Aku tak tahu harus kuteruskan atau kucukupkan berkisah tentangmu.
Iya, kamu yang sekarang jauh dari pandangan.
Kamu yang sudah tak mampu kujangkau.
Bukan perkara jarak.
Bukan pula perkara waktu.
Ini semua perkara tentangmu dan juga hatimu.
Kamu yang meminta pergi dan tak melihat kebelakang lagi.
Aku yang masih disini menanti hingga waktu terus berlalu dan beranjak pergi.
Tak sadarkah dirimu, disini aku selalu menanti.
Dengan sabarku, dengan ikhlasku.
Tapi kau abai akan semua itu.
Aku tak mengerti sikap apa yang harus aku ambil.
Berdiam diri disini dan menanti.
Atau turut melangkah berjalan menyusuri jejak kaki.
Aku pun masih tak mengerti.
Pada akhirnya aku pun mencoba untuk melangkah, mengejarmu namun kutak tahu arah.
Aku tersesat.
Tak dapat kulihat lagi jejak langkah.
Aku tersesat di dalam hatimu yang dulu patah.
Dan kini aku hilang arah, dan berakhir pada rasa yang mulai pudar.
Lalu musnah.
Tidak!
Rasa itu belum musnah, hanya semakin tak terarah.
Itu semua karena kau mengakhiri sudah, cerita yang belum bermula.
Namun dalam sudut hati yang masih tertoreh dirimu, aku selalu mengucap rindu.
Rindu dirimu yang menemaniku kala sendu sedang menyerbu
Lelaki bertopi...
Kau masih disini, meski engkau tak disini.
Meski engkau telah pergi.
Dan tak mengharap hati ini lagi.
Padamu aku merindu. Merindu bersama denganmu.
Menikmati senja bersamamu.
Seperti sore itu.
Sore yang telah lalu.
YOU ARE READING
Lelaki Bertopi Di Ujung Persimpangan
PoetryTak ubahnya dia yang selalu merindu pada senjanya. Bahkan akupun juga merindu padanya. Tahukah kamu, aku mengharap senja itu adalah aku bukan yang lainnya.