01.

1.4K 110 38
                                    

Ada puluhan panggilan tak terjawab di ponselku. Dan lagi-lagi aku mengabaikannya. Aku memang tak terbiasa menerima panggilan dari nomer yang tak kukenal. Entah, pokoknya tak berniat saja berbicara dengan orang asing.

Lagipula jika itu penting, biasanya orang yang menelpon akan memberitahuku terlebih dulu lewat pesan singkat sambil memperkenalkan diri. Itupun jika ia punya itikad baik.

Jadi, abaikan saja.

°°°

Sore ini, ketika pulang bekerja, lagi-lagi ponselku berdering. Berkali-kali. Dan aku tetap tak tertarik untuk menerimanya.

Bahkan ketika aku sedang perjalanan ke halte bus, ponsel itu kembali berbunyi. Melihat sekilas ke layar dan ternyata dari nomer yang sama, aku memilih untuk me-reject.
Hingga akhirnya sebuah SUV berwarna hitam metalik merapat lalu berhenti di pinggir jalan, tepat di hadapanku.
Aku masih setengah cuek sampai akhirnya pintu SUV itu terbuka dan sesosok pemuda jangkung keluar dari sana. Perlahan ia melangkah ke arahku.

Dua kata: Aku terpesona.

Perawakannya sekilas mengingatkanku pada sosok Legolas di film The Lord Of The Ring.

Ketampanan yang hakiki dan ... unik. Rambutnya yang panjang dicat blonde. Kulitnya coklat memikat.
Tatapannya seksi, bibirnya tipis kecup-able, dan... wow.

Untuk sejenak, aku lupa cara bernafas.

Kereeeennn...

"Halo?" Ia menyapa.
Aku mengerjap. Apa ia bicara denganku?
Aku menatap sekelilingku barangkali saja ia sedang bicara dengan orang lain. Tapi tak ada siapa-siapa selain aku, dan dua orang laki-laki setengah baya yang tengah berdiri sekitar 50 meter dariku.

"Aku sedang bicara denganmu," pemuda itu kembali berucap hingga tatapan kami beradu.
"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri dengan tanganku.
Ia mengangguk.

"Aku berkali-kali menelponmu tapi kau tak menerimanya," ia menunjukkan ponsel di tangannya.

Masih sedikit bingung dengan siapa sosok yang ada di hadapanku, aku bergerak membuka tas kerja lalu meraih ponselku.
Aku mengecek nomer yang barusan melakukan panggilan.
"Ini nomermu...?"
"Iya, nomerku..." Serangkaian nomer meluncur dari mulut pria tersebut. Dan cocok.

"Apa aku mengenalmu?" tanyaku langsung. Kutatap seraut wajah itu dengan seksama. Berharap aku tak pikun dan mengingat apa kami pernah bertemu sebelumnya sampai ia tahu nomer ponselku dan berani menghubungiku.

Well, lagi-lagi aku salah fokus. Memperhatikan wajahnya yang tampan, sorot matanya teduh, bibirnya yang mungil dan ... terlihat lembut.

Tunggu, sepertinya aku pernah bertemu dengannya tapi .... di mana? Aku lupa.

Pria itu tersenyum.
"Namaku Sehun. Kita pernah bertemu sekali. Pertemuan yang teramat ... istimewa," jawabnya.

Memperhatikan ia berbicara, aku malah salah fokus lagi ke bibirnya yang tipis. Ya Tuhan, otakku...

"Oh ... ya?" Aku bergumam pendek.
Pemuda itu mengangguk.

"Well, itu ..." Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Terlihat sedikit canggung. Gerakan itu entah kenapa terlihat imut sekali.
"Tiga hari yang lalu kita bertemu di diskotik. Kita berkenalan singkat, dan karena kita sama-sama dalam kondisi yang sedikit mabuk dan ... begitulah. Kita pergi ke hotel, dan ... we did it. One night stand."

Aku melotot. Reflek aku menutup mulut dengan kedua tanganku.
"Ya Tuhan..." desisku. "Maksudmu kita..."

Memoriku bergerak ke peristiwa 3 hari yang lalu, ketika aku memutuskan pergi ke diskotik. Dan lamat-lamat aku mengingatnya.

Sepertinya waktu itu aku terlalu terbawa suasana. Dalam kondisi setengah mabuk, aku jatuh ke pelukan seorang laki-laki. Kami berbicara singkat lalu memutuskan keluar dari diskotik, mencari taksi dan ... pergi ke hotel.

Keesokan paginya aku terbangun dengan sakit kepala hebat karena pengaruh alkohol. Aku sadar ada seseorang yang terbaring di sampingku, tapi karena masih agak pening gara-gara mabuk, aku memutuskan memakai bajuku dan pergi meninggalkannya begitu saja.

"Kita tidur bersama!" Aku nyaris memekik dan segera menyadari bahwa kami masih di tempat umum.

Pemuda bernama Sehun itu tersenyum manis lalu mengangguk.

"Oh-My-Gawd." Aku kembali mendesis tak percaya.

"Jadi apa yang kau inginkan sekarang? Bisakah kau melupakannya saja? Duh, maksudku, waktu itu aku mabuk, kau mabuk, kita sama-sama mabuk. Dan ... itu sebuah kesalahan. Jadi, maksudku..." Aku berusaha untuk tidak terlihat panik.

Astaga, mati aku!
Apa yang sedang kupikirkan malam itu?

"Aku tidak bisa melupakannya begitu saja." Pemuda itu kembali berujar tenang.
"Maksudku, sejak malam itu, aku tak bisa melupakanmu. Aku memang setengah mabuk, tapi aku mengingat semua detilnya dengan baik," lanjutnya.

Aku melongo. Mengingat detailnya dengan baik?
Ampun, mukaku memerah seketika.

"Aku terus saja teringat olehmu hingga akhirnya aku berusaha mencari tahu tentang siapa dirimu. Butuh beberapa hari, tapi akhirnya aku berhasil tahu siapa namamu, dan bahkan mendapatkan nomer ponselmu," ucapnya.

"Kenapa kau melakukannya?" tanyaku.
"Karena..." lagi-lagi ia menggigit bibirnya sebelum menjawab.
"Karena itu adalah pengalaman sex terbaik seumur hidupku."

Uhukk.
Aku nyaris tersedak.
S-Sex terbaik seumur hidup?

"Selena ..."

Dia bahkan memanggil namaku, dan suaranya laksana semilir angin, membuat pori-pori kulitku berdenyut.

"For your information, that was my first sex. Jadi kau harus bertanggungjawab karena kau telah mengambil keperjakaanku."

Aku kembali membelalak. "WHAATTTTT??!!"

"Aku sudah mencari tahu tentang dirimu. Dan aku tahu kau sedang tidak berkencan dengan lelaki manapun. Aku juga sedang tidak berkencan dengan perempuan manapun. Jadi..."

Dua langkah.
Dia hanya perlu dua langkah untuk mendekatiku. Mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Ayo kita saling mengenal lebih jauh lagi," bisiknya.

Ia memiringkan kepalanya dan mengecup bibirku, lembut.

°°°

To be continued

Top BananaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang