ShortStory

75 9 2
                                    

Hai haii ... ini cerita pendek yang aku buat pas aku smp kalo gak salah -,-? aku juga lupa. Jadi maafkan aku kalo agak alay >.< ehehe...

Aku menatap daerah disekelilingku, aroma pohon ek, pinus dan desisan air terjun yang mengalir dengan derasnya. Dimana aku? Bukankah seharusnya aku berada dirumah? Lalu, kenapa aku bisa berada disekitar bukit ini?

Mataku menatap pelangi tujuh warna yang membentang indah di antara bukit hijau lainnya yang lembut. Aku dapat merasakan lembutnya rumput saat kaki jenjangku berjalan di atas rerumputan bukit yang kupijaki ini. Kuhirup udara segar hingga memenuhi rongga-rongga dalam tubuhku yang melindungi paru-paru dan organ lainnya. Berputar dan terhembuskan keluar dari mulutku dengan perlahan. Kicauan burung bagaikan melodi indah untukku dengar. Samar-samar aku dapat mendengar suara semak-semak yang berada dibalik tubuhku, aku menoleh dan memperhatikan.

Ada apa? Aku terus bertanya-tanya didalam hatiku yang gundah. Apakah itu binatang buas?
Aku merasa sekujur tubuhku bergetar dan pelipisku dipenuhi oleh keringat yang sebesar biji jagung, aku juga merasakan hawa dingin karena ketakutanku ini. Aku melihat bayangan, seperti manusia, atau hewan? Aku terus menebak-nebak hingga yang aku takutkan muncul.

Aku terkesiap akan pemandangan yang ada dihadapanku. Bukan. Bukan sesuatu yang menyeramkan. Melainkan sosok pria tampan yang memiliki paras begitu indah. Rambut pendek seleher dan poni samping kanan berwarna coklat madu yang terlihat berkilau oleh sinar matahari, bola mata biru laut yang terlihat terang, hidung mancung, pipi tirus dan bibir merah muda yang tipis. Tampannya. Kulihat pria itu tersenyum dan menghampiriku dengan langkahnya yang pelan. Kurasakan hembusan angin menerpa kami berdua hingga rambutku berkibaran menutupi wajahku, aku memejamkan mata saat angin terasa sangat kuat menghantam wajahku. Saat kurasakan angin sudah tak berhembus lagi, aku membuka kedua mataku dengan perlahan. Lagi-lagi aku dibuat kaget dengan adanya wajah pria itu yang berdiri dengan jarak yang cukup dekat dengan wajahku.

Aku dapat merasakan hembusan hangat napasnya yang menerpa wajahku, bola mata birunya memandangku dengan lembut, jari-jarinya yang hangat menyapukan helaian anak rambut dari wajahku, ia menyelipkan anak-anak rambut itu disela-sela telingaku. Ia tersenyum dan menjauhkan tanganya dari wajahku. Sekarang aku dapat merasakan kalau wajahku memanas dan jantungku berdegup dengan kencang, seolah-olah ingin melarikan diri dari tubuhku.

Dengan ragu, aku menjauhkan jarak antara wajahku dengan wajahnya. Aku mulai bertanya dengan suaraku yang bergetar, "Bolehkah aku bertanya, ada dimana aku ini?" Aku berusaha sebisa mungkin menahan beban tubuhku yang terasa begitu berat karena kaki-kakiku sudah lemas untuk menyangga tubuhku ini.

Pria itu tersenyum sangat manis. "Dengan senang hati, nona. Kamu berada didunia mimpi. Bolehkah aku mengetahui namamu?" Pria itu mengulurkan tangannya kepadaku, aku menerima uluran tangan itu dengan lembut. Hangat dan terasa begitu nyaman. Aku tersenyum manis kepadanya. "Namaku, Hani. Kamu bisa menganggilku, Han."

"Aku Kenza. Kamu bisa memanggilku Ken, senang berkenalan dengamu, Han." Aku mengagguk dan tersenyum.

"Hmm ... kalau aku boleh bertanya, apa maksudmu aku berada didunia mimipi? Aku belum pernah mendengar nama tempat ini?" Aku bertanya lalu duduk di rerumputan yang lembut. Berhati-hati agar drees berwarna putih vanilla yang aku kenakan ini tidak terlipat dan menjadi kusut. Ia juga duduk disampingku. Lagi-lagi hembusan angin menerpa wajah kami berdua. Aroma kayu manis terasa begitu manis saat terhirup.

"Kamu berada didunia mimpimu sendiri, Han," ucapnya, "Dan aku adalah pria yang menjadi pemeran didalam mimpimu."

"Apakah kamu bercanda? Bagaimana bisa kamu menjadi pemeran mimpiku, sedangkan aku saja belum pernah bertemu denganmu." Aku menatapnya bingung. Bola mata biru laut itu menatapku begitu lembut. Aku merasakan adanya kupu-kupu yang berterbangan diperutku.
Aku menelan salivaku dengan bersusah payah.

"Kita adalah pasangan, Han. Tidakkah kamu menyadari itu?"

Aku terkesiap. Pasangan? Oh ... itu konyol. Meskipun sebenarnya, aku menginginkan hal itu terjadi. Aku tertawa garing berusaha menahan gejolak yang ada didalam dadaku. Berputar, memukul dan, itu membuatku pusing. Sensasi-sensasi aneh yang belum pernah aku rasakan.

"Ah, aku tidak menyadarinya. Bagaimana kamu merasa yakin kalau aku adalah pasanganmu? Aku sedikit meragukan itu."

Kenza tersenyum manis. Oh ... jangan senyuman itu, senyuman itu membuatku candu, mabuk, ingin melihat dan merasakan benda merah muda tipis itu. Suaranya begitu lembut, melewati lubang telingaku dan dadaku bergetar saat otakku mendapat sinyal suara itu. "Suatu saat kamu akan tahu, mengapa aku begitu yakin kalau kamu itu adalah pasanganku," jawabnya.

"Tapi aku ingin mengetahuinya sekarang!" ucapku dengan antusias.

Ia hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Keras kepala," cibirnya dengan sedikit senyuman nakal disana. Ah, aku suka senyuman itu.

Aku mengerucutkan bibir merah mudaku, menggenbungkan kedua pipiku. "Ya, aku memang keras kepala. Kenapa? Apakah kamu menyesal jika aku adalah pasanganmu?" Aku bertanya dengan nada sedikit jengkel.

Kenza menggeleng dan menghadapkan tubuhnya menghadapku, memperdekat jarak diantara kami berdua.

"Tidak. Aku tidak menyesal. Aku. Tidak. Menyesal." Ia berkata dengan penuh penekanan pada setiap kata. Ia merubah raut wajahnya menjadi serius. Ah ... aku tenggelam dalam manik biru lautnya yang indah.

"Kalau begitu," Aku menatap matanya dengan serius, "Buktikan. Buktikan kalau kamu tidak menyesal."

Ia mengulas senyumnya. "Bukti? Apakah kamu yakin, kalau kamu menginginkan bukti itu sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk dan ia tersenyum kembali. "Hmm ... baiklah jika kamu menginginkan itu, aku akan melakukannya." Ia menarik pinggangku untuk lebih dekat dengannya dengan tangan kanannya, bola matanya menatap bola mataku dengan lembut. Aku mulai terhipnotis dengan tatapan itu. Tangan kirinya terangkat dan mengusap tengkukku dengan lembut, menahan agar kepalaku tetap diposisi saat ini. Jari-jarinya terasa hangat dan halus. Lagi-lagi sensasi ini menggangguku, dadaku kembali bergejolak, mematikan saraf-saraf otakku untuk bekerja. Aku diam, menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

Wajahnya mendekat, bergerak sedikit memiring, napasnya berhembus dan menerpa wajahku. Hangat.

Wajah itu semakin dekat, lebih dekat hingga kini, aku merasakan seluruh tubuhku mati rasa. Bibir itu mengulum bibirku dengan lembutdan penuh kehati-hatian hingga aku benar-benar merasa tidak berdaya sekarang. Lemas, terbuai dan bergejolak. Ia mempererat pelukan itu, menahan tubuhku yang terasa bagaikan kertas basah yang tidak bertenaga. Aku melingkarkan kedua lenganku kelehernya. Memejamkan mata dan merasakan ... basah. Tunggu, tunggu! Basah? Aku rasa tidak ada hujan saat ini. Aku membuka mata dan mendapati wajah ibuku yang menatapku geram. Tangan kanannya memegang gelas kosong yang aku yakini, air itu sudah digunakan ibuku untuk menyiram wajahku.

Aku mengerjapkan kedua mataku, menyesuaikan pupil mataku pada cahaya matahari yang begitu menyilaukan. Otakku bekerja keras mencerna apa yang terjadi saat ini. Hutan, bukit, Kenza, sensasi, dan ... ciuman itu. Apakah mimpi? Tapi itu terasa nyata. Dan saat aku melirik ibuku lagi, aku baru menyadari. Itu adalah mimpi. Hhh ... begitu sialnya aku.

