Kali Terakhir

31 2 4
                                    

Sebenernya ini cerpen udah lama banget, waktu gue umur 13 taun :D. Mohon krisar nya ya ^ω^

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menolong sesama tak butuh batasan umur. Tak perlu ada sebuah kriteria tertentu. Menolong adalah sebuah hal kecil dan mudah dilakukan jika kita benar benar mau melakukannya. Itulah yang dipikirkan seorang gadis kecil bernama Gita setelah menonton berita di televisi. Berita tersebut menyiarkan keadaan sebuah kota kecil yang baru saja dilanda bencana tsunami.

Gita meringis ketika melihat anak kecil seumurannya yang tengah kebingungan terpampang dilayar kaca. Tubuhnya dekil dan wajahnya penuh dengan luka yang sudah mengering. Rambutnya semrawut serta kotor. Belum lagi keadaan diluar sana setelah bencana tersebut. Rumah serta bangunannya hilang, hanya tinggal pondasi pondasi kecil tak berarti. Pohon pohon pun ikut hanyut dibawa air.

Gita menangis, tak seharusnya Gita membuang buang makanan sementara disana banyak orang kelaparan. Seharusnya Gita menghabiskan makanan yang sudah Bunda berikan. Gita minta maaf, Bunda.

“Gita. Gita. Kenapa menangis?” Rahayu menghampiri gadis kecilnya yang menangis disudut sofa. Dibelainya kepala Gita yang tak tertutupi oleh sehelai rambutpun dengan lembut. Sebenarnya Rahayu panik bukan main saat melihat Gita menangis, takut penyakit gadis kecilnya kambuh lagi. Namun dirinya bernapas lega saat Gita menunjuk televisi dengan telunjuknya. Rahayu mengerti, Gita memang berbeda dari anak anak yang lain. Gita cenderung sensitif dan gampang menangis jika ada sesuatu yang mengusik hatinya. Rahayu tersenyum mengerti.

“Gita mau bantu mereka?” Gita menoleh kearah Rahayu lalu mengangguk antusias. Ini yang membuat Rahayu amat bangga pada anak tunggalnya.

Rahayu langsung beranjak berdiri dan menghubungi Sandi, suaminya, agar mengosongkan jadwalnya mulai 4 hari kedepan. “Besok kita ke kota yang baru dilanda tsunami, membantu mereka bersama Gita.”
&&&
Gita. Gadis kecil itu baru berumur enam tahun. Namun sudah banyak melewati hal yang belum pernah anak anak lain rasakan. Sudah pernah merasakan perasaan yang disebut ‘hancur’. Gita. Gadis kecil berpipi tembam itu setiap hari harus menelan pil obat yang pahitnya jangan diragukan. Mengalami tekanan batin saat check rutin kerumah sakit sebulan sekali. Dan menangis saat ulu hatinya nyeri tak tertahankan.

Gita adalah salah satu penderita kanker hati kronis yang umurnya diujung tanduk, menurut vonis dokter. Gita tak sengaja mendengar hal itu dari Ayah dan Bundanya yang sedang bercakap cakap diruang TV. Walaupun umur Gita baru enam tahun, tetapi Gita paham apa yang dikatakan Ayahnya. Kanker hati. Vonis. Tak bisa bertahan lama. Gita lantas berlari menuju kamar kemudian menangis hingga sesenggukan.

Selama berminggu minggu setelah tak sengaja mendengar obrolan orang tuanya menyangkut penyakitnya, Gita tak pernah keluar dari kamar. Setiap hari Rahayu dan Sandi membujuk Gita agar mau keluar dari kamar sejenak untuk jalan jalan. Tetapi Gita selalu menolak.

Namun itu dulu. Sekarang Gita bukan lagi Gita yang dulu. Hal hal yang sudah pernah Gita lewati membuat Gita berubah. Gita yang sekarang sudah tak pernah lagi bersedih tentang keadaannya. Gita yang sekarang selalu ceria menghadapi hari esok. Karena Gita ingin lepas dari penyakit yang menggerogotinya selama ini. Gita ingin sembuh.

“Gita, sudah siap belum, nak?” Rahayu masuk kekamar putrinya. Kening Rahayu berkerut samar ketika melihat dua tas besar diatas kasur, “Sebanyak itu? Memangnya kamu mau nyumbang apa saja?”

Gita tersenyum lebar hingga nampak dua lesung pipinya, “Baju sama mainannya Gita. Nggak papa kan Bun?”

“Ya enggak apa apa sih. Tapi nanti kamu nggak nyesel kalau mainan kamu habis?”

Gita menggeleng cepat, “Enggak. Kan nanti Bunda bisa beliin Gita mainan baru.”

Sungguh gadis kecil yang luar biasa. Disaat anak seumurannya masih asik dengan mainan mainan dan tak tahu apa apa. Gita sudah bisa menjalankan nalarnya dan berpikir logis. Gita menyumbangkan hampir semua mainan serta bajunya untuk mereka, agar mereka tak merasa bersedih lagi. Agar mereka tahu bahwa banyak orang yang masih peduli pada mereka. Dan setidaknya Gita masih bisa berbuat baik sebelum dirinya pergi.

Mengingat tentang hal itu membuat Gita kembali dilanda rasa takut dan cemas. Dirinya sudah cukup lama bertahan didunia setelah dokter memvonis penyakitnya. Apa tak lama lagi dirinya akan dipanggil oleh Tuhan? Jujur, pertanyaan itu sangat mengusik hatinya sejak meninggalkan rumah tadi. Bahkan dimobil dan di pesawat Gita sama sekali tak bisa mengenyahkan pemikiran itu. Membuat Ayah dan Bunda khawatir karena sedari tadi Gita diam saja.

“Nanti kalau Gita merasa sakit bilang Ayah, jangan diam saja, ya nak?” Gita mengangguk patuh. Sebenarnya Gita sudah mulai merasakan nyeri pada hatinya, namun dia acuhkan. Belum terlalu sakit, pikirnya.

Akhirnya setelah melewati perjalanan yang panjang menuju kota kecil ini, Gita merasa lega. Duduk di dalam mobil dan pesawat dalam jangka waktu panjang bisa membuat bokongnya sakit. Ugh. Belum lagi saat ulu hatinya semakin terasa nyeri dan kepalanya mendadak pening. Tidak, Ya Tuhan jangan kambuh lagi, Gita tak ingin Bunda menyuruh istirahat dan check ke dokter. Tidak, sebelum Gita menyerahkan bantuan ini. Dan setelah Ayah dan Bundanya check in ke hotel dan menaruh barang barang di kamar hotel. Gita langsung mengajak orang tuanya ke lokasi bencana, dengan membawa serta dua tas besar mainan dan baju untuk disumbangkan.

Keadaan di kota ini setelah bencana benar benar membuat Gita menangis. Suasana nyata kota ini bahkan lebih parah dari yang disiarkan di televisi. Semuanya porak poranda. Bangunan rumah, masjid, pertokoan, semuanya hilang. Hanya tinggal puing puing bangunan yang berserakan dimana mana. Beruntung Gita saat ini tengah digendong oleh Ayahnya, jadi mudah saja bagi dia menyembunyikan pandangannya ketika melihat pemandangan yang mengiris hati. Bunda saja sampai berpegangan erat pada lengan Ayah. Bahkan Gita melihat Bundanya berkali kali meneteskan air mata.

Ayahnya menurunkan Gita dari gendongan setelah tiba didepan posko darurat. Disini Gita bisa melihat para korban bencana tersebut. Tidak ada sendau gurau diantara mereka semua. Tidak ada bercakap cakap ria diantara ibu ibu yang ada disini. Semuanya terlihat...sedih seakan putus asa. Juga anak anak yang ada disini, semuanya hanya duduk diam. Tak ada yang bekerjaran kesana kemari. Tak ada suara tawa yang memecahkan sunyi itu. Seperti hilang terbawa air laut.

Tak sengaja Gita menangkap sosok gadis seumurannya yang sedang duduk dibawah naungan sebuah pohon. Anak itu tengah mengorek ngorek tanah dengan sebatang ranting. Rambutnya yang hitam kusam dibiarkan tergerai acak acakkan tertiup angin. Tanpa ragu ragu Gita mengambil tiga potong baju dan mainan dari dalam tas lalu diberikannya pada anak itu. Semula anak itu tak merespon, dia tetap asik menggali gali tanah dengan rantingnya. Hingga Gita menyadari bahwa anak itu bukan sekedar menggali tanah, melainkan mengukirkan sejumlah nama di atas tanah itu.

“Ummi. Abah. Kak Tami. Kak Ahsan.” Gita membaca deretan nama yang ditulis anak tersebut. Yang langsung membuat anak itu menolehkan kepalanya kearah Gita berada. Gita tersenyum, lalu kembali menyodorkan baju dan mainan yang tadi sempat tidak digubris anak itu.
“Ini buat kamu.” Anak itu menerima pemberian Gita walau sedikit ragu. Bola matanya yang coklat gelap menatap Gita kebingungan.

“Nama kamu siapa?”

“A-fi.” Anak itu menjawab lirih.

“Aku Gita. Kamu kenapa sendirian?” Afi menggeleng pelan.

“Temenin aku ngasih baju sama mainan ke temen temen yang lain yuk!” ajak Gita menarik lengan Afi. Tetapi Afi menahan tangannya seolah enggan, rupanya anak itu takut dengan Gita yang tiba tiba muncul dan sikapnya yang seolah sudah akrab dengannya. Seperti mengerti tatapan Afi yang ditujukan pada Gita, Gita langsung tertawa kecil. “Kenapa? Nggak usah takut, aku baik kok. Ayok kesana!” Gita menunjuk gerombolan anak anak lain yang sedang duduk tak jauh dari mereka berdiri. Namun sebelum Gita dan Afi benar benar melangkah menuju anak anak itu, Gita melepas tudung kepala yang membalut kepala botaknya lantas memakaikannya kepada Afi. Afi yang melihat kepala Gita yang tak tertumbuhi sehelai rambutpun langsung mengernyit bingung.

Aku kira dia perempuan, batin Afi.

Semuanya orang tak tahu kalau itulah terakhir kalinya Gita menginjakkan kaki diatas bumi. Rahayu dan Sandi juga tak tahu kalau itulah terakhir kalinya mereka melihat putri semata wayangnya tersenyum gembira. Dan Gita sendiri pun tak tahu kalau saat itulah terakhir kali dirinya menatap sang mentari. Semua orang juga tak menyadari perubahan raut wajah Gita yang semula kemerahan perlahan memucat. Semua orang tak tahu bahwa ulu hati gadis itu semakin bertambah nyeri dua kali lipat. Hingga pandangan matanya tak fokus dan perlahan kegelapan menelan dirinya bulat bulat. Gita paham. Gita mengerti. Bahwa waktunya untuk menapaki bumi sudah habis. Gita percaya bahwa Tuhan memanggilnya karena menyayanginya. Dan Gita ikhlas. Ayah, Bunda, Gita mencintai kalian berdua. Terimakasih.

TAMAT

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dalam KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang