Yah, Si Tampan Sudah Punya Anak

360 48 12
                                    

"Kamu resign beneran?"

Yeva mengangguk menjawab pertanyaan dari Rana.

"Gara-gara gagal jadian sama Erlangga?"

"Salah satunya itu. Tapi selebihnya, aku resign karena aku udah capek tinggal di Jakarta. Lagian, bukan salah Erlangga juga. Aku emang nggak pernah bilang kalau aku suka dia. Aku kira dia baik karena dia juga suka sama aku. Ternyata semua cowok cuma menganggap aku enak buat dijadikan tempat curhat, bukan buat diajak jadian."

Rana menghela napas. Apes sekali jadi Yeva. Karirnya sebagai travel consultant mungkin melejit, tapi nasib percintaannya tidak mengimbangi.

Yeva memang jauh dari kata glamour dan fashionable. Yeva benar-benar apa adanya. Dibanding perempuan lain, Yeva memang punya kekuatan hanya di angka tiga dari sepuluh untuk membuat lelaki terpana saat melihatnya.

Yeva tidak cantik, tapi Yeva baik. Berpisah dengan teman seperti Yeva membuat Rana sedikit hancur. "Kalau aku ke Jogja, kita harus ketemu loh, ya."

Bukan karena menyerah sebab Yeva pergi. Bukan karena Jakarta jahat seperti ibu tiri yang membuatnya lelah dan menyingkir. Tapi, karena di Jakarta, cinta tidak akan menemukan dirinya.

Karena di Jakarta, cinta ada di atas awan, sedangkan Yeva ada di dasar lautan.

***

Nasib cintanya mirip dengan Eponine dalam kisah Les Miserables.

Eponine dan Yeva sama-sama mencintai dari belakang walau lelaki yang mereka cinta sedang ada di depan. Mereka kalah bersaing dengan perempuan lain dalam mendapatkan cinta karena fisik yang tidak mendukung. Sama halnya seperti Cosette yang ayu bak ratu, sedangkan Eponine adalah gadis biasa dengan rupa tak seberapa.

Bisa dikatakan, Yeva adalah Eponine dalam dunia nyata. Cinta tak pernah datang karena rupa yang begitu-begitu saja.

Sedih ... tapi Yeva masih sehat dan masih berusaha.

Meski kini, harga dirinya berada antara hidup dan mati. Di usianya yang menginjak angka 27, Yeva masih sendiri saja. Ia tertinggal dari teman-teman seangkatannya yang sudah mempunyai tambatan hati.

Yeva berada dalam kondisi genting. Keluarga besarnya sudah menuntut pernikahan, tapi sang pangeran belum juga datang.

Tersesat, mungkin.

Atau istananya sang pangeran kejauhan dari istana Yeva.

***

Sejak resign dari kantor, Yeva memutuskan untuk mengelola rumah peninggalan eyang buyutnya di daerah Sastrodipuran untuk dijadikan penginapan sederhana.

Rumah jaman dulu dengan sentuhan Belanda itu diperbaiki. Dengan mengeluarkan segenap kekuatan baik tenaga maupun finansialnya, rumah tua itu disulap menjadi begitu vintage dan instagramble.

Namanya, Ramayana Bed and Breakfast. Ada tiga kamar private dan satu ruangan besar di area belakang yang dijadikan dormitory berisi sepuluh single bed dengan sekat lucu.

Baru enam bulan dibuka, tapi Ramayana Bed and Breakfast sudah mendapat review bagus di internet. Karena, selain tempatnya asri, hommy, dan bersih, letaknya juga strategis. Dekat dengan Stasiun Tugu Yogyakarta dan Malioboro.

Yeva menoleh ke arah pintu depan ketika lonceng berbunyi. Gadis itu tersenyum, lalu lekas membenahi rambutnya yang diikat kuda.

"Selamat datang di Ramayana Bed and Breakfast," salamnya begitu mendapati seorang pria tampan berpenampilan kasual berdiri di depan pintu.

Pria itu tersenyum membuat dunia Yeva meluncur ke langit dan mengambang di udara begitu saja. "Hai, aku Bara, yang booking private room dari hari ini sampai tanggal 15 Februari."

"Saya Yeva, Mas. Silahkan masuk. Seperti yang ada di rules of house, selama nginep, anggap aja ini rumahnya sendiri. Kecuali sarapan, semuanya self service ya, Mas. Tapi kalau ada apa-apa, jangan sungkan kasih tahu saya. Ayo, saya tunjukkin kamarnya." Sekuat tenaga Yeva menyimpan kegugupannya.

Bara yang dari tadi senyum-senyum melihat interior rumah –dan secara tidak langsung membuat jantung Yeva berdetak kencang- itu berhenti melangkah sambil menahan tangan Yeva begitu saja. "Sebentar, Mbak. Ada yang ketinggalan."

Yeva melongo. Tubuhnya hilang rasa sekejap karena sentuhan Bara. Dia bahkan tanpa sadar ikut berlari ke depan, melihat Bara memasukkan dua koper dan ... satu troli bayi, tentunya dengan sesosok balita yang tertidur pulas di sana.

Hati Yeva serasa jatuh ke tanah. Dia memang selalu seperti itu setiap kali kedatangan tamu lelaki. Berharap salah satunya ada yang masih single, lalu jatuh hati dengan si pemilik rumah. Tapi cuma sebatas berharap, Yeva tidak berani bertindak lebih jauh lagi.

Niat untuk jatuh hati kepada si pria berlesung pipi nan manis itu kandas sudah.

"Ini roommate-ku, Mbak. Hehe." Bara tersenyum tanpa dosa sambil mendorong troli itu masuk ke rumah. "Hampir aja kelupaan bawa dia. Untung inget."

"Oh, namanya siapa, Mas? Lucu banget." Sejujurnya, Yeva patah hati. Tapi memang benar, bayi laki-laki di dalam troli itu lucu sekali. Rambutnya tebal dan hitam. Bibirnya mungil dan merah. Tubuhnya ... montok!

"Alvary namanya. Dia ini adal ...."

"Papa." Alvary membuka mata, menatap Bara dan Yeva bergantian sambil menguap lebar-lebar.

"Papa," panggilnya lagi.

Bara tersenyum, membuat hati Yeva tidak karuan lagi. "Hai, Alv. Kita sudah sampai di Jogja lho."

Tubuh Alvary diangkat, lalu dihadapkan ke arah Yeva. Balita berusia empat tahun itu masih malu. Alih-alih berkenalan, dia malah memeluk Bara lagi sambil menguap.

Yeva terkekeh garing sambil menggelitik pelan punggung Alvary. "Kayaknya dia masih ngantuk, Mas. Saya anterin ke kamar, yuk."

Bara mengangguk dan mereka berjalan menuju sebuah kamar di ujung lorong. Bibir Bara bersuara, memuji rumah dan perabot antik di dalamnya. Sementara Yeva, diam-diam sedang patah hati lagi.

Tamu tampannya, ternyata sudah punya anak.


BED AND BREAKFAST✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang