Sebenarnya malam ini begitu terang dan sekaligus tenang. Jika mata menengadah ke langit, maka hamparan bintang yang bak permadani bertabur berlian akan memanjakan mata. Dan jika mata menunduk, akan terasa segarnya air bening dan jernih yang mengalir di anak sungai itu. Hanya saja, jika memang hati tak mengimbangi tenangnya alam, maka pemandangan indah inipun tak akan jauh dari kata jenuh.
Mata Biya terpejam merasakan rasa pedih yang tiba-tiba menelusup ke dalam dadanya. Hatinya. Tangannya refleks menyentuh rasa sakit itu, tidak rela jika hanya hatinya saja yang sakit. Setidaknya, mungkin tangannya bisa mengurangi rasa sakit itu. Tapi tetap saja tidak. Disana, masih terasa sakit.
"Kau yakin tak mau ikut denganku?" Tanya Diyas, yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Biya.
Tanpa menoleh, Biya menjawab, "Kau yakin jika ikut denganmu, aku akan baik-baik saja? Tidak mati?".
"Kau tidak akan mati hanya karena laki-lakimu menikah, Biya" sahut Diyas.
"Dia bukan lagi laki-lakiku, Diyas! Kau tahu persis itu." sela Biya sembari berbalik, memandang mata Diyas dengan tajam. "Tapi kau mencintainya." kata Diyas tak kalah tajam.
Diyas menghela nafas berat. Dia tahu, Biya tidak sekuat itu, yang akan baik-baik saja jika melihat laki-laki yang dicintainya menikah dengan orang selain dirinya. Tidak, Biya tidak sekuat itu. Walaupun terlihat sekali Biya adalah orang yang kuat,tapi hatinya tidak setegar itu. Ia mudah rapuh. Bahkan hatinya sangat rentan.
Biya duduk di atas batu hitam besar yang fungsi sebenarnya adalah sebagai hiasan semata. Matanya memandang kosong air yang mengalir tenang di depannya. "Biya, kau punya Mama. Dan saat ini beliau menginginkanmu untuk datang ke pernikahan anaknya." kata Diyas.
"Yas, aku hanya punya papa dan kamu saat ini. Aku tidak punya Mama dan saudara kandung lain selain kamu." kata Biya lirih. Dia terlihat lelah sekali.
"Kau bahkan tak menangis, Biya. Aku yakin kau baik-baik saja disana." gumam Diyas. Jika bukan karena mamanya --yang baru saja bertemu tiga bulan lalu setelah sekian lama tak bertemu, sejak bahkan Biya dan Diyas belum bisa mengingat wajah Mamanya itu--, Diyas tak akan sudi membujuk Biya untuk datang ke pernikahan Kinan, saudara kandungnya-- yang sialnya telah dicintai Biya jauh sebelum mereka tahu, bahwa sebenarnya mereka adalah saudara kandung--.
Biya masih bergeming. "Bi?" tanya Diyas sekali lagi.
"Aku takkan pergi kemanapun malam ini, Diyas." kata Biya.
Diyas mengangguk. Ya! Harusnya memang begitu. Batinnya.
Sebenarnya Diyas pun khawatir, jika Biya datang ke pesta pernikahan itu, dia akan mengacau. Dan tugas Diyas saat ini adalah harus menjauhkan Biya dari hal-hal yang membahayakan diri Biya. Misalnya saja bunuh diri. Tidak! Itu tidak boleh terjadi, selama Diyas masih hidup.
"Kalau begitu, aku yakin kau masih cukup waras hingga kau tak membahayakan dirimu sendiri, Biya." kata Diyas serius.
Awalnya Biya hanya memandang Diyas datar. Lalu mulai melembut, dan berkata pelan, "you can believe me, Diyas."
Diyas mengangguk, setelah akhirnya dia berbalik hendak meninggalkan Biya.
"Tapi Diyas!' seru Biya, membuat langkah Diyas berhenti dan membalikkan badannya menghadap Biya lagi. "Apa?" tanyanya.
Biya terlihat raguingin mengatakan sesuatu. Lalu akhirnya, dia berujar "Aku.. Aku..", perkataannya terhenti oleh nafas berat yang dihembuskannya. Diyas hanya memandang Biya dan dengan sabar menunggu kata-kata yang akan keluar dari bibir Biya.
"Aku tak tahu, apakah aku bosa melewati ini dengan baik, Diyas." lanjut Biya. Matanya terlihat seperti berair.
Diyas menghela nafas, lalu melangkah maju mendekati Biya. Diyas memeluknya, merengkuhnya ke dalam pelukannya untuk menenangkannya. Karena saat itu juga,tubuh Biya bergetar hebat. Biya menangis! "Aku takut, aku mencintainya, Diyas." bisikan lirih Biya di dadanya itu membuat Diyas meringis perih. Diyas mendekap tubuh Biya semakin erat.
"Seperti katamu tadi, Biya. Kau punya aku dan papa. Kau pasti bisa melewati ini semua. Sedikit lelah sih. Tapi aku janji, aku juga rela kelelahan menemanimu." bisik Diyas.
Dirasakannya kepala Biya mengangguk. Diyas menunggu sebentar sampai Biya bisa tenang. Sampai akhirnya Biya sendiri yang melepas pelukan mereka. Biya mendongak menatap Diyas. Masih ada sisa air mata di mata Biya.
"Bagaimana jika aku datang?" tanya Biya. Alis Diyas terangkat mendengarnya.
"Kau tak perlu memaksakan diri, Biya!" kata Diyas.
"Kalau aku tidak terpaksa, apakah kau akan mengajakku bersamamu kesana?" tanya Biya, masih tidak berputus asa. Akhirnya Diyas mengangguk. Tangannya terkepal . Inilah saatnya baginya untuk melindungi Biya.
"Tunggu disini, Diyas! Aku akan selesai dalam beberapa menit."
Diyas mengangguk sekali lagi, membiarkan Biya berjalan melewatinya. Diyas membatin, semoga ini tidak menjadi buruk bagi Biya. Awalnya Diyas mengajak Biya untuk hadir ke pesta pernikahan KInan, agar bisa bertemu dengan Mama mereka. Karena ini juga adalah permintaan sang Mama. Tapi sejenak tadi Diyas sudah berubah fikiran. Alangkah lebih baiknya jika Biya dan Kinan tidak bertemu.
***
Hi my Love! This's my first story. Sebenarnya aku udah lama banget nulis, tapi tidak pernah terposting. So, karna ini yang pertama kalinya aku nge-post karya aku, mohon maaf jika ceritanya udah mainstream. Aku agak-agak nggak pede sama tulisan aku. Jadi, mohon kritik dan saran kalian ya. Aku harap ini tidak begitu buruk. Aku agak nggak pede. Bye, my Love! Jangan lupa bahagia ya!
YOU ARE READING
Last Choice
RomanceHanya saja, sebuah pilihan tak harus menjadi seindah yang terbayang.