Aku ingin bersamamu malam ini... ya...berdua saja. Ditemani rembulan dan serakan bintang di langit malam. Bersama desau angin yang meniup lembut anak-anak rambutmu. Aku menggenggam tanganmu. Erat. Menyusuri pantai dengan kaki telanjang sambil sesekali membasahi kaki dengan air laut. Kita akan tertawa riang. Bahagia.
Pagi tadi penyiar radio memasangkan lagu kesukaanmu. Aku terhenyak. Diam membeku dalam ruang-ruang kecil labirin. Membenamkan kerinduan yang begitu kuat di hati. Ah, tak seharusnya bayangmu mengikutiku terus menerus. Memenjarakan hidupku. Ingin rasanya kusalahkan takdir yang telah mempertemukan kita berdua. Menjauhimu sejauh mungkin.
Kenapa kau salahkan takdir? Begitu katamu dulu. Entahlah, aku hanya merasa ingin mencari sebuah pembenaran. Aku tak peduli siapa yang harus kusalahkan. Aku mabuk oleh pesonamu. Aku ingin bersamamu. Titik. Itu saja.
Tak bolehkah aku memilikimu sesaat saja? Kau, seperti biasa, hanya menatapku dalam-dalam. Tak satupun kalimat meluncur dari bibir mungilmu. Diam. Setetes bulir air mata tampak menggayut di pelupuk mata indahmu. Aku menghela napas. Berat dan perlahan. Lembut tatap pandangmu senantiasa menaklukkan kegilaan-kegilaan yang bersemayam dalam diriku, setiap kali kita bersama.
Seringkali kusesali kelemahan jiwaku. Aku benci pada diriku. Aku marah pada aturan yang membelenggu hidupmu, hidup kita. Namun aku dan kau tak kuasa memberontak. Hidup tidaklah sesederhana itu, kata orang tua. Tapi hidup pun tak seharusnya sesulit itu, sergahku dalam hati.
Bulir-bulir air hujan menerpa jendela ruang kerjaku. Sosokmu melebur bersama gerimis yang semakin deras. Ingin kuteriakkan namamu sebagai salam perpisahan kita.
Kekasih, bila kau ijinkan aku memanggilmu kekasih. Pohon di tepi jalan itu telah meranggas daun-daunnya. Kemarau belum lagi datang.