"...dari tadi udah ibu bangunin juga! Apa kamu lupa kalau hari ini adalah hari pertama kamu sekolah?! Kamu mau telat, hah?!"

Aku kembali mengerjapkan mata. Hari pertama sekolah. Hari pertama ... sekolah. APA????? HARI PERTAMA SEKOLAH?????

Aku terhenyak dan meloncat tiba-tiba dari kasurku. Ibuku ikut meloncat dari lantai, aku lekas turun dari ranjang dan menyambar handukku untuk segera mandi.

Aku baru saja pindah sekolah dari Bandung ke Jakarta. Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baruku. Tadi aku sempat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06. 02. Itu artinya aku hanya memiliki waktu 28 menit untuk sampai sekolah.

Aku bergerak secepat mungkin, setelah mandi, aku memakai baju putih abu-abu yang sudah ibu letakkan diatas ranjang. Aku menyambarnya dan memakainya dengan cepat. Menyisir rambut gelombang panjangku yang berwarna coklat sepunggung. Setelah itu memoleskan sedikit bedak dipipi dan lipglos dibibirku. Memakai jepitan berbentuk sayap putih diponi sampingku. Siap dan rapih.

Aku menuruni anak tangga tak lupa dengan tas yang aku selempangkan dipundak kananku. Aku menemui ayah dan ibuku, berpamitan dan mengambil uang saku yang telah ibu siapkan. Memakai sepatu lalu memakan roti bakar dengan segelas susu coklat yang hangat. Aku berjalan keluar rumah dan berlari menuju supir mobilku. Membuka pintu mobil dan duduk dengan santai didalam mobil. Pak Ujang—supirku—mulai menjalankan mobil menuju sekolah.

Aku menghembuskan napasku pelan. Untung saja aku tidak telat, kukira aku sudah terlambat mencapai sekolah. Masih ada waktu 10 menit lagi untuk masuk kelas. Aku berjalan memasuki area sekolah baruku. Berdoa supaya aku bisa mendapatkan teman disini. Tarik nafas, buang dengan perlahan. Hufhhh ... aku siap.

Di sepanjang koridor, aku menjadi bahan sorotan para siswa dan siswi. Aku sibuk menerka-nerka. Ada yang salah denganku? Atau bagaimana? Kenapa semua memandangku begitu?
Aku berjalan sambil menunduk, terlalu malu untuk menjadi bahan sorotan. Saat berjalan, aku melihat sepasang kaki yang menghalangi jalanku. Aku memperhatikan kaki itu, beranjak mendongak keatas dan mendapati wajahnya. Seorang pria. Tidak asing. Aku menatap dengan serius. Hmm ... rambut coklat madu seleher, poni samping kanan, dan ... bola mata biru laut yang terang. Bola mata itu, aku rasa aku pernah melihatnya. Tapi siapa ya? Aku sibuk memperhatikan hingga suara deheman pria itu membuyarkan pikiranku.

Laki-laki itu terbatuk kecil, sebelum akhirnya berbicara, "Kita bertemu lagi, Han," ucapnya. Aku terkesiap. Suara itu, suara lembut yang membuat aku kembali merasakan sensasi dan gejolak aneh didadaku. Aku rasa aku mengingatnya sekarang, pria itu adalah....

"Kenza?" lirihku sedikit tercekat. Bagaimana bisa? Kukira itu adalah mimpi, tapi ternyata Kenza itu ada. Dan ini nyata. Oh ... aku benar-benar bingung dengan semua ini.

"Ba-bagaimana bisa?" Aku kembali bertanya, tapi kali ini suaraku lebih terdengar bergetar, tenggorokanku kering dan aku merasa tercekat. Aku kembali menatap pria itu tidak percaya. Aku rasa, mataku salah melihat.

"Ah ... apakah ini mimpi? Kalau mimpi, aku mohon cubit aku agar aku terbangun dari mimpi ini," gumamku pelan. Berusaha menyadarkan diriku dari halusinasi ini.

Bukan, ini bukan halusinasi. Aku meringis saat pria itu menyubit pipiku dengan gemas. Ia tersenyum dan memandangku hangat. "Sakitkan? Itu artinya kamu tidak mimpi, Han," ucapnya diiringi tawanya.

Aku tergagap, mataku mengerjap tidak percaya. "Ta-tapi ... bagaimana ... bisa?"

"Kamu tidak perlu tahu bagaimana ini bisa terjadi, Hani, yang jelas, aku sudah bilangkan, kalau kamu itu adalah pasangan aku. Buktinya kita bertemu kembali. Didunia nyata, bukan dunia mimpi."

Aku menggeleng dan memegang kepalaku yang sedikit sakit.

Aku menghela nafas pelan. "Aku bingung," lirihku.

Kenza tersenyum, senyum yang menenangkan. "Tidak perlu bingung, yang jelas sekarang ini kamu harus ikut sama aku." Kenza menarik tanganku lembut. Semua murid memperhatikan kami berdua, dan aku tidak peduli. Aku hanya bingung dengan kejadian ini. Bagaimana bisa mimpi menjadi kenyataan? Bukankah itu konyol?

Kenza membawaku kebelakang sekolah—aku rasa—ia menarikku dan menghempaskan tubuhku ketembok dengan lembut. Ia mengurungku dengan kedua tanganya yang berada disamping telinga kanan dan kiriku. Ia kembali menatapku, kali ini lebih serius. Aku dapat melihat keseriusan itu dimatanya. Ia mendekatkan wajanya ke wajahku, sedikit mempendek jarak wajah kami, lalu ia menghela napas pelan, hingga napas itu menerpa wajahku dengan lembut.

"Aku menantikan ini, Han," ucapnya dengan suaranya yang dalam dan serak. Aku bergetar, suara itu memunculkan reaksi aneh pada diriku.

Aku mengerutkan keningku. "Apa maksudmu?" tanyaku dengan nada yang aku buat setenang mungkin. Berusaha mengabaikan sensasi yang mulai terasa aneh.

Kenza menatapku, ia menarik napas dalam lalu terhembus dengan pelan. Aroma napasnya yang baru aku sadari terasa seperti mint dan aku menyukai itu.

"Aku sering sekali memimpikan gadis cantik sepertimu, memakai dress putih vanilla sepanjang lutut. Tapi anehnya, aku tidak pernah bisa berbicara denganmu. Selalu ada halanganya. Hingga malam itu. Dimana kita bertemu di dunia mimpi, aku dapat melihatmu dengan jelas, berbicara dan mengenal namamu. Aku jatuh cinta padamu, Han. Aku benar-benar menunggu bahwa kamu itu benar-benar ada. Aku sudah menyangka dan meyakini bahwa kamu adalah pasanganku. Aku suka kamu, cinta kamu dan sayang kamu, Han."

Ia mengatakan hal itu dengan begitu lembut. Tulus dan aku dapat melihat itu di dalam matanya. Aku hanya tidak dapat menyangka bahwa ia mencintaku saat pertama kali melihatku dimimpinya. Dan aku rasa ... aku juga merasakan hal itu. Aku suka padanya, cinta dan sayang. Dan aku yakin, bahwa perasaan ini benar adanya.

Kali ini, aku yang mendekatkan wajahku pada wajahnya, ia sedikit menjauhkan wajahnya dari wajahku. Ia membuka kurungan itu dan aku melingkarkan lenganku dipinggangnya.

"Apakah kamu percaya, kalau aku merasakan hal yang sama denganmu. Suka, cinta dan sayang padamu pada awal kita bertemu. Hanya saja, pertemuanku denganmu hanya sekali. Dan itu mengubah segalanya. Aku. Mencintai. Kamu. Kenza." Aku memberikan penekanan pada setiap kata. Ia tersenyum, senyuman yang begitu menggoda dan meluluh lantahkan hatiku. Jantungku berdegup dan bergetar dengan hebatnya. Kembali merasakan sensasi itu kembali, yang aku yakini, sensasi itu adalah perasaanku pada Kenza.

"Jadi kalau begitu, maukah kamu menjadi kekasihku, Hani? Aku tidak peduli jika ini terlalu cepat. Aku benar-benar ingin memilikimu."

Aku mengulas senyumku yang menggoda, dengan lembut, aku berbisik padanya. "Ini jawabanku."

Aku berjinjit, melepaskan pelukanku pada pinggangnya, melingkarkan kedua lenganku ketengkuknya dan memperdekat jarak kami, hingga kejadian saat didunia mimpi itu terjadi. Aku merasa Kenza tersenyum dan memeluk pinggangku erat. Menahan bobot tubuhku yang sedikit berat karena aku merasakan kakiku kembali melemas. Dan inilah kami, bertemu dan bersatu dengan perantara mimpi. Yang mungkin sebagian orang akan menganggap itu konyol dan aneh. Tapi, inilah buktinya, kami bertemu dan bersatu kembali. Mencoba mempertahankan perasaan ini, hingga kami berhenti bernapas dan bertemu didunia mimpi lain yang begitu nyata.




Destiny Of DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang