Just...

13 1 0
                                    

Aneh memang, memikirkan bagaimana bisa kita jatuh cinta pada orang terdekat yang ada di sekitar kita. Melihatnya yang setiap hari berjalan di depan kita. Tidak terpikirkan aku akan jatuh hati padanya. Tuhan memang yang terbaik dalam menyiapkan segala kejutan yang akan terjadi dalm hidup kita. Urutan peristiwa yang tidak kita duga, selalu mengejutkan. Namun akhirnya, itu yang terbaik.

Sarapanku setiap hari adalah melihatnya tersenyum cerah sambil menawarkan sepotong roti, yang sudah diolesi selai coklat kesukaanku, ditambah dia menyodorkan segelas susu hangat. Sikapnya yang begitu lembut padaku membuatku salah mengartikan maksudnya. Aku tidak tahu, apa aku terlalu bodoh? 

Aku mengakui, aku bisa menahan rona wajahku saat melihat senyumnya. Aku mengakui aku senang melihatnya melukis wajahku, aku selalu mengartikan setiap goresan cat itu sebagai tanda bahwa semakin aku menyukainya. Setiap kali dia menyuruhku untuk tidak bergerak, agar dia tidak kesulitan melukis. 

Aku mungkin menjadi orang terbahagia di dunia...









... jika bisa mengatakan ini padanya, sejak awal.













"Gis, nih!" aku melemparkan kertas berisi boneka yang dia minta.



Dia tersenyum, kemudian mengambilnya. "Apa ini, Bang?"

"Lihat, aja."



Dia membuka kertas itu dengan penuh semangat. "Oh, boneka."



Aku kaget dengan ekspresi datarnya. Ekspresinya menunjukkan kalau dia kecewa berat, dengan boneka pemberianku. Apa ada yang salah dengan warnanya? Aku benar, dia bilang kan warna biru muda.

"Oh, aja? Dasar nggak tahu terima kasih."

"Abang sih, belinya telat banget. Tuh lihat, temenku udah beliin aku boneka yang sama. Lagian ulang tahunku kan minggu kemarin." Dia menunjuk ke meja yang ada di pojok ruang keluarga. Di sana memang ada beberapa kado dan benar ada boneka yang sama.

"Siapa yang kasih kamu boneka itu?"

"I told You. That's from my friend." Katanya sambil berjalan ke arah meja pojok ruangan, sambil membawa boneka yang kubelikan dan menaruhnya di sana.



























"Seriusly? Boy or girl?"
















Dia berjalan ke arahku. Saat sampai dihadapanku dia berkacak pinggang. "Is that a problem?"

         





Dia masih bertanya apakah itu masalah. Apa perlu dia bertanya begitu? Aku kakaknya dan aku berhak tahu apa yang terjadi pada adikku, siapa yang sedang dekat dengannya, apa kegiatannya akhir-akhir ini, dan apa dia sudah punya pacar?









Aku akhirya menyerah dan mengikutinya berjalan ke arah dapur.

"Gis lukisanmu gimana?"

"Lukisan yang mana?"

Aku mengingat-ingat, "Yang itu loh, Gis. Lukisan macan."









Agis tertawa. "Hahaha... maksud Abang, lukisan pesenan Bu Kinan?"







"Iya kali. Eh, abis mukanya nyeremin gitu. Kayak macan."

Aku duduk di tempat, di mana orang-orang menyebutnya ruang keluarga. Entah apa maksudnya. Nyatanya di rumah ini hanya ada aku dan Agis, serta kehiningan yang seringkali menyelimuti rumah ini, tak ada yang bisa disebut sebagai 'keluarga'. Agis kembali dari dapur sambil membawa secangkir green tea dan setoples kue kering buatannya. Dia menaruh teh itu dihadapanku, aku mengernyit.

"Buatku, nih?"

Dia menggeser teh itu kehadapannya. "Ih, yaudah kalo Abang nggak mau."

"Nggak bisa gitu Gis. Kalo niat kamu buat the ini buat Abang, nggak bisa kamu ambil lagi." Aku langsung meminum teh itu.

"Terserah Abang deh," katanya. Kemudian, dia menyuapkan sepotong kue kering buatannya ke mulutku. "Nih, makan."

Aku mengunyah kue itu dengan senang hati, rezeki mana bisa ditolak.

"Makasih yah Bang bonekanya. Aku suka." Katanya sambil menatap mataku.












Oh, tidak. Jangan Gis, Abang nggak bisa lihat matamu. 











"I..i..iya. Udah sana jauh-jauh. Kamu mandi belum sih?"

Dia sedikit menjauh, mengangkat tangannya kemudian menghadapkan ketiaknya padaku.

"Cium nih! Bau nggak?" Dasar kurang ajar.





Aku berpura-pura akan pingsan. "Gis, arrghh... bau banget. Abang pingsan nih."

"Yaudah sana jauh-jauh. Huh! Dasar alay. Udah ah, aku mau selesaiin lukisan lagi. Abang ganggu. Byeee..."

Aku melihatnya melenggang naik tangga menuju kamarnya. Dia akan melukis lagi, ah kali ini bukan wajah tampanku yang dijadikan objeknya. Apa dia bosan dengan wajah tampanku, kurasa tidak.



Hmm... apa mukamu kusam akhir-akhir ini, terserah apa yang kau lakukan Gis, kamu bahagia Abang lebih bahagia. 

#1

~To be continue ?~

Let see...

If you read this story, then just call me Lala. 

No PrologueWhere stories live. Discover now