Bagian 3 : Sepercik Rasa

13.8K 1.4K 52
                                    

Aku bosan ada di acara ini, aku ingin kabur saja tapi namanya nebeng Mala mau gimana lagi. Meskipun aku agak kesal dengan Mala, tapi tetap saja dia sahabatku.

"Bar! Sori deh ya soal yang tadi."

Mala datang menghampiriku, aku kira dia sendirian, tapi ternyata dia bersama Rion yang menyusul di belakangnya. Kenapa sih kembali ke Jakarta harus berurusan dengan Rion terus?

"Bisa buat gak dibahas lagi?" pintaku ketus. Mala hanya mengangguk saja dan aku diam, berusaha untuk tidak menatap Rion yang sedang memainkan ponselnya.

Aku butuh kabur dari sini dan rasanya ingin segera kembali saja. Hidup bersama Bi Ange dan penuh dengan kesibukan pekerjaan jauh lebih baik. Ketimbang harus seperti ini, malu gak ketulungan.

"Tapi Bar, lo masih suka gak sih sama Rion?" tanya Mala yang berbisik di dekatku. Aku melirik ke arah Rion memastikan pria itu tidak mendengar pertanyaan konyol Mala.

Aku diam tidak menanggapi Mala. Diam itu lebih baik untuk saat ini. Jangan sampai salah ucap dan mempermalukan diri sendiri. Cukup sudah kejadian tadi menyadarkanku bahwa aku tidak begitu penting untuk Rion ingat.

"Ambar!" pekikan suara laki-laki yang berdiri tidak jauh dari kami mengundang banyak mata.

Aku menatap pria dengan penampilan seniman sejati. Alias rambut gondrong, celana robek-robek dan kaos abu-abu yang tertulis 'Joan' di bagian dadanya.

"Joan!" pekikku tak kalah heboh. Jadi selain Mala aku punya Joan, sahabat kentalku yang suka banget aku ajak manjat pohon apapun di komplek dulu.

"Gila Bar lo cantik dan feminim banget! Pangling gue asli!"

Joan orang kedua yang mengatakan pangling melihatku. Itu artinya aku masih mirip Ambar yang lama, walaupun dengan balutan dress seperti sekarang. Ini berarti memang Rion yang tidak mengenaliku.

"Dan lo! Astaga gak ngerti deh gue ini menjelaskannya gimana." Aku geleng-geleng kepala menatap penampilan Joan yang hanya tertawa bahagia. Akhirnya ada juga yang bisa ngebuat aku gak menyesal datang ke acara ini.

Kami mengobrol banyak soal masa kenakalan dulu. Aku bahkan tidak perduli saat Rion izin saat ponselnya berbunyi. Mala dia sibuk berbincang dengan teman sekelas kami yang baru saja bergabung.

"Itu tadi Rion. Lo masih naksir dia?" tanya Joan. Iya yang tahu aku naksir Rion bukan cuma Mala, tapi Joan juga tahu.

Aku hanya tersenyum tipis dan menaikkan bahuku acuh. Biarkan Joan menebak-nebak sendiri. Lagi pula aku takut kejadian seperti tadi terulang kembali. Joan dan Mala itu sama-sama bocor embernya.

Mataku memandang menjelajah ke sepenjuru ballroom. Hingga pemandangan Rion yang bercengkrama dengan seorang perempuan cantik tertangkap indra penglihatanku. Aku memejamkan mata, mencoba meresapi apakah masih ada percikan itu.

Ada! Tapi terasa sangat tipis, cukup aku bertahan sedikit lama pasti rasa ini akan hilang. Cukup kembali melarikan diri sejauh mungkin dan aku tidak akan bertemu Rion lagi.

Dari dulu hingga sekarang aku selalu menatap Rion dari belakang. Memperhatikannya saat di atas panggung, dan sekali lagi aku selalu melihatnya dari belakang panggung. Saat menunggu giliranku, aku selalu melihat penampilan Rion.

"Sepuluh tahun berlalu dan lo masih terpaku dengan dia?"

Aku menatap Joan yang menggelengkan kepalanya dramatis. "Lo seniman ya? Kok peka banget sih sama perasaan cewek?" kataku berusaha bersikap santai dan biasa saja.

"Gak butuh buat jadi seniman kok buat tahu lo cinta mati sama Rion," celetuk Joan. Aku melirik Joan sinis, bisa gak sih dia berkata dengan sedikit menghibur?

•••

Aku dan Mala memilih meninggalkan acara saat semua orang sibuk berdansa. Tadinya Joan ingin berdansa denganku, tapi berhubung dia ada panggilan mendadak mau tidak mau aku hanya berdiri seperti patung. Mala sendiri juga bernasib sama denganku, hanya berdiri menonton saja. Maka dari itu kami memilih untuk pulang.

"Lo tunggu di lobi aja. Biar gue ambil mobil ke basement," kata Mala yang langsung meninggalkanku dan berlari menuju lift yang terbuka.

Aku sendirian menunggu lift hingga seseorang muncul berdiri di sebelahku. Aku tahu siapa dia hanya dari lirikan singkat. Jantungku berdetak kencang, perasaan gelisah tiba-tiba menyerang. Berdiri berdampingan dengan cinta pertama seperti ini rasanya seperti sedang naik rollercoster saja.

"Lo emang buat pangling," Rion bersuara. "Gue bahkan gak nyangka bahwa si pemanjat rambutan itu berubah cantik seperti sekarang," lanjutnya lagi.

Belum sempat aku berucap, pintu lift terbuka dan Rion mendahuluiku untuk masuk. Bukannya ikut masuk, aku jutru memilih menuju lift satunya yang kebetulan terbuka juga. Aku ingin menenangkan detak jantungku.

"Lupakan dia dan kembali ke Sydney," gumamku sepanjang lift bergerak turun.

-Tamat-

Rion! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang