Senja meluncur turun, semburat jingga dan kelabu di langit terlihat saling kawin.
Langkah perempuan tua itu terseok-seok. Sebuah keranjang berisi kue di tangan kanannya dan sebuah payung biru bermotif bunga-bunga di tangan kirinya.
Ia mengenakan sweater rajut cokelat muda tak berkancing. Baju kemeja bunga-bunga bermodel lama ada dibalik sweaternya. Kulot hitam panjang dan sandal jepit nampak serasi di tubuhnya.
Kulitnya gelap, sebagian rambutnya kini telah berganti warna putih, bandana plastik hitam menahan poni dan membentuk jambul cembung di atas kepala. Tak ada riasan di wajah. Meski begitu, kecantikan masa mudanya masih jelas tergurat.
Ada rasa rindu menggunung saat melihat sosok itu. Aku teringat Oma yang baru saja pergi beberapa bulan lalu. Omaku sepertinya lebih beruntung ketimbang wanita tua yang bayangannya baru saja aku lewati.
Oma tak perlu berjalan kaki berkilo-kilo di pagi dan sore hari. Oma memikiki sebuah kios kecil. Dua etalase dari tiga yang menyesaki ruang berukuran enam meter persegi itu terlihat kosong, hanya beberapa botol dan gelas air mineral masih tersisa.
Satu etalase biasanya sudah akan kosong saat matari tak lagi terlihat. Dua drom minyak tanah yang selalu diisi ulang setiap dua minggu sekali juga menjadi sumber penghasilannya.Aku mengerem motor dan memarkir beberapa meter di depannya. Menunggu Oma itu bersisian denganku.
"Jual kue apa, Oma?"
Ia terperanjat saat aku menegurnya. "Eh, ibu mau beli kah? Ada lemet, kue kacang hijau, dan donat, sisa sedikit sa nih." Payung ia letakkan begitu saja di atas trotoar menyusul keranjang dan memperlihatkannya kepadaku.
Lima lemet, lima kue kacang dan lima donat masih tersisa.
"Beta beli semua e, Oma."
Senyum semringah menghiasi wajah letihnya. Dagangannya tak bersisa.
Rasa ingin tahu yang besar memaksaku untuk duduk begitu saja di pinggir trotoar. Jalanan itu tak begitu ramai saat menjelang gelap. Aku mengamati tangan yang nampak keriput merogoh-rogoh dompet hitam tak berkancing, mencari plastik untuk membungkus.
"Oma pung nama sapa?"
"Ria..."
"Oma pung rumah di...?"
"Itu disana, di Kunan. Di belakang tempat sayur tuh."
Cukup jauh e, kataku dalam hati.
"Oma pung...," kalimat itu terputus begitu saja. Oma sudah selesai membungkus.
Dari balik kaca spion kulihat ia berjalan pulang.
Pukul setengah sembilan malam keesokan harinya? Suamiku menceletuk, "Aiishh, ini mama tua pung anak dong sonde ada kah. Kalau itu beta pu mama, beta sonde kasih ijin jualan lagi. Tinggal dan istirahat di rumah saja."
Aku mengangkat muka dari layar hape. Sweater, celana dan sendal jepit yang tak asing itu sedang mendaki jalan menuju pulang.
Sudah mau jam sembilan malam. Habiskah kue-kuenya atau masih banyak yang tersisa? Apa yang membuatnya bekerja begini keras? Biaya sekolah anaknya kah atau cucunya? Otakku terus bertanya-tanya.
"Papa, tahu kan orang-orang tua dulu, kalau tidak bekerja katanya badan sakit. Jadi, bisa saja itu kemauan sendiri, Pa. Meskipun sudah dilarang anak-anaknya," jawabku. Sepotong memori beberapa tahun lalu mendadak hinggap begitu saja dalam kepala.
"Mama, tidak usah buat kue lagi, tidak usah jualan minyak tanah," kata mama suatu hari saat merawat kaki oma yang terluka. Hari sebelumnya oma salah melihat anak tangga di hadapannya. Tongkatnya terpeleset, alhasil lututnya menghantam anak tangga. Untung hanya lututnya saja yang tergores.
"Eh, enak saja kau bicara, saya nih sudah biasa kerja. Saya mau dapat uang darimana kalau tidak buat kue dan isi kios?"
"Biar saya saja yang buat mama pu kue nanti. Pokoknya mama tidak usah kerja lagi."
Oma masih ngotot di hari berikutnya. Dan ia tak mampu melawan kodrat bahwa tulang dan otot-ototnya telah lapuk. Goresan kecil itu ternyata juga membuat pinggang Oma keseleo dan harus beristirahat. Mama membalur pinggang Oma dengan jahe merah selama seminggu. "Biar bisa mengendurkan otot-ototnya," kata mama.
Sudah hampir setahun aku, mama dan adik perempuanku tinggal bersama Oma. Rumah hasil kerja keras bapak dan mama telah dijual. Setelah melunasi semua hutang mama di bank, bapak lalu pergi menemui selingkuhan dan anaknya yang lain. Uang sisa ia bawa serta.
Melihat nasib anak perempuan satu-satunya, Oma mengajak kami untuk menemaninya. Sudah bertahun-tahun Oma menempati rumah peninggalan Opa. Dan sejak Opa meninggal, Oma menikmati masa lajangnya di dapur dan kios kecilnya.
"Iya sih, tapi..." Kalimat suami dan lamunanku terpotong begitu saja ketika anak perempuan kami berseru penuh gembira, "Papa, Papa, boleh kita ke odong-odong?"
*bersambung*
Beta : saya, aku
Pung : punya