Part 2: I'm... alive...

36 2 0
                                    


Aku mendengar suara ketukan sepatu lagi. Sudah jam berapa ini? Jam tujuh? Tapi biasanya homeschooling mulai jam enam. Apa guru itu pergi karena aku tidak bisa dibangunkan dan kembali lagi sejam kemudian?

Seorang wanita dengan baju kerja membuka pintuku dengan pelan, mengintip ke dalam, melihatku sedang terduduk, dan masuk lalu cepat - cepat menutup pintunya. Ia berlari ke arahku, melewati ranjangku, dan duduk di kursi yang kemarin ia belum kembalikan ke tempat asalnya.

"Oi... apa maksudnya semua ini? Mana guru homeschoolingku?"

"Aku memecatnya."

"Hah?", tidak memedulikan aku yang sedang menatapnya jengkel untuk kedua kalinya sejak kemarin, ia mengeluarkan berbagai jenis pakaian dari kantong plastik besar yang ia bawa. Baju seragam SMA dengan gambar OSIS di kantungnya, celana panjang warna abu - abu, dan jaket kebesaran lagi tapi dengan warna hijau tua.

"Apa - apaan, sih?", aku mulai kesal.

"Tengok ke sana!", ia menunjuk pintu. Aku menurut saja. Aku mengganti posisi dudukku ke arah pintu. Ia mengeluarkan gunting dan menggunting rambutku sampai pendek. Ia mengeluarkan make-upnya dan hampir saja mengoleskannya padaku kalau saja aku tidak berteriak, "TUNGGU! Apa - apaan, sih? Untuk apa aku pakai make-up!?"

"Kamu tidak mau wajah pucat dan kantung mata besarmu itu dilihat semua orang, kan?"

"Memangnya kita mau kemana?"

"Ke sekolah, lah. Aku membawakanmu baju seragam yang kamu butuhkan. Aku tahu kamu tidak boleh terpapar sinar mahatari, makanya aku membelikanmu jaket ini supaya semua bagian tubuhmu tertutupi. Kamu bisa menggunakan payung untuk menutupi kepalamu. Lalu kakimu itu pakai sepatu sneaker boots yang aku letakkan di sana. Kamu akan benar - benar terproteksi.", ia menyodorkan jempolnya kepadaku dengan wajah bangga. Memanfaatkan aku yang sedang bengong, ia mengusap make-upnya ke wajahku.

"Sekolah yang mau menerima anak sakit - sakitan seperti kamu memang susah. Aku juga mencari sekolah yang punya ruang kelas yang tidak terlalu banyak terpapar matahari. Tapi sekolah ini bilang mereka mau mengurusmu! Kau tahu mereka bilang apa? 'Semua anak harus mendapat perlakuan yang sama walaupun ia sakit' Kepala sekolah itu sangat baik! Aku yakin orang - orang di sana juga sangat baik. Aku memang salah hanya mengunjungimu malam hari dan menyewa guru untuk homeschooling. Kamu juga butuh teman seperti yang kamu bilang kemarin."

Ia berhenti mengusap - usap wajahku dan beralih ke tasnya. Ia mengeluarkan kacamata hitam dan memakaikannya kepadaku. Ia mengorek tasnya lagi dan mengeluarkan sebuah kaca kecil dan menyodorkannya kepadaku.

Aku melepaskan kacamata hitamku dan melihat wajahku di kaca itu. Aku terlihat begitu berbeda. Wajahku terlihat sangat segar. Tidak berkantung mata dan pucat seperti kemarin.

Aku cepat - cepat mengalihkan pandanganku dari kaca itu dan menatap kakakku, tapi sebelum aku bilang 'terima kasih', ia melemparkan seragam SMA itu ke wajahku dan berkata, "Cepat pakai, kita sudah telat sejam."

____________________________________________________________

Payung, jaket yang kebesaran, kacamata hitam, dan sneaker boots. Aku berjalan melalui taman, sesuatu yang sudah lama tidak aku lihat. Di depan kelas lantai satu itu sudah ada guru wanita yang manis melambaikan tangannya kepadaku. Aku mau berlari, tapi lebih baik tidak.

Setelah aku sampai, guru itu membuka pintu kelas. Aku menutup payung dan membuka kacamata hitamku lalu memasukkan benda - benda itu ke dalam tas. Aku merasa repot jika harus memakainya di punggungku lagi, jadi aku menentengnya.

Di dalam kelas, ada seorang guru berbadan kekar berkulit sawo matang yang sedang menulis - nulis di papan. Ia langsung menengokkan kepalanya kepadaku dan tersenyum. Orang - orang di situ menatapku dengan aneh, tapi guru itu langsung berteriak, "Hana, tolong tutup gordennya."

"B-baik.", seorang gadis yang duduk di dekat jendela manutup gordennya rapat.

"Hari ini kita kedatangan teman baru. Ia mungkin sedikit berbeda. Sebenarnya ia punya penyakit dan aku sebagai wali kelas kalian meminta kalian untuk menjaganya bersama - sama."

Kelas itu langsung ribut. Sebenarnya bukan ribut, tapi suara bisik - bisiknya banyak sekali. Suara yang tidak biasa aku dengar.

"Berisik, ah. Sudah. Kamu perkenalkan saja dirimu dulu."

Aku melihat ke depan, tapi tiba - tiba aku menunduk. Sudah lama tidak melihat orang sebanyak ini dan harus memperkenalkan diri ternyata memalukan juga. Tapi aku melihat tasku yang sedang aku pegang. Sebuah gagang gitar muncul dari sana. Aku berkata kecil pada diriku sendiri bahwa aku bisa. Aku melihat ke depan dengan berani, merekahkan senyumanku, dan berkata,

"Jackson Gregory."

Kisah Jackson: I'm (still) AliveWhere stories live. Discover now