Senyuman Di Wajahmu

113 10 0
                                    


Mbak Sissy diam mematung melihat gadis kecil tuannya menangis. Apa salah dirinya? Pikirnya sendiri. Mbak Sissy yang kebingungan dengan salahnya langsung menaruh dua botol saus di meja makan, menghampiri gadis bernama Irana itu dan berlutut di hadapannya.

"Ssssshhh, Irana kenapa? Ada yang sakit? Ibu salah ya Nak?"

Sentuhan jemari menghangatkan bagian atas kepala Irana, aku rindu Ibu, Bu. Batinnya berucap, tapi sayang mulutnya tak sanggup mengucap, hingga membiarkan air mata menjadi perantaranya.

"Ibu nggak tau salah Ibu apa kalau Irana nggak bilang apa - apa"

Masih dengan pikiran yang penuh dengan alasan - alasan kenapa gadis itu menangis, ia tetap mengelus pelan rambut Irana.

Berhenti memanggil dirimu Ibu, aku nggak suka. Batin kecilnya kembali berucap, tapi apa daya mulutnya yang tetap tertutup.

"Ibu minta maaf ya Nak ya? Kalau Ibu salah tadi, kasih tau Ibu harus apa biar Nak Irana nggak nangis lagi"

"Ja.. jangan p-panggil I-ibu, aku jadi teringat Ibu"

Irana memberanikan dirinya untuk mengucap, berharap wanita di hadapannya mau mengerti dirinya.

"Yaudah, mulai sekarang panggilnya Bibi, ya?"

Mbak Sissy menghela napasnya perlahan, lega karena gadis itu mau bicara, setidaknya dia berani mengungkapkannya dan tidak memendamnya sendiri.

"Tapi Daddy?"

Irana memberanikan dirinya mengangkat kepalanya, menatap wanita setengah baya di hadapannya dengan lesu.

"Nggak apa, nanti Bibi yang bilang pada Daddy, ya?"

Irana menganggukkan pelan wajahnya, membiarkan wanita dihadapannya mengelap sisa air mata di pipinya. Tangannya lembut.

"Nah kan, kalau nggak nangis jadi cantik! Mau makan sekarang?"

Mbak Sissy menatap mata gadis kecil itu dengan lembut, mengagumi wajah Irana yang manis walau habis menangis.

Gadis itu mengangguk pelan lalu tersenyum, ia berjalan kecil dan duduk di kursi makannya sendiri, Bi Sissy sibuk menyiapkan piring dan isinya, lalu menaruh piring itu tepat di meja Irana.

"Makan yang banyak, nanti tambah lagi ya kalau udah habis"

Irana menatapnya diam, Bi Sissy berlalu dari meja makan Irana, tapi tangan kecil gadis itu meraih ujung pakaian Bi Sissy dan membuatnya berbalik arah untuk menatapnya.

"Jangan pergi, makan bersamaku"

Aku selalu makan sendiri sejak Ibu pergi. Setidaknya aku ingin makan bersama saat ada orang lain di rumahku sekarang. Wanita yang diajaknya bicara itu hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Bi Sissy lalu mengambil makanan di piring dan duduk di sebelah meja makan, menemani gadis itu makan siang.

Irana tahu, ia juga mengerti bagaimana sibuknya sang Ayah, ia tak berani mengganggunya, meski ia tahu kalau Ayahnya pasti akan berusaha untuk selalu ada untuknya. Meski paham akan hal tersebut, Irana tetap merindukan suasana rumah yang hangat, saat kedua orang tuanya ikut makan bersamanya.

Ia menolehkan wajahnya menghadap Bi Sissy sebentar, lalu melanjutkan pandangannya kembali pada makanannya. Setidaknya aku tidak sendiri sekarang, ada seseorang yang mau menemaniku makan bersama. Ibu tenang saja, karna aku akan baik - baik saja.

~*~

Tuk .. Tuk .. Tuk ..
Bunyi pukulan kecil ujung pulpen pada meja belajar Irana memenuhi ruangannya yang berwarna peach, Irana memainkan kakinya, ke depan, belakang, depan, belakang, berusaha mengikuti iringan suara jam dinding. Ia bosan, bingung, pusing, tapi tidak ingin berhenti mengerjakan tugasnya.

Ia lalu menaruh kepalanya di atas mejanya, berusaha mengistirahatkan otaknya dari soal - soal yang membuatnya pusing.

Irana bukan termasuk anak yang pintar, namun ia cukup rajin dalam belajar. Namanya bukan langganan sepuluh besar di kelas, namun kadang terpampang beberapa kali. Irana berusaha menahan dirinya dari terlelap, ia tak ingin meninggalkan tugas yang belum terjawab olehnya.

Matanya memicing ke atas meja belajarnya, berusaha melihat jam dinding. Kapan Daddy akan pulang? Irana lalu kembali menatap soal di hadapannya, fokus semampunya, tugasku harus sudah selesai sebelum Daddy pulang, tekad itu tertanam dalam hatinya saat itu juga. Mengingat ia akan membuat kue dengan Daddy nanti malam.

~*~

"Nak Irana, makan sayang, Bibi udah siapin makan malam"

Suara lembut seorang wanita terdengar, seiring dengan terbukanya pintu kamar Irana. Mata Irana yang sedang sibuk dengan tugasnya langsung berubah haluan menatap Bibi barunya itu.

"Sebentar lagi Bi, tugasnya sedikit lagi"

Irana kembali menghadapkan wajahnya pada soal terakhir dari tugasnya. Sedikit lagi selesai. Irana berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Sang Bibi tersenyum pelan sebelum menutup kembali pintu kamar Irana. Gadis itu cukup pendiam, tapi juga penurut. Bi Sissy kembali tersenyum, ia merasa senang memiliki tuan yang baik dan anaknya yang penurut, sehingga ia tidak perlu banyak bekerja.

Baru saja sang Bibi menuruni tangga rumahnya ketika suara mobil masuk ke pekarangan rumah Irana. Tak lama setelahnya pintu ruang depan terbuka, diikuti dengan terbukanya pintu kamar Irana dengan keras dan langkah kaki yang menggebu - gebu menuruni tangga, menyisakan rasa kaget pada sang Bibi yang masih mematung di tangga, memperhatikan gadis kecil tuannya terburu - buru menyambut kepulangan Ayahnya.

"Ddaaaadddyyyyyyyyyy"

Suara nyaring terdengar dari mulut gadis itu, suaranya memenuhi setiap sudut rumahnya, sang Bibi menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah Irana. Sang pria yang dipanggil Daddy itu sontak merentangkan tangannya lebar, siap untuk memeluk tubuh mungil putrinya. Hupp! Gadis itu melemparkan tubuhnya masuk dalam pelukan sang Ayah, membiarkan kehangatan menyelimuti tubuhnya yang mungil.

"Daddy lama sekali"

"Maaf sayang, udah makan?"

Putrinya menggelengkan kepalanya ringan sambil tersenyum manis padanya. Ia mengangkat kepalanya untuk mencari sang Bibi yang kemudian muncul dari ujung tangga rumah.

"Aku masih membuat tugas Daddy"

Suara putrinya itu mencuri kembali pandangan sang pria padanya. Ia lalu mengecup pelan kening Irana.

"Kalau udah jam makan, kamu harus makan dulu. Paham?"

Gadis kecil dihadapannya mengangguk, berusaha mengiyakan perkataan sang Ayah dan berlalu pergi ke ruang makan, diiringi dengan langkah sang Bibi di belakangnya. Sang Ayah melepaskan sepatunya, menaruh tas kerjanya di atas sofa dan ikut masuk ke dapur untuk menemani putri kecilnya makan malam. Tak apa jika aku harus bekerja keras, karena senyuman di wajahnya adalah hal yang ingin ku pertahankan. Batinnya mengucap pelan, seraya melihat putrinya makan dengan lahap.

~*~

~*~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~*~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bent But Not BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang