Dare

15 2 2
                                    

Bebas berkomentar dan mengkritik.

Menerima segala masukan.

Anggap saja saya masochist.

Disclaimer : I Do Not Own Anything but the Story.

***

Blam!

Pintu kayu dengan sendirinya menutup setelah aku memasuki sebuah ruang yang di sebut sebagai gedung angker. Selayaknya di film horror yang pernah aku tonton, kepulan asap mulai mengurangi jarak pandangku. Gedung yang berlorong - lorong membuatku harus cermat memperhatikan langkahku. Jika aku lalai sedikit, aku tidak akan pernah keluar dari tempat ini.

Aku mengeluarkan kameraku dan mematikan senter dan menggantinya dengan sebuah lilin. Aku bukannya bodoh ataunya apa, tapi aku baru saja menerima tantangan truth or dare, yaitu mengadu mental dan nyaliku di sebuah gedung bekas pabrik dengan bermodal sebuah lilin. Jika aku masuk melalui pintu barat dan berhasil keluar dari pintu timur, maka aku berhasil mengalahkan tantangan tersebut.

Konon, pernah terjadi pembunuhan massal di tempat ini ketika para buruh berdemo meminta kenaikan upah. Namun, hal tersebut tidak diindahkan oleh si mandor yang malah mengeksekusi mati para provokator dengan memenggal kepala mereka. Dan menjadikan sisanya sebagai pekerja romusha hingga mereka meninggal mengenaskan di tempat ini.

Yah , tapi semua itu Cuma mitos kan?

Dengan kamera mengarah ke depan, aku melanjutkan langkahku. Lingkaran merah berkedip mengindikasikan kamera sudah mulai merekam. Melalui layar kamera, aku melihat arah jalanku. Tentu bukannya aku mengharapkan sesuatu tertangkap kameraku, hanya saja aku ingin memastikan hasil rekamanku tidak blur.

Degh.

Aku menghentikan langkahku.

Sebuah wujud putih kecil berada di tepi lorong, bukan cahaya dari lilin ataupun pantulan rembulan.. Perlahan tapi pasti, aku mengalihkan mataku dari layar kamera menuju tepi lorong di depanku.

Tidak ada.

Aku mengembalikan mataku pada layar kamera, putih membesar.

Aku tidak menekan tombol zoom atau tombol apapun, tapi aku yakin putih tersebut semakin membesar, dalam artian mendekat. Aku merasakan bulu kuduk berdiri hingga terasa mereka akan terlepas dari kulitku. Tubuhku menegang.

Whuuush.

Sebuah angin kencang dari arah depan menerpaku seiring putih itu mendekatiku.

Hilang? Imajinasi?

Aku menghela nafas dalam dan meyakinkan diriku jika yang kulihat tadi hanya imajinasiku. Barangkali kualitas kamera yang rendah sehingga nge-blur.

.

Ngiik... ngiik... ngiik...

Bulu kudukku kembali meloncat berdiri. Tubuhku menjadi posisi sikap siap sempurna

Aku berbalik ke arah datangnya suara tersebut. Kepalaku berotasi perlahan seperti robot rusak karena otot leherku yang menegang.

Kursi...

Sebuah kursi...

Sebuah kursi goyang...

Aku mencoba berpikir rasional dan mencari penyebab bergeraknya kursi tersebut. Namun ruangan yang tertutup tidak memungkinkan angin yang meniupnya. Tidak ada tali ataupun ikatan pada kursi tersebut.

DareWhere stories live. Discover now