Yang aku ingat dari masa remajaku, aku adalah seorang gadis remaja yang sangat ceria. Aku memiliki lebih banyak teman lelaki ketimbang teman perempuan. Rasanya lebih menyenangkan berada di tengah-tengah mereka. Aku suka banyolan-banyolan mereka yang seringkali terdengar kasar dan lucu di telingaku. Walaupun begitu mereka semua sopan terhadap perempuan. Mungkin karena kami tinggal di kota kecil atau mungkin juga karena pikiran kami belum diperkosa oleh perkembangan teknologi.
Mama berusia 33 tahun kala itu. Ia memiliki banyak teman dari sebuah perkumpulan gereja. Tapi, di mataku mama terlalu pendiam dan sangat tradisional.
Usiaku baru menginjak empat belas tahun, saat aku menerima sepucuk surat. Aroma maskulin lembaran kertas itu membawa getar-getar aneh di dadaku. "Beta suka deng lu, lu mau jadi beta pung pacar sonde?" Kalimat akhirnya membuat aku tersanjung bagai putri.
Romi, kakak kelasku yang kini mengenakan seragam abu-abu rupanya menyukaiku. Rasanya tak masalah kalau aku menjawab, 'ya'. Bukankah si Tia, Dewi, dan hampir seluruh anggota kelas sudah memiliki pacar? Lagian sebentar lagi aku sudah akan memakai seragam putih abu. Pikirku tak henti sambil tersenyum.
Sayangnya, surat yang aku letakkan di bawah bantal kepalaku, dengan maksud bisa kucium-cium harum kertasnya sebelum tidur, ditemukan mama. Malapetaka. Aku memang terburu-buru ke sekolah dan lupa membereskan tempat tidurku hari itu.
"Tapi, Ma, dong yang lain su boleh pacaran ooo, mana ko beta son boleh. Alasannya apa coba."
"Pokoknya lu belum boleh pacaran," bulu-bulu ayam di kemoceng itu terhempas-hempas saat mama menunjuk-nunjuk wajahku. Aku berdiri kurang lebih tiga meter di hadapannya. Dan nadanya semakin tinggi mendengar protesku.
Khawatir kemoceng yang ada di tangan mama menjadi kibasan di betis atau tangan, aku memilih diam.
Surat itu tidak kubalas yang berarti aku dan kak Romi tidak jadi pacaran.
Sore itu aku mendekati mama yang lagi berleha-leha setelah bekerja.
"Ma, beta sonde balas su itu surat. Ikut ma pung mau.""Bagus, lu pintar sekali e."
"Beta su 14 tahun nih aaa, baru kapan bt bisa pacaran?"
"Tidak lama lagi anak e, tunggu dua tahun lagi. 16 tahun baru bisa," jawab mama santai lalu menyeruput kopi hitamnya.
Dua tahun berlalu, akhirnya aku menginjak juga usia enam belas tahun itu. Rasanya tidak ada yang berubah, selain dada dan bokong yang semakin berisi, tinggi yang semakin menjulang, dan wajah yang semakin merujuk ke wajah perempuan-perempuan dewasa. Dan aku mulai pacaran.
Peter datang malam Minggu itu. Dengan berat hati mama mengiyakan saat Peter meminta ijin mengajakku keluar. Tak ada banyak kata yang keluar dari bibirnya. Tapi aku tahu mama sangat khawatir. Aku tak mengerti mengapa, bukankah aku hanya pergi makan-makan sebentar. Aku gadis yang cerdas, aku cukup mengerti tentang segala hal, dan tak akan aku biarkan laki-laki brengsek menjamahku.
Yah, dan seperti pacaran usia enam belas tahunku, tak ada yang istimewa selain ciuman pertama.
Kami putus setelah beberapa lama. Putus yang tak meninggalkan sedikitpun kesedihan.Di penghujung tahun saat aku mengakhiri usia tujuh belasku, aku bertemu Ryan. Cinta pertamaku. Dia adalah laki-laki yang luar biasa. Entah bagaimana ia bisa menyihir kedua orang tuaku dan mereka menyukainya. Meskipun masih ada sekilas kekhawatiran di kilat mata mama.
Setahun setelah aku kuliah kami masih berhubungan. Hingga hubungan kami retak dua tahun sesudahnya. Aku perempuan delapan belas tahun, benar-benar bingung menghadapi semua itu. Aku lalu memilih pergi menemui mama dan menangis dalam pelukannya layaknya seorang bayi.
Mama tidak menceramahiku atau mengomeliku panjang lebar. Ia tak mengatakan,"mama su bilang apa. Lu talalu melawan nah. Tak ada satu komentar yang aku bayangkan akan terlontar dari mulutnya, terdengar di telingaku. Mama hanya mengecup keningku, hal yang selalu mama lakukan saat aku masih kecil. Mama mendengarkan semua kesedihanku dan menatap wajahku lekat-lekat dalam diam saat air mata meluncur turun di wajahku.
Aku menumpahkan semua kekesalanku. Aku sangat marah dan melimpahkan semua kecemasanku kepada mama. Suaraku terdengar lebih tajam, aku kaget mendengar suaraku sendiri, aku menjadi lebih tua. Dan aku letih.
Dengan lembut mama menceritakan alasan-alasan kenapa ia tidak memberikan aku kebebasan seperti kebebasan yang dimiliki kawan-kawanku yang lain.
Hal yang tak pernah aku sangka, mama juga menceritakan kisah cinta pertamanya sebelum bertemu papa. Selama ini aku berpikir papa adalah cinta pertama mama. Aku salah. Ada luka dan sakit hati yang mama alami kala itu dan bisa mama atasi karena hidup terus bergulir.
Keterkejutanku adalah seorang perempuan konvensional seperti mama, yang hampir tak pernah membeberkan masalah pribadinya, kini mampu berbagi cerita dengan putrinya yang akan beranjal dewasa. Aku merasa sangat senang dan juga lega.
"Lu akan menemui pria yang akan lu nikahi nanti. Saat itu lu akan tersenyum jika mengingat kembali cinta monyet dan cinta pertama." Tangan mama menggenggam tanganku sementara kepalaku bersandar di dadanya.
Hubungan kami lebih dari sekedar hubungan ibu dan anak. Sejak saat itu aku menceritakan semua kesulitanku kepadanya dan mama akan memberikan pandangan baru dari setiap cerita yang aku beberkan.
Enam tahun berlalu. Aku telah menamatkan kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Jarak kostku dengan rumah adalah dua hari perjalanan, karena aku harus menyeberangi dua lautan.
"Mama, tahu sonde, Richard su lamar beta..." Richard, kekasih yang telah mengencaniku selamat kurang lebih dua tahun.
"Jadi lu su mo nikah ni ko?"
"Iya, Mama."
Mama tertawa-tawa di ujung sambungan telepon, mencoba mengingat-ingat kembali remaja putrinya yang pernah patah hati.
Dengan penuh kasih mama berkata, "mama yakin lu pasti ada tersenyum bahagia aaa."
"Perhatian, para penumpang pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan LA328 tujuan Rote dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu 1."
Aku mengangkat koper dan menahan degup kencang didadaku. Dua puluh menit lagi aku akan membuat sahabat terbaikku, mamaku, terkejut untuk kunjungan tanpa pemberitahuan ini. Mama pasti akan berkata, "anak nakal, lu bikin kaget mama sa e."
Rote, 10 Januari 2018
Ye eL.