Bukan melemparkanku keluar rumah ketika usiaku menginjak 5 tahun.

Saat itu, aku benar-benar merasa seperti sampah—di buang begitu saja tanpa ada perasaan berdosa sedikitpun.
Tapi seketika aku sadar, kalau hal semacam itu tidak mungkin terjadi padanya. Karena ketika aku hendak berjalan menjauhi rumah tersebut, kedua mataku secara tidak sengaja menangkap bayangan wajah gembiranya di jendela depan.

Akhirnya aku pun melangkah menjauh sembari menerjang rintik hujan yang kala itu tidak terlalu deras sembari memeluk diri. Hawanya sangat dingin-seakan merasuk dan menusuk-nusuk tulangku.

Aku tidak menyukainya. Walau aku lebih tidak menyukai debu.

Kondisiku makin tampak menyedihkan karena aku berjalan tak tentu arah, tak tau tujuan. Rasanya saat ini aku ingin sekali menabrakkan diri ke salah satu kendaraan yang tengah melaju di jalan dan mati secepatnya.

Tapi takdir berkata lain—lebih tepatnya ia tak memperbolehkanku melakukannya.

"Hei nak. Dimana orang tua dan rumahmu?"

Kutatap uluran tangannya yang tengah memayungiku. Ia seorang pria tua dengan rambut putih dan tubuh besar. Wajahnya terlihat sangat berwibawa walau sudah termakan usia.

"Kau punya nama? Apa kau bisu?"

"Chisaki. Chisaki Kai."

Di titik inilah, garis kehidupanku benar-benar dimulai dan membuatku merasa ingin terus hidup. Terutama disaat ayah membawa pulang seorang anak laki-laki yang seumuran denganku. Kata ayah, ia memiliki nasib sama sepertiku.

"... Hari... Kurono."

Anak bermodel rambut unik itu memperkenalkan dirinya dengan ragu-ragu—membuat cerminan jelas perasaan takut dan malu di wajah mungilnya. Mungkin saja, apa yang telah ia lalui selama ini lebih berat dariku.

Awalnya aku tidak tertarik padanya. Ia terlalu kaku. Ketika bicara saja terkadang bibirnya gemetaran atau bahkan suaranya terdengar tidak jelas. Si Hari ini suka mengingatkanku pada anak kucing baru lahir.

Bertahun-tahun, akhirnya Hari berhasil melepaskan semua traumanya. Bahkan kini, ia menjadi lelaki cerewet.

"Kai, kau tau. Sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini ketika kita pertama kali bertemu. Tapi aku terlalu malu menyampaikannya. Aku memilih untuk menyimpannya dan menunggu waktu yang tepat. Yaaah... Lalu kupikir ini saatnya."

"Melankolis sekali. Apa itu?"

Bibirku bungkam sesaat ketika mendengar pernyataan Hari. Setengah sadar, aku mengiris sebuah senyuman kecil. Kemudian kubalas bisikan halusnya—well, itu membuat ia cukup tersipu. Aku sedikit menikmatinya.

Aku dan Hari terus tumbuh bersama-sama. Seakan kami berdua merupakan saudara satu darah. Diriku pribadi tidak akan menolak keberadaannya karena ia merupakan partner yang sangat sempurna. Meskipun yah, kekurangannya hanya satu, bawel. Selebihnya kurasa tidak ada dan tidak membuatku terganggu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ayo PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang